2 Alasan Koalisi Ragukan Kredibilitas Persidangan Kasus Paniai
Terbaru

2 Alasan Koalisi Ragukan Kredibilitas Persidangan Kasus Paniai

Antara lain terkait bukti dan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam persidangan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Proses persidangan kasus pelanggaran HAM berat Paniai di pengadilan HAM ad hoc masih bergulir. Koalisi masyarakat sipil mencatat dalam sidang terbaru yang digelar Kamis 20 Oktober 2022 di Pengadilan Negeri Makassar jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan 3 ahli yakni ahli hukum dari Universitas Airlangga, Imam Prihandono; ahli balistik Maruli Simanjuntak; dan ahli forensik Robintan Sulaiman.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan dalam persidangan tersebut koalisi meragukan kredibilitas persidangan tersebut. Setidaknya terdapat 2 alasan yang ditekankan koalisi. Pertama, dalam persidangan itu menunjukan uji balistik atau uji proyektil senjata dalam kasus Paniai tidak menemukan hasil yang identik. Kedua, bukti lain berupa saksi yang dihadirkan menyebut terdakwa tidak memiliki kewenangan melekat saat peristiwa terjadi.

“Koalisi meminta Kejaksaan Agung untuk lebih serius menyidik dan menuntut perkara Paniai,” kata Usman dikonfirmasi, Senin (23/10/2022).

Koalisi mengingatkan Kejaksaan Agung tidak boleh terpaku pada satu terdakwa saja. Apalagi tanggung jawab pidananya atas kejadian pembunuhan tidak sah terhadap para remaja di Paniai yang masih jauh dari meyakinkan. Bahkan belum jelas siapa sebenarnya para pelaku lapangan ketika peristiwa terjadi.

Usman menegaskan semua orang yang bertanggung jawab secara pidana harus dibawa ke pengadilan tanpa kecuali. Bukan hanya komando efektif di lapangan, tapi juga pembuat kebijakan yang menetapkan Operasi Aman Matoa V. Kebijakan itu yang menyebabkan pengerahan aparat dengan kelengkapan senjata api yang ketika itu diarahkan untuk menghadapi penduduk sipil.

Walau dalam persidangan membuktikan tanggung jawab komando dalam kasus Paniai dapat diterapkan kepada terdakwa tunggal. Tapi koalisi mengingatkan hal itu tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.

Usman mencatat keterangan yang disampaikan ahli hukum dari Universitas Airlangga, Imam Prihandono, menyatakan tanggung jawab komando bisa diterapkan pada kasus Paniai sekalipun tanpa garis komando langsung baik sepengetahuan atau tidak. Perwira tinggi tanpa garis komando langsung juga bisa diminta tanggung jawab.

Mengenai sejauh mana negara dapat melakukan serangan terhadap warga, Iman menerangkan hal itu terkait kebijakan negara. Jika kebijakannya represif maka aparat di tingkat bawah juga akan represif. Mengacu BAP asal peluru, dia menyebut Koramil bisa diminta tanggung jawab komando. “Yang paling dekat tentu komandan yang paling punya kewenangan mencegah personil untuk melakukan tembakan. Sampai atasannya, satu level di atas komandan di lapangan,” ujar Usman mengutip pernyataan Iman di persidangan.

Iman juga membenarkan Dandim di wilayah setempat bisa diminta pertanggungjawaban. Jika Danramil tidak bertugas, tanggung jawab komando bisa dilimpahkan ke Pabung (perwira penghubung) dan Dandim. Tidak hadirnya Danramil ketika peristiwa perlu diselidiki apakah karena tugas lain, yang artinya masih berada dalam tugas kemiliteran, atau sedang cuti atau artinya dibebastugaskan.

Sebagaimana pernyataan Iman di persidangan, Usman mencatat pertanggungjawaban ini berlaku sampai tingkat komandan dengan pangkat yang lebih tinggi. Pihak yang bertanggung jawab atas semua pasukan itu seharusnya Pangdam.

Soal unsur sistematis dalam pelanggaran HAM, Iman membenarkan dalam persoalan Papua aparat penegak hukum tidak bisa melihat satu lokasi saja yakni Paniai, tapi dari kejadian yang terjadi di Papua secara menyeluruh. Terlebih lagi Papua dianggap sebagai daerah rawan. Selama ini yang dilakukan aparat keamanan dalam merespon aksi massa memiliki pola yang jelas.

Tags:

Berita Terkait