17 Tahun Berkiprah, MK ‘Cetak’ 2.720 Putusan
Berita

17 Tahun Berkiprah, MK ‘Cetak’ 2.720 Putusan

Belum ada perkara terkait pembubaran partai politik dan pemakzulan terhadap Presiden dan/atau wakil presiden.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memasuki usia 17 tahun pada 13 Agustus 2020 kemarin. Selama 17 tahun pula, MK memegang peran sentral menjaga dan menegakkan konstitusi. Selama kiprahnya mengawal konstitusi, MK telah membuat ribuan putusan yang sebagian mengubah tata kehidupan bermasyarakat akibat perubahan sistem ketatanegaraan dan sistem politik.    

Sekretaris Jenderal MK, M. Guntur Hamzah mengatakan selama 17 tahun ini untuk pengujian undang-undang (PUU), total jumlah putusan sebanyak 1.333 PUU. Rinciannya, dikabulkan 113 PUU; dikabulkan sebagian 152 PUU; ditarik kembali 125 PUU; ditolak 472 PUU; gugur 22 PUU; ketetapan 5 PUU; tidak berwenang 7 PUU; tidak dapat diterima 436 PUU.

Untuk perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) berjumlah 26 putusan. Rinciannya, 1 perkara SKLN dikabulkan; 5 ditarik kembali, 3 ditolak; 1 tidak berwenang’ dan 16 tidak dapat diterima. (Baca Juga: Sejumlah Catatan SETARA Institute untuk Kinerja MK)

Untuk perkara PHPU sebanyak 1.077 putusan yang rinciannya 62 dikabulkan; 37 dikabulkan sebagian; 27 ditarik kembali; 594 ditolak; 30 gugur; 12 ketetapan; 15 putusan sela; 300 tidak dapat diterima. Sedangkan, untuk perkara PHP Gubernur, Bupati, Walikota sebanyak 284 putusan yang rinciannya 2 dikabulkan; 4 dikabulkan sebagian; 7 ditarik kembali; 17 ditolak; 2 gugur; 3 putusan sela; 249 tidak dapat diterima.

Sehingga, total keseluruhan dari perkara PUU, SKLN, PHPU dan PHP Gubernur, Bupati, Walikota sebanyak 2.720 putusan MK. Rinciannya, jumlah 178 dikabulkan; 193 dikabulkan sebagian; 164 ditarik kembali; 1.087 ditolak; 54 gugur; 17 ketetapan; 8 tidak berwenang; 18 putusan sela; 1.001 tidak dapat diterima.

“Data perkara ini, belum ada perkara terkait pembubaran partai politik dan pemakzulan terhadap Presiden dan/atau wakil presiden,” ujar Guntur Hamzah saat berbicara dalam diskusi daring bertajuk “17 Tahun MK: Reorientasi Paradigma dan Rekonstruksi Kelembagaan” di Jakarta, Selasa (18/8/2020).   

Guntur mengatakan pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang secara materiil berkaitan dengan bagian dari undang-undang seperti pasal, ayat, penjelasan dan lampiran. Pengujian secara formil berkaitan dengan prosedur pembentukan undang-undang. “Banyak permohonan pengujian undang-undang memiliki muatan constitutional complaint dan constitutional question dan perkembangan amar putusan MK terdapat putusan conditionally constitutional dan conditionally unconstitutional,” kata dia.

Sebagai contoh, Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 terkait penerbitan perppu. Dalam putusan, MK memberi pedoman penerbitan perppu yakni adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara sepat berdasarkan UU. UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai. Dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Guntur menambahkan selama ini MK memiliki sistem pendukung dalam melaksankan kewenangannya, diantaranya kepaniteraan, sekretarian jenderal, dukungan administrasi yustisial, dukungan administrasi umum, dan terobosan dukungan pelaksanaan kewenangan melalui implementasi ICT (Information and Communication Tecnologies).

Modernisasi ICT di MK, diantaranya communication, information, technology, integrity, trustworthy, and clean. ICT dalam hukum acara selama ini dengan menggunakan electronic filling dan video conference. Untuk mengingkatkan Good Court Governance, MK memiliki E-Office, E-Planing, E-Budgeting, E-Procurement untuk administrasi umum. Dan untuk administrasi peradilan, MK memiliki E-Perkara, diantaranya permohonan online, E-BRPK, SMPP, E-Minutasi, dan Video Conference.  

“Penguatan kelembagaan MK yang diperlukan antara lain ialah penguatan Dewan Etik, penyempurnaan hukum acara MK, gagasan kemandirian anggaran, anotasi putusan, monitoring dan evaluasi serta e-minutasi,” harapnya.  

Membawa perubahan

Koorbid Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif, Violla Reininda menilai selama ini telah banyak putusan MK yang membawa perubahan dalam sistem ketatanegaraan dan berbagai aspek kehidupan. Berdasarkan penelitian Kode Inisiatif, sejak MK berdiri total putusan pengujian UU sebanyak 1.319.  

Dari jumlah itu, sebanyak 561 PUU ditolak; 516 PUU tidak dapat diterima; 180 PUU dikabulkan sebagian; 143 PUU ketetapan, 91 PUU dikabulkan seluruhnya dan 28 PUU gugur. “Kendati MK lebih banyak menolak daripada mengabulkan permohonan, tidak menutup kemungkinan MK memberi legal reasoning yang bermanfaat bagi perkembangan penafsiran konstitusi. Ini menjadi pesan penting, sebab membaca putusan MK bukan hanya membaca amarnya saja, melainkan juga pertimbangan hukum sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari putusan,” kata Violla.

Dari jumlah 1.319 perkara itu, terdapat 24 kategori isu pada klasifikasi judul UU yang diuji. Diantaranya, Pemilihan Umum sebanyak 179 kali; Pemerintahan Daerah 216 kali; Hukum Pidana sebanyak 173 kali; Kekuasaan Kehakiman sebanyak 141 kali; Penegakan Hukum sebanyak 84 kali; Partai Politik, Parlemen, Kementerian Negara sebanyak 83 kali; Ekonomi dan Bisnis sebanyak 68 kali; Sumber Daya Alam sebanyak 56 kali; Perpajakan sebanyak 46 kali; dan Ketenagakerjaan sebanyak 52 kali.

Terdapat UU yang paling banyak diuji yakni UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebanyak 82 kali; UU Pemerintahan Daerah sebanyak 79 kali; KUHAP 72 kali; UU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD 59 kali; UU MPR, DPR, DPD dan DPRD sebanyak 53 kali; UU Pemilihan Umum sebanyak 45 kali; UU MK sebanyak 41 kali; UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebanyak 39 kali; UU Mahkamah Agung sebanyak 37 kali; dan UU Ketenagakerjaan sebanyak 31 kali.

Tags:

Berita Terkait