14 Poin Pandangan Pemerintah terhadap RUU EBT
Terbaru

14 Poin Pandangan Pemerintah terhadap RUU EBT

Mulai transisi dan peta jalan, hingga konservasi energi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR Jakarta.
Gedung DPR Jakarta.

DPR bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyepakati kelanjutan nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT). RUU yang menjadi usul insiatif DPR itu bakal memasuki babak baru dalam tahap pembahasan secara tripartit. Setidaknya ada 574 nomor dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBT yang disusun pemerintah dengan rincian 52 pasal diubah, 10 pasal tetap, dan 11 pasal baru.

“Adapun pokok-pokok substansi DIM RUU EBT (terdapat 14 poin, red),” ujar Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi VII di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (29/11/2022).

Arifin menerangkan 14 poin tersebut. Pertama, transisi dan peta jalan. Menurutnya, pemerintah menyepakati pengaturan transisi energi dan peta jalan, tapi dengan penyesuaian substansi. Mulai dari target bauran energi yang mengacu pada kebijakan energi nasional, hingga peta jalan energi jangka menengah dan panjang serta transisi energi. Pemerintah pun mengusulkan penambahan substansi terkait transisi energi dan peta jalan untuk bahan non pembangkit.

“Sedangkan untuk substansi DMO batu bara pada bab transisi energi dan peta jalan diusulkan dihapus dengan pertimbangan sudah diatur detil pada regulasi subsektor minerba,” ujarnya.   

Baca Juga:

Kedua, sumber EBT. Menurutnya, pemerintah menyepakati definisi energi, energi terbarukan, sumber energi terbarukan dan sumber energi tak terbarukan. Namun, definisi energi baru dan sumber energi baru, pemerintah mengusulkan perubahan dengan mempertimbangkan kriteria mengikuti standar emisi karbon. Ketiga, nuklir. Pemerintah menyetujui pembentukan Majelis Tenaga Nuklir (MTN). Kewenangan MTN terkait dengan pengkajian kebijakan, pelaksanaan evaluasi monitoring, dan pelaksanaan kebijakan.

Keempat, perizinan berusaha. Pemerintah mengusulkan adanya perizinan berusaha EBT termasuk nuklir berbasis risiko sebagai legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk menjalankan usaha EBT. Diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, kepastian investasi, dan percepatan payung hukum dalam pembinaan dan pengusahaan kegiatan EBT.

Kelima, penelitian dan pengembangan. Pemerintah mendorong penelitian dan pengembangan. Tapi pemerintah mengusulkan penambahan substansi sesuai UU No.11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Antara lain penambahan soal rincian dan riset, khususnya pengembangan teknologi EBT serta pemanfaatan energi.

Keenam, harga EBT. Prinispnya, kata Arifin, pemerintah menyetujui pengaturan harga EBT. Tapi pemerintah mengusulkan adanya perubahan terminologi harga menjadi harga jual untuk membedakan dengan istilah tarif. Nah, dalam memitigasi ketidakpastian dari pelaksanaan negosiasi, pemerintah mengusulkan penambahan ayat baru pada Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (2) menjadi Pasal 53 ayat (2) A untuk harga energi baru. Sedangkan Pasal 54 ayat (2) A mengatur penetapan harga jual energi baru berdasarkan kebijakan pemerintah dan kapasitas yang bakal dikembangkan sesuai prosedur yang berlaku.

Ketujuh, insentif. Pemerintah berpandangan diperlukannya insentif atas dukungan fasilitas terhadap pengembangan usaha EBT. Tapi, frasa ‘insentif’ diusulkan diganti dengan dukungan pemerintah. Menurutnya, pemberian dukungan pemerintah mengacu pada ketentuan peraturan perundangan yang dapat berupa penyediaan tanah dan infrastruktur dalam mempercepat transisi pembangkit energi tak terbarukan menjadi pembangkit EBT.

Kedelapan, dana EBT. Pemerintah mengusulkan sumber dana EBT diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP). Kemudian pengelolaan dana EBT dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang keuangan. Kesembilan, tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Menurutnya, pemerintah mendukung pengutamaan produk dan potensi dalam negeri dalam pengembangan EBT.

Namun pemerintah mengusulkan pengutamaan produk dan potensi dalam negeri perlu mempertimbangkan tiga hal yakni ketersediaan atau kemampuan produk dan potensi dalam negeri; harga EBT tetap kompetitif; dan pemberian fleksibilitas sesuai sumber pendanaan EBT. Pemerintah juga mengusulkan adanya pengaturan dalam hal badan usaha yang masih impor teknologi dapat melakukan kerja sama dengan pihak terkait di dalam negeri atau luar negeri. Khususnya dalam mengaudit teknologi secara bertahap menuju kemandirian dalam memperkuat dan mendorong industri EBT dalam negeri.

Kesepuluh, pembinaan dan pengawasan. Menurutnya, pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan EBT dilakukan oleh menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tapi, pemerintah mengusulkan adanya kewajiban pelaporan kepada menteri atas pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh gubernur atau bupati/walikota. Khusus kesehatan dan keselamatan kerja, pemerintah mengusulkan adanya tambahan pengaturan terkait pengawasan terhadap dampak lingkungan. Kemudian penerapan kaidah keteknikan yang baik dan benar serta fungsi pengawasan dilakukan oleh inspektur yang menangani EBT.

Kesebelas, partisipasi masyarakat. Pemerintah berpandangan pengaturan partisipasi masyarakat dalam pengembangan EBT didasarkan pada peran serta dan hak masyarakat. Karenanya, hak masyarakat dalam penyelenggaraan EBT perlu diatur terkait dengan akses informasi, manfaat yang diperoleh, ganti rugi yang layak, serta hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan apabila ada kerugian.

“Substansi pengaturan ini mengadopsi pengaturan yang ada dalam UU Panas Bumi,” ujarnya.

Kedua belas, pembagian kewenangan. Pemerintah sependapat dengan ruang lingkup pembagian kewenangan yang diatur dalam draf RUU EBT. Seperti perizinan berusaha; penyediaan dan pemanfaatan EBT; penelitian dan pengembangan; insentif; pengusahaan dana EBT; serta pembinaan dan pengawasan. Namun pemerintah mengusulkan tambahan rincian mengenai pembagian kewenangan dimaksud. Khususnya terkait perizinan berusaha serta pembinaan dan pengawasan sebagai jembatan untuk perincian yang lebih detil dalam PP.

Ketiga belas, kewajiban penyediaan energi baru dan energi terbarukan. Pemerintah mengusulkan ketentuan kewajiban PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan pemegang wilis lainnya agar melaksanakan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Hijau. Keempat belas, konservasi energi. Pemerintah mengusulkan agar pengaturan konservasi energi dapat dimasukkan dalam RUU EBT.

Kemudian pengaturan lebih lanjut terkait konservasi energi diatur dalam aturan turunan RUU EBT dengan mempertimbangkan untuk mendukung transisi energi menuju energi berkelanjutan. Menurutnya, selain pembangunan energi terbarukan, konservasi energi memiliki peran signifikan dalam mengurangi penggunaan energi fosil di sektor pengguna energi.

“Antara lain sektor industri, transportasi, rumah tangga dan bangunan gedung komersial,” imbuhnya.

Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto mengatakan pandangan pemerintah menjadi masukan dan bahan dalam rangka pembahasan RUU EBT yang dilakukan secara tripartit antara DPR, pemerintah, dan DPD. Namun prinsipnya, DPR dan pemerintah memiliki kesatuan yang harmonis dalam memandang kebutuhan atas EBT.

“Kita berharap pandangan-pandangan ini akan menjadi referensi dasar bagi kami dalam pembahasan dan penyusunan RUU,” kata politisi Partai Nasional Demokrat itu.

Tags:

Berita Terkait