​​​​​​​14 Nama dalam Pembentukan Istilah Hukum dari Korps Adhyaksa
Potret Kamus Hukum Indonesia

​​​​​​​14 Nama dalam Pembentukan Istilah Hukum dari Korps Adhyaksa

​​​​​​​Mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara menulis kamus hukum multilingual. Rampung setelah pensiun.

Moh. Dani Pratama Huzaini/Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kamus hukum. Foto: MYS
Ilustrasi kamus hukum. Foto: MYS

Cobalah telusuri apa jawaban-jawaban atas pertanyaan berikut. Apa yang dimaksud dengan prapenuntutan? Apa saja cakupan praperadilan? Apakah saksi itu hanya terbatas pada orang yang melihat dan mengetahui peristiwa? Apakah istilah deponering yang selama ini dipakai jaksa adalah sebutan yang benar? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya berkaitan dengan perkembangan hukum di Indonesia, khususnya berhubungan dengan tugas jaksa atau penuntut umum.

 

Sebut misalnya istilah deponering (berasal dari bahasa Belanda: deponeren)yang lazim dipakai aparat penegak hukum. Adalah profesor hukum pidana yang pernah menjadi jaksa, Andi Hamzah, yang pernah secara terbuka mengoreksi penggunaan istilah itu beberapa tahun lalu. Yang benar, kata Prof. Andi, adalah seponering, berasal dari kata dasar sepot. Ia menduga kesalahan itu terjadi karena kebiasaan. Beberapa referensi hukum acara pidana juga menggunakan istilah deponering untuk merujuk pada pengesampingan perkara.

 

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia (Binacipta, 1983) memuat istilah deponeren dan seponeren. Deponeren berarti (i) mendaftarkan, khususnya pengiriman suatu merek kepada biro perindustrian (di Indonesia ke Ditjen Kekayaan Intelektual) untuk menjamin hak pemakaian merek. Pada merek yang sudah didaftarkan itu biasanya tertulis gedeponeerd (terdaftar); atau (ii) menyisihkan, meniadakan, mengesampingkan tuntutan perkara pidana oleh penuntut umum; dan (iii) memberikan keterangan saksi dalam suatu perkara.

 

Lema seponeren digunakan dalam perkara pidana, bermakna mengesampingkan, tidak diadakan penuntutan oleh penuntut umum berdasarkan asas oportunitas, atau karena bukti yang ada tidak cukup lengkap untuk mengajukan tuntutan hukum. Kata dasarnya, sepot, mengandung arti penyampingan, penyisihan. Dalam Kamus Belanda-Indonesia karya Susi Moemam dan Hein Steinhauer (2019), lema seponeren diartikan sebagai memetieskan, mengesampingkan. Jika ditulis aan zaak seponeren berarti mengesampingkan perkara. 

 

Hukumonline pernah menurunkan tulisan koreksi dari Andi Hamzah itu dalam pemberitaan pada November 2010. Wakil Jaksa Agung kala itu, Darmono, juga memuat koreksi itu dalam bukunya ‘Penyampingan Perkara Pidana, Seponering dalam Penegakan Hukum’ (2012), dengan memuat catatan kaki tulisan hukumonline. (Baca juga: Bahasa Hukum: Seponering atau Deponering?)

 

Bagi seorang jaksa, apalagi yang banyak terlibat dalam penuntutan dan penelitian, penggunaan istilah yang tepat sangat penting. Kesalahan menggunakan istilah dapat berakibat fatal. Asisten Khusus Jaksa Agung, Asep N. Mulyana, mencontohkan istilah baru dalam hukum yang berasal dari bahasa Inggris: Deferrred Prosecution Agreement (DPA). Jika diterjemahkan secara harfiah atau leksikal bisa bermakna perjanjian penangguhan penuntutan. Definisi semacam ini dapat menimbulkan pandangan negatif di masyarakat seolah-olah antara jaksa dan terdakwa membuat perjanjian untuk menunda penuntutan. Konotasinya bisa saja diarahkan ke pemberian uang.

 

Itu sebabnya, Asep lebih memilih menggunakan istilah dalam bahasa Inggris (DPA) dalam karya-karyanya. Seorang jaksa harus bisa memahami filosofi dasar suatu istilah hukum yang dipergunakan sehari-hari. “Kita harus melihat filosofi dasarnya,” kata Asep kepada hukumonline. (Baca juga: Kenali DPA-NPA, Perjanjian Penangguhan Penuntutan dalam Kejahatan Bisnis)

 

Ekspektasi Asep sebenarnya sudah dirasakan Kejaksaan. Pada 1985 silam, Kejaksaan pernah menerbitkan buku Peristilahan Hukum dalam Praktik. Buku setebal 300 halaman itu adalah kumpulan istilah yang biasa digunakan di lingkungan kejaksaan baik lisan maupun tertulis. Kamus ini ditulis agar ada keseragaman dalam pemakaian kata di lingkungan kejaksaan.

 

Jaksa Agung (kala itu) Hari Suharto menulis bahwa istilah disesuaikan dengan lafal sehari-hari, sedangkan istilah yang berasal dari bahasa asing tetap ditulis sesuai aslinya. Sekadar contoh, penggunaan kata deponering atau seponering tersebut. Buku Peristilahan Hukum dalam Praktik memuat kata ‘dep/deponir/seponir’ yang diartikan menyimpan, menitipkan, menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum; atau tidak meneruskan perkara ke pengadilan.

 

Selain menyeragamkan penggunaan istilah di lingkungan korps adhyaksa, tulis Hari, langkah ini juga merupakan upaya nyata dalam ‘pembangunan khasanah perkamusan nasional’. Dan untuk menyusun ratusan kata dalam daftar istilah tersebut, Jaksa Agung menugaskan 14 nama tim penyusun buku. Mereka adalah Muhammad Hasan Basry, S.T. Pulungan, Martin Basiang, T.M Sitompul, T. Usman Basyah, H. Soepriyadi, H. Tambunan, Soepratomo, Sjahbudin, Abdul Gofar, Wirzal Yanuar, A. Badaruddin, Bambang Herry S, dan Nuralam Nasution. Hasan Basry menjadi ketua, sedangkan sekretaris tim dijabat Soepratomo. Enam orang dari nama tim adalah petugas tata usaha.

 

Para penyusun menggunakan antara lain kamus hukum karya H van der Tas (1956), serta karya R Subekti dan Tjitrosoedibio (1972) ebagai rujukan. Juga, menggunakan Istilah Hukum Latin Indonesia yang dialihbahasakan Saleh Adiwinata (1977).

 

Asep N Mulyana berpandangan penyusunan istilah-istilah hukum penting dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat dan komunitas lain. Warga masyarakat bisa semakin tahu hukum. Orang yang makin kenal hukum, makin tahu hukum, maka ia akan memahami hukum dan berusaha untuk menjauhi hukuman akibat pelanggaran hukum.

 

Baca:

 

Martin Basiang

Nama Martin Basiang patut dicatat sebagai salah seorang dari 14 nama tersebut yang meneruskan penulisan kamus hukum. Setelah pensiun sebagai jaksa, mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara ini menulis sebuah kamus edisi luks: The Contemporary Law Dictionary. Edisi pertamanya, diterbitkan Red & White Publishing, 2009. Martin, menulis dalam kata pengantar, kamus ini disusun untuk memenuhi kebutuhan para penegak hukum, praktisi hukum, para birokrat, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk lebih mendalami berbagai istilah dan ungkapan hukum. Kamus karyanya diluncurkan bersamaan dengan hari bakti adhyaksa.

 

Kamus hukum ini menjelaskan setiap kata ke dalam bahasa Indonesia. Jika ada padanannya dalam bahasa Inggris atau bahasa Belanda, maka kata padanan tersebut juga dicantumkan. Contoh, kata belastingontduiking (Belanda) yang bermakna penghindaran pajak dengan cara curang; dalam bahasa Inggris disebut tax dodging atau tax evasion. “Setiap istilah yang ada di kamus ini sebetulnya istilah hukum yang dipakai di Indonesia. Jadi, itu harus dimengerti betul artinya,” ujar Martin dalam wawancara dengan hukumonline di rumahnya, Selasa (24/7) lalu.

 

Hukumonline.com

Martin Basiang saat memegang kamus hukum karyanya. Foto: RES

 

Istilah-istilah hukum yang dihimpun tidak terbatas pada bahasa Belanda dan Inggris, tetapi juga Latin. Martin memulai penulisan istilah-istilah itu sejak 1970-an ketika bertugas melakukan studi banding hampir setahun di Belanda. Ketika kembali ke Indonesia, di sela-sela tugasnya di Kejaksaan Agung, Martin berusaha menulis kata demi kata dan menjelaskannya agar lebih mudah dipahami. Toh, kamus itu benar-benar rampung setelah Martin pensiun. “Saya sudah pensiun baru keluar ini kamus,” jelasnya kepada hukumonline

 

Meskipun proses penyusunannya membutuhkan waktu lama, Martin merasa bersyukur penulisan kamus itu rampung dan mendapat apresiasi dari korps adhyaksa dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Mengutip pandangan (saat itu) Ketua BANI Priyatna Abdurrasyid, penggunaan istilah hukum multilingual itu dapat membantu para hakim, arbiter, praktisi hukum, ilmuan dan mahasiswa hukum untuk melaksanakan tugas mereka. Para praktisi hukum juga dapat memanfaatkan kamus ini untuk menyusun argumen yang jelas dengan pilihan diksi atau lema hukum yang tepat.

 

Ketika ditanya keterlibatannya dalam penulisan istilah-istilah hukum di Kejaksaan, Martin tak terlalu ingat lagi. Tetapi mantan Jamdatun ini masih mengingat ada tugas setiap repelita yang harus disusun oleh Kejaksaan Agung, termasuk menyusun pedoman-pedoman untuk memudahkan jaksa menjalankan tugas mereka. Yang jelas keberhasilan menyusun kamus hukum itu membuat Martin menaruh harap kepada aparat penegak hukum, khususnya jaksa, untuk memahami makna setiap kata atau istilah yang mereka gunakan. “Supaya betul-betul aparat hukum itu mengetahui kata yang dia pakai,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait