13 Poin Keberatan KPK atas LAHP Ombudsman Soal Peralihan Pegawai Menjadi ASN
Utama

13 Poin Keberatan KPK atas LAHP Ombudsman Soal Peralihan Pegawai Menjadi ASN

Atas keberatan tersebut, KPK akan melayangkan surat keberatan kepada Ombudsman.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
KPK menyatakan keberatan atas LAHP Ombudsman RI mengenai proses alih status pegawai menjadi ASN melalui TWK. Foto: RES
KPK menyatakan keberatan atas LAHP Ombudsman RI mengenai proses alih status pegawai menjadi ASN melalui TWK. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melayangkan surat keberatan kepada Ombudsman atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP). LAHP tersebut terkait adanya dugaan penyimpangan prosedur dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

"KPK menyampaikan keberatan berdasarkan landasan hukum Pasal 25 ayat 6 b dan karenanya kami kemudian akan menyampaikan surat keberatan ini sesegera mungkin besok (Jumat, 6 Agustus 2021) pagi ke Ombudsman," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, dan disiarkan secara daring, Kamis (5/8).

Ghufron menyampaikan landasan lembaganya merespons atas LAHP itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Ombudsman RI Nomor 48 Tahun 2020 tentang perubahan atas Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 Tahun 2017 tentang tata cara penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian laporan. "Berdasarkan Pasal 25 ayat 6 b diatur bahwa dalam hal terdapat keberatan dari terlapor atau pelapor terhadap Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) maka keberatan disampaikan kepada Ketua Ombudsman RI," ucap Ghufron.

Selain itu, Ghufron menegaskan kebijakan KPK tidak dapat diintervensi lembaga mana pun, termasuk Ombudsman. "Kami tidak ada di bawah institusi lembaga apa pun di Republik ini sehingga mekanisme memberikan rekomendasi kepada atasan KPK, atasan KPK, ya, langit-langit, atasan KPK sebagaimana Undang-Undang KPK yang dalam melaksanakan tugasnya tidak tunduk pada institusi apa pun tidak terinvensi ke insitusi apa pun," kata Ghufron. (Baca: Ombudsman Temukan Berbagai Penyimpangan dalam Peralihan Pegawai KPK),

Dalam dokumen yang didapat Hukumonline, ada 13 butir keberatan KPK terhadap temuan malaadministrasi yang disampaikan Ombudsman. 1) Pokok perkara yang diperiksa Ombudsman merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Perkom KPK No 1 Tahun 2020 yang merupakan kompetensi absolute Mahkamah Agung dan saat ini sedang dalam proses pemeriksaan;

2) Ombudsman melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan; 3) Legal Standing pelapor bukan masyarakat penerima layanan publik KPK sebagai pihak yang berhak melapor dalam pemeriksaan Ombudsman;

4) Pokok perkara pembuatan peraturan alih status pegawai KPK, pelaksanaan TWK dan penetapan hasil TWK yang diperiksa oleh Ombudsman bukan perkara pelayanan publik; 5) Pendapat Ombudsman yang menyatakan ada penyisipan materi TWK dalam tahapan pembentukan kebijakan tidak didasarkan bahkan bertentangan dengan dokumen, keterangan saksi, dan pendapat ahli dalam LHAP.

6) Pendapat Ombudsman yang menyatakan “pelaksanaan rapat harmonisasi tersebut dihadiri pimpinan Kementerian/Lembaga yang seharusnya dikoordinasikan dan dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan. Penyalahgunaan wewenang terjadi dalam penandatangan Berita Acara Pengharmonisasian yang dilakukan oleh pihak yang tidak hadir pada rapat harmonisasi tersebut.

7) Fakta hukum Rapat Koordinasi Harmonisasi yang dihadiri atasannya yang dinyatakan sebagai maladministrasi, dilakukan juga oleh Ombudsman RI dalam pemeriksaan; 8), Pendapat Ombudsman yang menyatakan KPK tidak melakukan penyebarluasan informasi Rancangan Peraturan KPK melalui Portal Internal KPK bertentangan dengan bukti.

9) Pendapat Ombudsman berkaitan tentang “terdapat Nota Kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN tentang tahapan pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak relevan karena tidak pernah digunakan dan tidak ada konsekwensi hukumnya dengan keabsahan TWK dan hasilnya.

10) Pendapat Ombudsman yang menyatakan telah terjadi maladministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan Asesmen TWK bertentangan dengan hukum dan bukti; 11) Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan bahwa KPK tidak patut menerbitkan Surat Keputusan Ketua KPK Nomor 652 Tahun 2021 karena merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN tidak berdasar hukum.

12) Pendapat Ombudsman berkenaan dengan Berita Acara tanggal 25 Mei 2021, bahwa Menteri PANRB, Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, 5 (lima) Pimpinan KPK, Ketua KASN dan Kepala LAN telah melakukan pengabaian terhadap pernyataan Presiden tersebut dan telah melakukan tindakan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang terhadap kepastian status dan hak untuk mendapatkan perlakukan yang adil dalam hubungan kerja tidak berdasar hukum.

13) Tindakan korektif yang direkomendasikan Ombudsman tidak memiliki hubungan sebab akibat (causalitas verband) bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LHAP.

"Mengingat tindakan korektif yang harus dilakukan oleh terlapor didasarkan atas pemeriksaan yang melanggar hukum, melampui wewenangnya, melanggar kewajiban hukum untuk menghentikan, dan tidak berdasarkan bukti serta tidak konsisten dan logis, kami menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan Ombudsman," tandas Ghufron.

Tim 75 selaku perwakilan 75 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK meminta Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri dapat melaksanakan tindakan korektif berdasarkan temuan Ombudsman. "Sebagai penegak hukum pimpinan KPK jangan berputar-putar, harus taat juga pada hukum, taati semua hukum dan jangan memilih-milih hukum untuk ditaati supaya memberi contoh yang baik bagi masyarakat," kata perwakilan Tim 75 Hotman Tambunan di Jakarta, Rabu (4/8).

Bantah Ada Penyisipan Materi

Ghufrom juga membantah hasil pemeriksaan Ombudsman soal adanya penyisipan materi TWK dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN. Menurutnya, pendapat Ombudsman RI yang menyatakan ada penyisipan materi TWK dalam tahapan pembentukan kebijakan tidak didasarkan bahkan bertentangan dengan dokumen, keterangan saksi, dan pendapat ahli dalam LAHP.

"Jadi, perlu kami sampaikan tidak ada dokumen apa pun, kami baca di LAHP-nya yang menyatakan bahwa ada penyisipan. Semuanya prosesnya terbuka, kalaupun ada usulan, usulan-nya usulan terbuka," ungkap Ghufron.

Tanggapan lain KPK adalah pokok perkara yang diperiksa Ombudsman saat ini sedang dalam proses pemeriksaan di Mahkamah Agung (MA). "Pokok perkara yang diperiksa oleh Ombudsman merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2020 yang merupakan kompetensi absolut Mahkamah Agung dan saat ini perkaranya sedang dalam proses pemeriksaan," ucap Ghufron.

Oleh karena itu, kata dia, jika ada lembaga lain ikut memeriksa atau bahkan mendahului pemeriksaan harus dipandang melanggar konstitusi. "Ada lembaga yang kemudian ikut memeriksa, ikut bersama pemeriksaannya atau bahkan mendahuluinya harus dipandang sebagai melanggar konstitusi dan itu kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, yaitu hak menguji materi pada MA yang diatur pada Pasal 31," ujar Ghufron.

Ia juga mengatakan Ombudsman juga melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan.

"Bahwa Undang-Undang 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman pada Pasal 9 mengatakan dalam melaksanakan kewenangan-nya, Ombudsman dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan putusan. Maka kalau ada pemeriksaan terhadap materi yang sama, secara fungsional itu adalah mengganggu kebebasan hakim dalam memberikan putusan," ucap Ghufron. (ANT)

Tags:

Berita Terkait