Tidak hanya itu, adanya ambang batas pencalonan presiden mencerminkan legitimasi sosio-politik representasi masyarakat yang berbhineka. Dan Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD dan tidak bersifat diskriminasi. Sebab, disebut diskriminasi apabila melakukan pembedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik dll.
Namun, dua dari sembilan hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait Pasal 222 UU Pemilu ini yakni Saldi Isra dan Suhartoyo. Keduanya, menilai aturan ambang batas memberi ketidakadilan pada partai politik baru yang tak bisa mengajukan calon presiden-wakil presiden. Selain itu, ada kerancuan sistem presidensial dan parlementer. Menurutnya, seharusnya MK menghapus ambang batas presiden ini agar jumlah capres-cawapres pada pemilu 2019 akan lebih beragam daripada pemilu 2014.