12 Masalah Penghambat Kemudahan Berusaha Hasil Analisa BPHN
Berita

12 Masalah Penghambat Kemudahan Berusaha Hasil Analisa BPHN

Tumpang tindih, disharmoni dan hiper regulasi. Kurang lebih, tiga persoalan itu menggambarkan potret kondisi PUU di Indonesia dewasa ini.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto. Foto: Istimewa
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto. Foto: Istimewa

Sepanjang tahun 2018, seluruh arah kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), khususnya Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum tertuju pada penataan regulasi dalam mendukung Ease of Doing Business (EoDB).

 

Duabelas Tim Pokja pun dibentuk untuk melakukan analisa dan evaluasi hukum terhadap 12 indikator penilaian kemudahan berusaha yang telah ditetapkan World Bank. Kurang lebih 9 bulan bekerja, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Riyanto, mengatakan bahwa Tim Pokja telah berhasil merampungkan dan merilis hasil temuannya.

 

Sebagai aktualisasi agenda Revitalisasi Hukum Jilid II yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, Pemerintah sebagai regulator maupun fasilitator pembangunan ekonomi berada pada garda terdepan dalam memastikan menarik atau tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Langkah itu ditempuh melalui penataan regulasi dengan melakukan evaluasi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan dan pembuatan database terintegrasi.

 

Tumpang tindih, disharmoni dan hiper regulasi, kurang lebih 3 persoalan itulah yang disebut Benny menggambarkan potret kondisi PUU di Indonesia dewasa ini. Di sinilah BPHN memainkan peran untuk melakukan analisa dan evaluasi dalam rangka memperbaiki materi hukum yang sudah ada (existing regulation) termasuk perbaikan atas sistem hukum itu sendiri.

 

“Hasil analisa evaluasi itu berupa rekomendasi, yakni apakah perlu perubahan (revisi), penggantian (dicabut), atau dipertahankan namun dengan pembenahan unsur struktural dan kultural,” kata Benny dalam rilis yang diterima hukumonline, Senin (12/11).

 

Goal utama dari aksi penataan regulasi ini, disebut Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN, Liestiarni Wulandari, untuk menciptakan peraturan yang ‘taat asas’ dan dilakukan dengan berpedoman pada ‘5 Dimensi’ yang diluncurkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai indikator penataan regulasi. Goal akhirnya, diharapkan peringkat EoDB Indonesia akan otomatis meningkat seiring berhasilnya penataan regulasi tersebut.

 

“Jumlah peraturan perundang-undangan yang dianalisis menggunakan pedoman ‘5 dimensi’ sebanyak 314 PUU. Terdiri dari UU, PP, Perpres, Permen dan Peraturan lainnya,” kata Lies.

 

(Baca Juga: Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan)

 

Untuk mempertajam dan melakukan finalisasi hasil temuan analisa dan evaluasi tersebut, sekaligus penetapan rekomendasi hasil analisa dan evaluasi hukum dalam rangka EoDB yang melibatkan ratusan pakar, akhirnya 12 Tim Pokja melakukan pleno dan memutuskan rekomendasi hasil analisa dan evaluasi hukum dalam rangka EoDB. Berikut hasil analisa BPHN:

 

  1. Terkait dengan penegakan hukum kontrak, sesuai UNCITRAL, arbitrase internasional adalah arbitrase yang ada unsur-unsur transnasional di dalamnya. Persoalan nomenklatur bukan domain undang-undang, tetapi cukup mengganti AD/ART, BANI sebagai Badan Arbitrase Internasional di Indonesia.
  1. Di dalam UU PT, perlu dijadikan pedoman penyelarasan PP Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar, sehingga perlu direvisi agar tidak ada pembatasan modal minimum kecuali untuk bidang-bidang tertentu.
  1. Di dalam UU Kepailitan dan PKPU, perlu diatur ketentuan baru mengenai cross border insolvency karena potensi terjadinya hal tersebut semakin besar pada era globalisasi.
  1. Terkait proses memulai usaha, beberapa peraturan membutuhkan penyelarasan agar harmonis dengan peraturan perundang-undangan lainya, seperti UU Perdagangan, UU Perseroan Terbatas, UU UKM, UU BUMN, UU Pasar Modal.
  1. Peraturan perundang-undangan terkait Perdagangan Lintas Negara harus segera dilakukan sinkronisasi, harmonisasi, misalnya UU Kepabaenan, UU Imigrasi, UU Ketentuan Umum Perpajakan, Peraturan perundang-undangan terkait e-commerce, perlindungan konsumen, hukum kontrak yang mendasari Perdagangan Lintas negara.
  1. Ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan mengenai upah minimum sektoral perlu diubah karena kesepakatan antara asosiasi pengusaha dan serikat pekerja di sektor dimaksud sulit tercapai. Penentuan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota sama-sama menggunakan perhitungan kebutuhan hidup layak. 
  1. RDTR yang merupakan implementasi dari RTRW Kabupaten/kota merupakan pintu gerbang pertama bagi proses IMB. Disamping itu, kepemilikan tanah juga sangat mempengaruhi status tanah yang akan ditetapkan dalam RDTR. Sehingga dalam memperbaiki proses IMB, sangat dibutuhakan ketepatan kepemilikan tanah dan pemetaan RDTR. Maka rekomendasi yang paling krusial disektor perizinan mendirikan bangunan adalah perlu dibentuk Perpres tentang percepatan  penetapan RDTR di daerah Kabupaten/kota. Mengingat dari 514 Kabupaten/kota, hanya sekitar 41 Kabupaten/kota yang telah memiliki RDTR.
  1. Sebagaimana kita ketahui sistem pendaftaran tanah di indonesia, sebagaimana diatur PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah menggunakan stelsel negatif, yaitu bahwa sertifikat hak atas tanah adalah bukti kepemilikan yang kuat tidak mutlak. Untuk menjamin kepastian yang mutlak, maka perlu untuk diubah menjadi pendaftaran tanah dengan stelsel positif. Namun mengubah dari sistem negatif stelsel menjadi positif stelsel, harus didahului dengan: -Selesainya pendaftaran tanah sistematis lengkap yang ditargetkan pada tahun 2025. -Dibentuk lembaga penjamin sertifikat.
  1. Sistem pembangkitan yang dimiliki PLN diseluruh indonesia saat ini belum cukup kuat mendukung proyeksi masuknya sumber pembangkit dari energi terbarukan secara besar-besaran. Untuk mengejar target bauran energi terbarukan yang telah ditentukan oleh pemerintah, sebesar 23 % di tahun 2025, maka diperlukan pengutan sistem pembangkitan tersebut. Hal ini membutuhkan investasi yang sangat besar. Maka direkomendasikan untuk menentukan investasi dan/ atau subsidi dalam rangka penguatan kapsitas pembangkit intermiten dalam sistem pembangkitan listrik di PLN.
  1. Reformasi undang-undang di bidang perpajakan juga merupakan point penting untuk meningkatkan peringkat EODB, kepastian hukum pada sektor perpajakan menjadi titik kunci bagi pelaku usaha, karena banyak sekali ditemukan peraturan perundang-undangan yang disharmoni dan tidak sinkron, serta terdapat UU yang sudah mengalami perubahan sebanyak empat kali yang perlu untuk dilakukan pergantian.
  1. Terkait dengan akses perkreditan yang menjadi perhatian pokja adalah kriteria UMKM sehingga bidsa memeperoleh akses kredit yang lebih luas, hal ini berkorelasi dengan penyaluran kredit usaha rakyat terutama bagi para nelayan dan petani, yang hal ini juga perlu ditunjang oleh lembaga keuangan mikro.
  1. Terkait dengan perlindungan investor minoritas terdapat beberapa temuan pokja terutama terkait dengan transaksi afiliasi dan transaksi benturan kepentingan, serta bagaimana membangun ketentuan yang mendukung Good Corporate Govenance sehingga investor minoritas dapat terlindungi hak-haknya.
Tags:

Berita Terkait