12 Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Migas
Berita

12 Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Migas

Terpenting, penumpukan kewenangan di tangan Presiden dalam pengelolaan migas ini beresiko penyalahgunaan kewenangan. Ditambah lagi, peran pengawasan DPR, pemerintah daerah, dan DPRD dihapus.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Substansi RUU Cipta Kerja terus mendapat sorotan publik karena menyasar 79 UU terdampak di berbagai sektor. Salah satunya, sektor minyak dan gas (migas) sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

 

Divisi Hukum Jatam Nasional Jamil menyoroti sedikitnya 12 hal ketentuan dalam RUU Cipta Kerja yang berdampak terhadap UU Migas. Pertama, RUU Cipta Kerja hanya mengenal satu entitas yakni Presiden sebagai pemegang kekuasaan. Dalam hal ini tidak tertulis lagi bagaimana peran Menteri. Sebelumnya dalam Pasal 1 angka 21 UU Migas menjelaskan pemerintah adalah perangkat NKRI yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.

 

Jamil menilai ketentuan itu memberi kewenangan berlebihan kepada Presiden. Memang dampaknya seperti tujuan RUU Cipta Kerja yakni memudahkan masuknya investasi dengan menyederhanakan perizinan. Tapi penumpukan kewenangan di tangan Presiden dalam pengelolaan migas ini beresiko.

 

“Kekuasaan penuh untuk perizinan ada di tangan Presiden berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang akibat over kewenangan,” kata Jamil di Jakarta, Selasa (10/3/2020). Baca Juga: Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Minerba

 

Kedua, ada unsur penyelewengan frasa “dikuasai oleh negara” yang diatur Pasal 4 UU Migas. Ketentuan itu mengatur migas sebagai sumber daya alam (SDA) strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan.

 

Tapi dalam RUU Cipta Kerja frasa “dikuasai oleh negara” dimaknai hanya dengan dilaksanakan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan usaha migas oleh negara dari hulu sampai hilir berdasarkan prinsip efisiensi dan kemudahan investasi. Menurut Jamil frasa “dikuasai oleh negara” harus sesuai dengan konstitusi.

 

Ketiga, pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu migas. Jamil menilai pembentukan BUMNK belum terlalu penting dan pengaturannya masih sangat umum dalam RUU Cipta Kerja. Bisa jadi melalui ketentuan ini, pemerintah akan membentuk badan baru atau mentransformasi lembaga yang sudah ada seperti SKK Migas.

 

Keempat, mempertegas kekuasaan Presiden dengan mengubah Pasal 5 UU Migas yakni kegiatan usaha migas dapat dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Untuk kegiatan usaha hulu migas masih sama dengan aturan sekarang dalam UU Migas yaitu eksplorasi dan eksploitasi untuk usaha hulu dan pengolahan, pengangkutan, serta penyimpanan untuk usaha hilir.

 

Kelima, RUU Cipta Kerja tetap mengakui kontrak kerja yang masih berjalan. Ketentuan yang diatur dalam perubahan Pasal 11 UU Migas ini juga menghapus peran pengawasan DPR. Seperti diketahui, Pasal 11 ayat (2) UU Migas mengatur setiap kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR.

 

Tapi, RUU Cipta Kerja mengubah aturan ini, pemerintah bisa melakukan kegiatan ini melalui BUMNK tanpa harus memberitahukan kepada DPR. “Ketentuan ini memang lebih efisien dan memangkas alur proses perizinan, tapi akibatnya tidak ada pengawasan oleh parlemen.”

 

Keenam, RUU Cipta Kerja menghapus peran pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan untuk menetapkan wilayah kerja migas. Seperti diatur Pasal 12 ayat (1) UU Migas, wilayah kerja yang akan ditawarkan kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan pemerintah daerah (pemda). Pasal ini diubah menjadi wilayah kerja yang akan ditawarkan BUMNK ditetapkan oleh pemerintah pusat.

 

Ketujuh, izin untuk usaha hilir migas hanya perlu satu izin dari Presiden. Jamil memaparkan Pasal 23 UU Migas mengatur kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Izin usaha ini terdiri dari 4 jenis yaitu izin usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. RUU Cipta Kerja mengubah dari 4 menjadi 1 perizinan yaitu perizinan berusaha. “Akibatnya nanti proses pengawasan menjadi tidak jelas,” ujarnya.

 

Delapan, sanksi hanya dapat diberikan oleh pemerintah pusat. Jamil melihat RUU Cipta Kerja menghapus kewenangan pemerintah daerah untuk memberikan sanksi administratif hingga pencabutan izin. Dalam perubahan Pasal 25 UU Migas, RUU Cipta Kerja mengatur sanksi administratif berupa denda, sebelumnya ketentuan denda ini merupakan bagian dari sanksi pidana.

 

Sembilan, Pasal 50 UU Migas diubah, sehingga pejabat penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sektor migas berada di bawah koordinasi Polri. Menurut Jamil, pasal ini membuat PPNS menjadi tidak independen lagi dalam menjalankan tugasnya menegakan hukum di sektor migas dan semakin lemah.

 

Sepuluh, perubahan Pasal 53 RUU Cipta Kerja memuat norma sanksi pidana yang tidak dapat dikenakan sebelum sanksi administratif. Menurut Jamil, jika pihak yang melakukan pelanggaran telah melaksanakan sanksi administratif, dia akan lepas dari jerat pidana. “Jika pasal ini diketok, perusahaan yang melakukan pelanggaran tidak dapat dijatuhi sanksi pidana jika mereka sudah melaksanakan sanksi administratif, ini tidak memberi rasa keadilan bagi publik,” tegasnya.

 

Sebelas, RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 55 UU Migas, sehingga sanksi dikenakan untuk tindakan penyalahgunaan pengangkutan dan atau niaga BBM, BBG, dan atau liquefied petroleum yang disubsidi pemerintah. Sebelumnya, sanksi hanya dikenakan untuk penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga BBM yang disubsidi pemerintah.

 

Duabelas, ada norma baru yang tertuang dalam pasal 64A RUU Cipta. Jamil menilai ketentuan ini mengatur usaha hulu migas akan dilaksanakan BUMNK. Kontrak yang telah ada sebelumnya yakni kontrak kerja antara SKK Migas tetap berlaku keberadaannya dan tetap mendapat kepastian hukum. SKK Migas dapat bertugas seperti saat ini sampai terbentuknya BUMNK.

 

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM sekaligus pelaksana tugas Direktur Jenderal Migas Ego Syahrial menyebut RUU Cipta Kerja akan mempercepat dan memperluas investasi. “Investasi ESDM kita dorong terus. Dalam 5 tahun ke depan (2020-2024) rencana investasi ESDM minimal dapat dicapai sebesar US$ 198 miliar atau Rp 2.768 triliun,” kata Ego sebagaimana dikutip laman esdm.go.id medio Februari 2020.

 

Dari rencana 5 tahun tersebut, porsi investasi migas yang paling besar yaitu US$ 117 miliar; disusul investasi ketenagalistrikan sekitar US$ 39 miliar; mineral dan batubara sebesar US$ 22 miliar; dan energi terbarukan sekitar US$ 20 miliar. Menurutnya, dalam 5 tahun ke depan, porsi investasi migas paling besar sekitar US$ 117 miliar atau 59 persen dari total investasi ESDM.

 

Selain itu, Ego melanjutkan upaya meningkatkan produksi migas terus dilakukan dengan teknologi baru, penyempurnaan regulasi, percepatan berbagai proses perizinan, administrasi serta keterbukaan data migas. Lapangan migas yang sedang dikembangkan akan dipercepat.

 

"Yang paling konkrit, kita pasti akan lelang blok migas tahap I tahun 2020 ini. Sekarang masih kita persiapkan dulu. Mohon ditunggu, akan kita buka dalam waktu dekat, sebentar lagi. Kami tegaskan sektor ESDM akan full effort and full speed untuk menciptkan iklim investasi dan lapangan kerja yang makin positif. Seiring semangat RUU Cipta Kerja untuk mencapai pertumbuhan, pemerataan, ketahanan, dan daya saing ekonomi," katanya. 

Tags:

Berita Terkait