12 Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Migas
Berita

12 Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Migas

Terpenting, penumpukan kewenangan di tangan Presiden dalam pengelolaan migas ini beresiko penyalahgunaan kewenangan. Ditambah lagi, peran pengawasan DPR, pemerintah daerah, dan DPRD dihapus.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Keempat, mempertegas kekuasaan Presiden dengan mengubah Pasal 5 UU Migas yakni kegiatan usaha migas dapat dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Untuk kegiatan usaha hulu migas masih sama dengan aturan sekarang dalam UU Migas yaitu eksplorasi dan eksploitasi untuk usaha hulu dan pengolahan, pengangkutan, serta penyimpanan untuk usaha hilir.

 

Kelima, RUU Cipta Kerja tetap mengakui kontrak kerja yang masih berjalan. Ketentuan yang diatur dalam perubahan Pasal 11 UU Migas ini juga menghapus peran pengawasan DPR. Seperti diketahui, Pasal 11 ayat (2) UU Migas mengatur setiap kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR.

 

Tapi, RUU Cipta Kerja mengubah aturan ini, pemerintah bisa melakukan kegiatan ini melalui BUMNK tanpa harus memberitahukan kepada DPR. “Ketentuan ini memang lebih efisien dan memangkas alur proses perizinan, tapi akibatnya tidak ada pengawasan oleh parlemen.”

 

Keenam, RUU Cipta Kerja menghapus peran pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan untuk menetapkan wilayah kerja migas. Seperti diatur Pasal 12 ayat (1) UU Migas, wilayah kerja yang akan ditawarkan kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan pemerintah daerah (pemda). Pasal ini diubah menjadi wilayah kerja yang akan ditawarkan BUMNK ditetapkan oleh pemerintah pusat.

 

Ketujuh, izin untuk usaha hilir migas hanya perlu satu izin dari Presiden. Jamil memaparkan Pasal 23 UU Migas mengatur kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari pemerintah. Izin usaha ini terdiri dari 4 jenis yaitu izin usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. RUU Cipta Kerja mengubah dari 4 menjadi 1 perizinan yaitu perizinan berusaha. “Akibatnya nanti proses pengawasan menjadi tidak jelas,” ujarnya.

 

Delapan, sanksi hanya dapat diberikan oleh pemerintah pusat. Jamil melihat RUU Cipta Kerja menghapus kewenangan pemerintah daerah untuk memberikan sanksi administratif hingga pencabutan izin. Dalam perubahan Pasal 25 UU Migas, RUU Cipta Kerja mengatur sanksi administratif berupa denda, sebelumnya ketentuan denda ini merupakan bagian dari sanksi pidana.

 

Sembilan, Pasal 50 UU Migas diubah, sehingga pejabat penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sektor migas berada di bawah koordinasi Polri. Menurut Jamil, pasal ini membuat PPNS menjadi tidak independen lagi dalam menjalankan tugasnya menegakan hukum di sektor migas dan semakin lemah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait