104 Organisasi HAM Serukan Akhiri Judicial Harassment dan Bebaskan Haris-Fatia
Utama

104 Organisasi HAM Serukan Akhiri Judicial Harassment dan Bebaskan Haris-Fatia

Menurut mereka, kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris yang disebabkan kritik terhadap pejabat pemerintah menjadi bentuk pelanggaran atas kewajiban Indonesia dalam menegakkan kebebasan berekspresi yang didasari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan pencemaran nama baik di Polda Metro Jaya, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES
Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan pencemaran nama baik di Polda Metro Jaya, Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: RES

Sebanyak 104 organisasi, kelompok hak asasi manusia (HAM), dan pembela HAM dari dalam maupun luar negeri menyerukan terhadap Pemerintah Indonesia agar menyudahi judicial harassment (penyalahgunaan proses hukum/kriminalisasi) terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Mereka juga meminta kepada pemerintah untuk lebih melindungi seluruh pembela HAM di Indonesia.

“Kami bersolidaritas dengan Fatia dan Haris. Kita tidak bisa tinggal diam. Pekerjaan para pembela HAM akan selalu penting dalam menegakkan demokrasi dan HAM bagi semua orang,” demikian dikutip dari pernyataan bersama mereka berjudul “Solidarity for Human Rights Defenders Fatia Maulidiyanti and Haris Azhar” yang dilansir Manushya, Rabu (22/11/2023).

104 organisasi HAM yang membubuhi tanda tangan dalam pernyataan bersama itu diantaranya Amnesty International Indonesia, ASEAN Regional Coalition to #StopDigitalDictatorship, Asia Democracy Network, Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA), Canadian Civil Liberties Association, Defence of Human Rights Pakistan, Egyptian Initiative for Personal Rights, Human Rights Law Network (HRLN) India, Human Rights Law Centre (HRLC) Australia, dan seterusnya.

Baca Juga:

Menurut mereka, kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris yang disebabkan kritik terhadap pejabat pemerintah menjadi bentuk pelanggaran atas kewajiban Indonesia dalam menegakkan kebebasan mendasar masyarakat, khususnya dalam hal ini kebebasan berekspresi yang didasari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Bukan sekadar melemahkan kerja pembela HAM, kriminalisasi seperti ini dapat berimbas negatif terhadap kebebasan berpendapat atau suara yang memiliki pendapat berbeda. “Kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk menghentikan kriminalisasi terhadap para pembela HAM dan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang lebih merugikan mereka,” pintanya.

Menjelang putusan hakim yang dijadwalkan pada 18 Desember 2023 mendatang, ratusan kelompok HAM yang membubuhi tanda tangan atas pernyataan bersama tersebut merasa bahwa para stakeholders yang diantaranya komunitas internasional dan masyarakat perlu mendesak Pengadilan untuk membebaskan Fatia dan Haris dari segala tuduhan dan mengakhiri judicial harassment terhadap kalangan pembela HAM.

“Kami sangat prihatin dengan dakwaan terhadap Fatia dan Haris, hal ini menunjukkan betapa berbahayanya menjadi pembela HAM di Indonesia. Hanya karena menyampaikan kebenaran kepada pihak yang berkuasa, mencari keadilan dan akuntabilitas, serta menyampaikan kritik berdasarkan bukti terhadap pemerintah, orang-orang seperti Fatia dan Harris dibungkam.”

Mereka menyatakan kriminalisasi yang terjadi merupakan hal yang bertentangan dengan sejumlah komitmen internasional Indonesia seperti ICCPR. “Pelecehan hukum seperti itu tidak akan pernah terjadi dalam konteks demokrasi yang sehat. Cobaan yang dialami Fatia dan Harris mengungkap kemerosotan ruang sipil dan demokrasi di Indonesia,” sambung kelompok-kelompok itu.

Pasalnya, bukannya menjunjung tinggi hak kebebasan berekspresi masyarakat yang merupakan hak asasi manusia fundamental sebagaimana termaktub dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), sebaliknya mereka melihat bagaimana pemerintah justru memilih untuk melemparkan tuduhan pencemaran nama baik bagi Fatia dan Haris. 

“Indonesia juga telah melanggar janji yang dibuat setelah terpilih kembali sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2024 hingga 2026 – untuk melindungi hak-hak sipil dan politik dasar setiap orang,” tegas ke-104 organisasi pembela HAM dalam joint statement ini.

Sebelumnya, pada Senin (13/11/2023) kemarin, Penuntut Umum telah membacakan surat tuntutannya terhadap terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Penuntut Umum menuntut Haris hukuman penjara 4 tahun dan denda sebanyak Rp 1 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan badan. Haris dinilai telah terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.  

Terhadap konten video berjudul “Ada Lord Luhut dibalik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jendral BIN Juga Ada!! NgeHAMtam” yang diunggah pada 20 Agustus 2021. Lalu, dimintakan pula dalam amar tuntutannya kepada Majelis Hakim agar konten tersebut dapat dihapus oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Sedangkan untuk Fatia dituntut hukuman 3 tahun 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama. Pembacaan pembelaan (pledoi) dari Haris dan Fatia dijadwalkan akan digelar pada Senin 27 November 2023 mendatang.

Tags:

Berita Terkait