10 Usulan Buruh untuk RUU Cipta Lapangan Kerja
Berita

10 Usulan Buruh untuk RUU Cipta Lapangan Kerja

Perlindungan pekerja harus diutamakan dari segala bentuk eksploitasi dan pelanggaran hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar unjuk rasa menolak RUU Cipta Lapangan Kerja di Gedung DPR Jakarta, Senin (13/1). Foto: RES
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar unjuk rasa menolak RUU Cipta Lapangan Kerja di Gedung DPR Jakarta, Senin (13/1). Foto: RES

Pemerintah saat ini tengah sibuk merumuskan sejumlah RUU Omnibus Law, salah satunya RUU Cipta Lapangan Kerja. Selama beberapa pekan terakhir, kalangan serikat buruh/pekerja merasa khawatir terhadap materi muatan RUU Cipta Lapangan Kerja yang berpotensi menurunkan kesejahteraan bagi buruh/pekerja melalui penghapusan hak-hak buruh yang sudah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU terkait.          

 

Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Saepul Tavip menilai omnibus law akan mempengaruhi kebijakan sektor ketenagakerjaan. Karena itu, Tavip menyebut organisasinya mengusulkan sedikitnya 10 hal untuk omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja. Pertama, keinginan pemerintah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya perlu didukung.

 

Kedua, mengacu survei World Economic Forum menyebut ada 16 faktor penghambat investasi di Indonesia. Dari 16 faktor itu yang pertama korupsi dengan skor (13,8); diikuti inefisiensi birokrasi (11,1); akses ke pembiayaan (9,2); infrastruktur tidak memadai (8,8); kebijakan tidak stabil (8,6). Faktor regulasi ketenagakerjaan ada pada urutan 13 (4). Mengacu survei itu Tavip menilai pemerintah keliru jika omnibus law Cipta Lapangan Kerja dilatarbelakangi hanya isu ketenagakerjaan.

 

"Padahal masih banyak faktor lain lebih dominan yang harus dibenahi pemerintah," kata Tavip di Jakarta, Selasa (21/1/2020). Baca Juga: Buruh Minta Aturan Ketenagakerjaan Ditarik dari RUU Cipta Lapangan Kerja

 

Ketiga, pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja harus mengintegrasikan politik legislasi sistem pendidikan nasional, ketenagakerjaan, dan perindustrian berbasis riset dan inovasi agar mampu menghasilkan SDM unggul. Keempat, penciptaan lapangan kerja harus dibarengi perlindungan, kepastian hukum, dan kesejahteraan pekerja. Jangan sampai penciptaan lapangan kerja ini hanya memberi tingkat kesejahteraan yang rendah, syarat dan kondisi kerja yang buruk, serta rentan kehilangan pekerjaan (PHK massal).

 

"Perlindungan pekerja harus diutamakan dari segala bentuk eksploitasi dan pelanggaran hukum," ujar Tavip mengingatkan.  

 

Kelima, setiap upaya dan kebijakan mendorong investasi arahnya harus investasi yang ramah buruh, HAM, dan lingkungan hidup. “Investasi tidak sekedar menguntungkan investor, tapi juga rakyat dan lingkungan hidup,” harapnya.  

 

Keenam, Tavip mengingatkan konsep mudah rekrut dan mudah pecat (easy hiring, easy firing) sebagai isu yang berkembang belakangan ini cenderung menciptakan pengangguran baru bagi buruh yang sudah bekerja karena menjadi rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). “Penciptaan lapangan kerja harus dapat menjamin terwujudnya trilayak bagi pekerja yakni kerja, upah, dan hidup layak."

 

Ketujuh, RUU Cipta Lapangan Kerja harus memastikan seluruh pekerja terdaftar dalam 5 program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS. Delapan, RUU Cipta Lapangan Kerja harus menjamin dan melindungi hak buruh untuk berserikat. Sembilan, RUU ini tidak boleh lebih buruk dari peraturan yang sudah ada. Jangan sampai manfaat (hak-hak buruh) yang saat ini diterima pekerja malah dikurangi atau dihapus dengan kehadiran RUU Cipta Lapangan Kerja.

 

Sepuluh, pembuat kebijakan perlu membuka ruang dialog dengan pemangku kepentingan terutama serikat buruh dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja. Melalui dialog terbuka, Tavip yakin pembuat kebijakan akan mendapat saran dan masukan yang terbaik.

 

Sebelumnya, Pemerintah bertekad segera menyelesaikan draft RUU Cipta Lapangan Kerja, untuk diserahkan kepada DPR. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengatakan naskah akademik dan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja masih dalam pembahasan internal untuk finalisasi antar kementerian/lembaga (K/L) dan pemangku kepentingan terkait termasuk akademisi dan dunia usaha.

 

Menurut rencana, draft yang telah dibahas selama 2,5 bulan ini akan diselesaikan pada pekan ini, dan akan dapat diserahkan kepada DPR pada Selasa (21/1/2020). Menurut Susiwijono, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja diawali visi Presiden Jokowi untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas lagi, khususnya di sektor formal. Berdasarkan data di 2019, jumlah pekerja informal tercatat sebanyak 74,1 juta pekerja atau 57,27 persen dari total angkatan kerja.

 

Saat ini masih ada sekitar 7 juta orang yang belum mendapat pekerjaan. Belum lagi ada penambahan angkatan kerja sekitar 2 juta orang setiap tahunnya. Ada beberapa langkah pemerintah mewujudkan perluasan lapangan kerja. Pertama, memacu pertumbuhan ekonomi karena 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap sekitar 300-350 ribu pekerja. Asumsinya, rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen dalam lima tahun terakhir.

 

“Pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini harus komprehensif membahas kepentingan pengusaha, pekerja, bahkan untuk orang yang belum dapat kerja,” kata Susiwijono,  Jumat (17/1/2020) kemarin. (Baca juga: Pemerintah Super Prioritaskan Pembahasan Dua RUU Omnibus Law Ini).

 

Sesuai hasil pembahasan terakhir per 17 Januari 2020, telah diidentifikasi sekira 79 UU dan 1.244 pasal yang terdampak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dengan rincian: penyederhanaan perizinan di 52 UU dengan 770 pasal; persyaratan investasi di 13 UU dengan 24 pasal; ketenagakerjaan di 3 UU dengan 55 pasal; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M di 3 UU dengan 6 pasal; dan kemudahan berusaha di 9 UU dengan 23 pasal.

 

Untuk masalah ketenagakerjaan, Susi menegaskan Upah Minimum (UM) dipastikan tidak akan turun dan tidak dapat ditangguhkan, terlepas bagaimanapun kondisi pengusahanya. Untuk kenaikan UM akan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah. “UM yang ditetapkan hanya berlaku bagi pekerja baru dan berpengalaman kerja di bawah satu tahun. Sedangkan kalau kompetensi mereka lebih akan bisa diberi lebih dari UM. Sistem pengupahan mereka didasarkan pada struktur dan skala upah. Upah per jam itu contohnya (untuk) konsultan, freelancer, dan ada jenis pekerjaan baru sektor ekonomi digital,” kata dia.

 

Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan pekerja juga menjadi salah satu fokus pemerintah dengan membentuk Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja yang terkena PHK. JKP memberikan manfaat berupa Cash Benefit, Vocational Training, atau Job Placement Access. Penambahan manfaat JKP tidak akan menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.

 

Pekerja yang mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan jaminan sosial lain berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); Jaminan Hari Tua (JHT); Jaminan Pensiun (JP); dan Jaminan Kematian (JKm). “Untuk memberi perlindungan bagi Pekerja Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT, mereka juga akan diberikan kompensasi tersendiri jika telah habis masa kontrak kerjanya.”

 

Susi menekankan ke depannya masih akan pembahasan lebih lanjut tentang masing-masing cluster agar masyarakat dapat lebih memahami substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini sendiri.

 

Sebelumnya, sejumlah serikat pekerja kompak menolak materi muatan draf RUU Cipta Lapangan Kerja. Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja ada 11 kluster (kelompok) yang mengatur ketenagakerjaan sebagaimana tertuang dalam Bab IV: Ketenagakerjaan. “Serikat pekerja meminta agar seluruh cluster tentang ketenagakerjaan dikeluarkan (ditarik, red) dari omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja,” ujar Bendahara Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi Pertambangan (FSP KEP) Zainudin Agung dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi IX DPR, Kamis (16/1).

 

Dua organisasi serikat buruh/pekerja yakni Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pun menolak pasal-pasal ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang diperkirakan bakal semakin menurunkan tingkat kesejahteraan buruh dan masyarakat secara umum.      

 

Mereka mensinyalir ada sejumlah pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang bakal dicabut atau diubah dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Misalnya, penghapusan upah minimum (UMP); perubahan ketentuan PHK, pesangon, jaminan sosial; penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha; perluasan jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing, PKWT (kontrak kerja); masuknya TKA uskill.    

Tags:

Berita Terkait