10 Temuan Majelis Kehormatan MK Soal Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi
Terbaru

10 Temuan Majelis Kehormatan MK Soal Dugaan Pelanggaran Etik Hakim Konstitusi

Pemeriksaan terhadap hakim konstitusi bertujuan untuk memulihkan kepercayaan publik kepada lembaga konstitusi yang sudah mulai memudar.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ketua Majelis Kehormatan MK, Prof Jimly Asshiddiqie . Foto: RES
Ketua Majelis Kehormatan MK, Prof Jimly Asshiddiqie . Foto: RES

Majelis Kehomatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terus bekerja melakukan pemeriksaan dengan meminta keterangan dari sejumlah hakim konstitusi yang dilaporkan dalam kasus dugaan pelanggaran etik atas terbitnya putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023.  Setidaknya berdasarkan hasil penelusuran Majelis Kehormatan MK, ada 18 laporan dengan pelapor yang berbeda terkait dugaan pelanggan etik hakim konstitusi.

Ketua Majelis Kehormatan MK, Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan persidangan dengan memulai pemeriksaan pendahuluan sudah berjalan. Setidaknya sejumlah hakim konstitusi sudah menjalani pemeriksaan untuk dimintai keterangan. Begitupula sejumlah pihak pelapor kasus dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. Berdasarkan pemeriksaan sementara, setidaknya ada 10 hasil temuan dari keterangan para pelapor.

Pertama, soal dugaan hakim konstitusi yang tidak mengundurkan diri, padahal dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 patut diduga adanya konflik kepentingan. “Perkara yang dia punya hubungan keluarga,” ujar Jimly dalam Sidang Pemeriksaan Pelapor Pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi di Gedung MK, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (1/11/2023)

Kedua, hakim konstitusi pun turut dilaporkan karena berbicara di ruang publik terkait substansi perkara yang sedang diperiksa. Ketiga, hakim konstitusi dilaporakn karena mengungkapkan dissenting opinion atau perbedaan pandangan maupun pendapat terkait dengan substansi materi perkara yang sedang diperiksa.

“Jadi dissenting opinion itu kan perbedaan pendapat tentang substansi, tapi di dalamnya juga ada keluh kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan. Padahal itu adalah internal,” ujar Ketua MK periode 2003-2008 itu.

Baca juga:


Keempat, hakim konstitusi pun dianggap melanggar kode etik karena membicarakan permasalahan internal ke pihak luar. Alhasil, dapat berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan pada MK. Kelima, hakim konstitusi juga dilaporkan karena dinilai melanggar prosedur registrasi yang diduga atas perintah hakim MK.

Keenam, adanya laporan soal pembentukan MKMK dianggap lamban, padahal sudah menjadi perintah dari Pasal 27 ayat (2) UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 27 ayat (2) menyebutkan, “Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi…”.

Ketujuh, hakim konstitusi dilaporkan lantaran mekanisme pengambilan keputusan yang dinilai kacau. Kedelapan, lembaga konstitusi dianggap dijadikan alat politik praktis. Kesembilan, hakim konstitusi dilaporkan karena terdapat permasalahan internal yang diketahui oleh pihak luar.

"Kan nggak boleh yang rahasia kok ketahuan kayak CCTV,” katanya.


Kesepuluh, hakim konstitusi diduga melakukan ketidakjujuran terkait ketidakhadirannya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Perkara Nomor 29-51-55. Dia menegaskan, pemeriksaan terhadap hakim konstitusi bertujuan untuk memulihkan kepercayaan publik kepada lembaga konstitusi yang sudah mulai memudar. Padahal MK, menjadi lembaga yang berada di garda terdepan dalam menjaga konstitusi.

Lebih lanjut mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu menegaskan, bila salah satu hakim konstitusi terbukti melanggar etik, bakal ada sanksi yang bakal diterimanya dengan tujuan mendidik dan membuat jera hakim. Yang pasti, MKMK bakal mempercepat kerjanya sehingga direncanakan putusan dapat dibacakan pada Selasa (7/11) pekan depan, sebagaimana permintaan pelapor pertama agar dapat menyesuiakan dengan jadwal penetapan capres dan cawapres KPU.

Sebagaimana diketahui, dari belasan pelapor diantaranya ada Advokat Lingkar Nusantara (LISAN), sejumlah Guru Besar dan pengajar hukum tata negara yang mendapat dukungan dari organisasi masyarakat sipil. Seperti Constitutional and Administrative Law Society [CALS], Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan IM57. Bahkan Pusat Bantuan Hukum  dan Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia (PBHI) melakukan laporan serupa.

Tags:

Berita Terkait