10 Rekomendasi INFID untuk Pelaksanaan JKN
Terbaru

10 Rekomendasi INFID untuk Pelaksanaan JKN

Jaminan sosial di bidang kesehatan seperti JKN merupakan isu penting sebagai upaya pemerintah melakukan pemenuhan terhadap hak atas kesehatan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Program Officer SDG’s INFID, Bona Tua. Foto: ADY
Program Officer SDG’s INFID, Bona Tua. Foto: ADY

Pandemi Covid-19 menunjukan pentingnya kebijakan di sektor kesehatan. Senior Program Officer SDG’s INFID, Bona Tua, menilai isu di bidang kesehatan selama ini luput dari pantauan publik. Padahal kesehatan merupakan hak yang harus dipenuhi negara. Bahkan UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur besar anggaran kesehatan pemerintah minimal 5 persen dari APBN di luar gaji dan untuk pemerintah daerah minimal 10 persen dari APBD di luar gaji.

“Isu kesehatan ini tak kalah penting ketimbang isu lainnya seperti subsidi energi, dana desa, dan lainnya,” kata Bona dalam diskusi bertema diseminasi publik “Studi JKN oleh BPJS Kesehatan: Tata Kelola, Efektivitas, dan Perbandingan dengan Kawasan ASEAN”, Jum’at (5/11/2022) lalu.

Selain menetapkan presentase minimal besaran anggaran kesehatan dalam rangka memenuhi hak atas Kesehatan, pemerintah juga menggelar program jaminan sosial kesehatan yang dikenal dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sejak bergulir 1 Januari 2014 melalui BPJS Kesehatan, pelaksanaan program JKN menghadapi berbagai tantangan. Antara lain terkait kelancaran arus kas dana jaminan sosial (DJS) JKN. Persoalan itu terjadi karena sejumlah hal seperti besaran iuran yang belum sesuai aktuaria, dan pembiayaan terhadap penyakit berat atau katastropik yang tergolong sangat mahal.

Setelah melakukan riset terhadap pelaksanaan JKN, Bona menyebut lembaganya merekomendasikan sedikitnya 10 hal. Pertama, meningkatkan kapasitas sistem kesehatan nasional dalam mendeteksi, memberikan respon, dan menangani ancaman penyakit. Langkah yang bisa dilakukan antara lain menjamin pemerataan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Akselerasi pengembangan SDM kesehatan yang berkualitas. Memperkuat implementasi pendekatan keluarga dalam pembangunan kesehatan.

Kedua, mengingat sebagian besar dana BPJS Kesehatan digelontorkan untuk penyakit katastropik, Bona mengusulkan pemerintah untuk mempromosikan atau investasi lebih besar pada kampanye untuk menggugah kesadaran masyarakat agar menjalankan gaya hidup sehat. Tujuannya sebagai antisipasi sejak dini mencegah penyakit katastropik. Ddiharapkan dapat mengurangi beban klaim pelayanan penyakit katastropik.

Ketiga, segera mengimplementasikan kebijakan urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri. Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.51 Tahun 2018 tentang Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.

Keempat, menentukan formula terbaik dalam menentukan formula terbaik dalam sistem pembayaran iuran. Misalnya, koordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan dalam memberi peringatan dan sanksi kepada pemberi kerja yang melakukan deklarasi upah pekerjanya di bawah realisasi. Melakukan pengkajian terhadap ambang upah dan iuran BPJS. “Untuk menjalankan hal ini perlu dilakukan perbaikan dan sinkronisasi data penghasilan penduduk dengan Kementerian/Lembaga terkait,” urai Bona.

Kelima, Bona mengusulkan BPJS Kesehatan melakukan reformulasi kebutuhan skema kepesertaan “rombongan” per keluarga. BPJS Kesehatan perlu membuka pilihan kelas perawatan yang lebih fleksibel per individu di setiap KK. Misalnya orang tua memilih kelas 1 sementara anak-anaknya kelas 2. Pilihan yang fleksibel ini memungkinkan bagi keluarga tersebut mendapatkan pelayanan yang optimal berdasarkan kemampuan membayar iuran.

Keenam, untuk mencegah kecurangan dalam pelayanan, terutama oleh RS, Bona menyebut BPJS Kesehatan perlu melakukan pengawasan berkala regional pada saat dan untuk rekredensialing. Dalam masa rekredensialing diberikan waktu jeda 6 bulan untuk antisipasi pencarian RS sebagai faskes atau perbaikan layanan RS yang melakuikan fraud tersebut.

Ketujuh, BPJS Kesehatan didorong untuk melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk memberikan peringatan/sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak konsisten membayar iuran mengacu pada UU yang berlaku. Delapan, BPJS Kesehatan perlu membenahi kualitas pelayanan pengaduan berbasis skala prioritas waktu tindak lanjut (SLA). Tujuannya untuk membantu peserta yang mengalami kendala dalam mengakses layanan kesehatan.

Sembilan, memperkuat peranan pemerintah daerah dan stakeholder kesehatan lainnya dalam melakukan pembaruan data yang berkelanjutan. Serta memastikan keterpadanannya. Sepuluh, mendorong adanya sovereign wealth fund atau dana abadi iuran kesehatan. Guna mendorong kepastian dana iuran yang lebih pasti dan bukan bantuan sosial (PBI).

Dana abadi itu ditujukan untuk menjamin iuran, sehingga mampu mencapai cakupan jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC). Dana abadi dikelola lembaga independen seperti BLU LPDP atau BPJS Kesehatan sendiri.

Sejumlah sumber pendanaan yang menurut Bona berpotensi untuk dana abadi iuran kesehatan antara lain sin tax (cukai rokok dan alkohol), penerimaan pajak (revenue tagging pada pajak pertambahan nilai/PPN). Alokasi dari dana abadi BPJS Kesehatan dan dana publik baik itu APBN atau Silpa.

Tags:

Berita Terkait