10 Masukan Asosiasi LBH Apik dalam Penyusunan RUU TPKS
Terbaru

10 Masukan Asosiasi LBH Apik dalam Penyusunan RUU TPKS

Asosiasi LBH Apik berharap berbagai masukan yang diberikan dapat dijadikan bahan dalam memperkuat DIM pemerintah dalam penyusunan RUU TPKS.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah telah menyerap masukan masyarakat melalui konsultasi publik dalam upaya penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai bagian dari prosedur yang diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kordinator Advokasi Kebijakan Nasional pada Asosiasi LBH Apik Indonesia, Ratna Batara Munti mengatakan hukum acara menjadi fokus utama yang dalam konsultasi publik yang digelar, Kamis (3/2/2022) pekan lalu. “Dengan berbagai keterbatasan akses terhadap draf DIM pemerintah, kami tetap berupaya memberikan masukan yang konstruktif,” ujarnya kepada Hukumonline, Selasa (8/2/2022).

Dia menilai konsultasi publik dalam penyusunan DIM belum sepenuhnya mencerminkan prinsip partisipasi publik yang lebih bermakna sebagaimana amanat Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Setidaknya terdapat sepuluh poin masukan yang diberikan Asosiasi LBH APIK Indonesia.

Pertama, Pasal 5 tentang pelecehan seksual berbasis elektronik tetap dipertahankan dan diperluas unsur-unsur deliknya agar dapat menjangkau berbagai kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO). Menurutnya, Pasal 27 ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap dijadikan alasan pemerintah mengeluarkan Pasal 5. Padahal, terbukti dalam praktiknya UU ITE cenderung banyak mengkriminalkan korban KBGO.

“UU ITE menggunakan frame kesusilaan bukan kekerasan seksual,” ujarnya.

(Baca Juga: Catatan YLBHI-PSHK Terkait Penyusunan DIM RUU TPKS)  

Kedua, Pasal 8 tentang eksploitasi seksual tidak dikeluarkan dari draf RUU TPKS. Ratna beralasan tak semua kasus eksploitasi masuk modus perdagangan orang, sehingga tak dapat dijerat UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ketiga, agar menambahkan rumusan dalam Pasal 8 ayat (2) draf RUU TPKS menjadi “untuk menjerat pelaku (konsumen, red) yang menggunakan atau memanfaatkan korban eksploitasi seksual dengan melakukan persetubuhan”.

Keempat, mempertimbangkan agar pemaksaan aborsi dimasukkan dalam draf RUU TPKS. Pasalnya, kata Ratna, banyak korban pemaksaan aborsi yang belum bisa dijangkau KUHP. Penyebabnya, unsur delik yang terbatas, begitu pula berlakunya UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang tidak mengaturnya.

Kelima, dalam rumusan perkosaan yang diusulkan dalam DIM yang disusun pemerintah, perlu memasukan pengaturan soal victim precipitation agar korban tak mengalami perlakuan diskriminasi lantaran dianggap setuju dengan tindakan pelaku. “Seperti ‘korbannya mau kok dibawa ke hotel’. Ini seringkali dijadikan alasan bagi aparat penegak hukum untuk mendiskualifikasi korban dan enggan memproses laporannya. Korban mau dibawa oleh pelaku, bukan berarti setuju diperkosa,” katanya.

Keenam, agar tidak pidana korporasi dalam Pasal 8 dikeluarkan dan diatur tersendiri agar dapat menjangkau semua bentuk TPKS yang dilakukan korporasi. Ketujuh, pengaturan restitusi perlu diatur tersendiri, bukan sebaliknya sebagai hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan hakim di pengadilan terhadap pelaku. “Karena restitusi adalah hak korban yang wajib dipenuhi oleh pelaku,” ujarnya mengingatkan.

Kedelapan, pemberatan hukum kepada pelaku dari pejabat/petugas layanan publik dan aparat penegak hukum. Kesembilan, usulan rumusan terkait RUU TPKS agar dipertimbangkan masuk dalam DIM pemerintah. Seperti perbudakan seksual, perkosaan, dan pemaksaan aborsi. Begitu pula berbagai masukan dari jaringan masyarakat sipil berkaitan dengan hukum acara.

Kesepuluh, agar proses konsultasi publik yang sudah berbasis kluster isu krusial tetap dilanjutkan untuk restitusi, layanan terpadu, dan koordinasi serta anggaran. Serta melibatkan kementerian/lembaga. Termasuk menghadirkan Komnas Perempuan yang belum dilibatkan kemarin, dari 18 kementerian/lembaga yang diundang.

“Kita berharap berbagai masukan yang diberikan dapat dijadikan bahan dalam memperkuat DIM pemerintah,” ujar Direktur LBH Apik Jawa Barat itu.

Sebelumnya, Tim Gugus Tugas Percepatan RUU RUU TPKS telah merumuskan 623 DIM sebagai respon atas penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR. Ketua Tim Gugus Tugas RUU TPKS Eddy O.S Hiariej menyampaikan ini, saat diskusi publik pembahasan DIM RUU TPKS, Jum'at (4/2/2022). 

"Banyak substansi baru dalam DIM. Tentunya DIM pemerintah ini masih butuh banyak masukan dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi," kata Eddy dalam keterangannya.

Seperti diketahui, Tim Gugus Tugas RUU TPKS telah melakukan konsinyering pembahasan DIM sebagai tindak lanjut atas penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR. Untuk menyempurnakan substansi DIM yang akan menjadi lampiran Surat Presiden (Surpres) ke DPR, Kantor Staf Presiden bersama Tim Gugus Tugas menggelar diskusi publik dengan melibatkan koalisi masyarakat sipil dan akademisi. 

Edy yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM ini menjelaskan, secara substansi DIM RUU TPKS yang disusun pemerintah mencakup soal hukum acara pidana hingga penanganan dan rehabilitasi korban. "Unggulan DIM RUU TPKS, ada pada hukum acara yang sangat progresif dan advance. Sebab sebelumnya dari ribuan kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, penyelesaiannya hanya kurang dari 5 persen. Berarti ada masalah pada hukum acaranya. Nah ini yang diperbaiki," tutur Eddy. 

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko mengajak koalisi masyarakat sipil dan akademisi untuk bersama-sama memberikan masukan-masukan yang konstruktif demi kesempurnaan DIM RUU TPKS. Panglima TNI 2013-2015 itu juga meminta semua pihak ikut mengawal RUU TPKS agar segera disahkan dengan pasal-pasal yang menjawab keadilan bagi korban. 

"Saya meyakini dengan diskusi publik rumusan DIM RUU TPKS akan menjawab segala persoalan terkait kekerasan seksual," tegas Moeldoko. 

Tags:

Berita Terkait