10 Keluhan Konsumen Terkait Transportasi Online
Berita

10 Keluhan Konsumen Terkait Transportasi Online

Perlu dilakukan pengaturan terkait hubungan tenaga kerja dan sanksi bagi aplikator.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam diskusi transportasi online. Foto: FNH
Para pembicara dalam diskusi transportasi online. Foto: FNH

Kehadiran transportasi berbasis daring atau biasa disebut dengan transportasi online pada dasarnya memberikan kemudahan bagi masyarakat. Kendati memudahkan masyarakat, keberadaan transportasi ini tetap menyisakan persoalan, khususnya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen.

 

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno mengatakan terdapat sepuluh jenis keluhan dari konsumen terkait transportasi online yang masuk ke YLKI. Keluhan tertinggi terkait pembatalan order sepihak sebanyak 22,3 persen. Posisi kedua yang menjadi keluhan bagi konsumen adalah order lama atau sulit mendapatkan driver (21,2%).

 

Kemudian diikuti oleh aplikasi eror (13,2%), kendaraan tidak sesuai aplikasi (12%), driver lama atau tidak datang (6,3%), kondisi kendaraan tidak standar (6,1%), memulai perjalanan sebelum bertemu konsumen (4,9%), melanggar lalu lintas (4,7%), tidak mau ditegur (2,8%), dan driver merokok (0,8%).

 

“Satu hal yang menjadi concern adalah masalah driver dan konsumen. Ada survey yang kami lakukan tentang pelanggaran hak konsumen. Pada dasarnya masing-masing aplikator terdapat masalah hampir sama jumlahnya,” kata Agus dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (7/8).

 

Selain itu, untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum kepada konsumen transportasi online, maka Agus menilai perlunya sistem rekruitmen driver yang kapabel. Disamping itu, aplikator juga harus dilibatkan dalam tanggung jawab terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan driver seperti kejahatan, pelanggaran hak konsumen dan lain sebagainya.

 

“Artinya sanksi tidak hanya kepada driver, tapi juga aplikatornya. Dan aplikator yang drivernya banyak melakukan pelanggaran perlu dikenai sanksi,” jelas Agus.

 

(Baca: Kebijakan Ganjil-Genap Diperluas, Tak Berlaku Bagi Disabiltas dan Sepeda Motor)

 

Sementara itu Direktur Angkutan Jalan dan Multimoda Kementerian Perhubungan, Ahmad Yani, menjelaskan bahwa terdapat dilema saat pemerintah diharuskan menerbitkan aturan untuk transportasi online, terutama ojek online. Hal itu dikarenakan kendaraan bermotor roda dua tidak masuk dalam kategori transportasi umum yang diatur dalam UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Jalan.

 

Namun, mengingat pentingnya regulasi untuk mengatur jenis transportasi baru tersebut, maka Kemenhub menggunakan diskresi dalam menerbitkan regulasi transportasi online, termasuk sepeda motor roda dua. Meskipun aturan itu masih sumir.

 

“Di satu sisi dituntut menyiapkan regulasi, ada namanya diskresi, hal yang tidak diatur dalam UU bisa diatur lewat diskresi, meskipun masih sumir. Yang kita atur keselamatan, minta diatur tarif antara aplikasi, mitra dan juga KPPU menengahi bagaimana apakah ini boleh atau tidak, ada pihak kebijakan publik, ada dari asuransi BPJS dan sebagainya, yang tujuannya untuk melindungi semuanya,” kata Ahmad Yani.

 

Di samping itu, Ahmad Yani menegaskan bahwa regulasi tak bisa menyenangkan semua pihak. Di satu sisi ada pihak yang bisa dipayungi secara hukum, namun di sisi lain ada pembatasan.

 

Sementara terkait tarif untuk ojek online, Ahmad Yani mengaku pihaknya masih menerapkan penyesuaian tarif sesuai Kepmenhub No. 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi, secara bertahap. Untuk tahap pertama, penyesuaian tarif sudah dilakukan di Zona I. Targetnya, di bulan September nanti penyesuaian tarif sudah mencapai 80 persen.

 

“Pelaksanaan tidak bisa kita langsung lakukan seluruh Indonesia, harus lihat survei hasilnya seperti apa. Sekarang penerapannya sudab 40 persen, dan bulan depan semoga bisa 80 persen,” jelasnya.

 

Ahmad Yani menambahkan jika pihaknya sudah menerbitkan payung hukum yang cukup untuk mengakomodir transportasi online, terutama ojek online. Namun terkait kendala lain seperti hubungan tenaga kerja antara driver dan aplikator serta pengawasan aplikator, hal tersebut berada di luar kendali Kemenhub.

 

“Payung hukum yang ada di kita (Kemenhub) sudah cukup, kalau terkait tenaga kerja, aplikasi itukita tidak bisa menjangkau. Makanyan enggak bisa ngatur aplikasi, yang kita atur itu sisi transportasinya,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait