10 Catatan Komnas Perempuan terhadap Materi KUHP Baru
Terbaru

10 Catatan Komnas Perempuan terhadap Materi KUHP Baru

Antara lain, tindak pidana pencabulan sebagai tindak pidana kesusilaan, pengabaian hak korban kekerasan seksual akibat tidak adanya rumusan tindak pidana pemaksaan pelacuran dan pemaksaan aborsi, hingga berkurangnya hak dasar atas kemerdekaan beragama/berkeyakinan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Foto: Humas Komnas Perempuan
Foto: Humas Komnas Perempuan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disepakati pemerintah dan DPR untuk disahkan menuai kritik banyak kalangan antara lain Komnas Perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan walau KUHP baru memuat beberapa ketentuan yang membawa kemajuan, tapi masih ada pasal bermasalah terkait upaya penanganan kekerasan seksual, penghapusan diskriminasi berbasis gender, dan pemenuhan hak-hak dasar.

“Kondisi ini menempatkan KUHP berpotensi overkriminalisasi (menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan), melanggar hak-hak perempuan, dan kebebasan hak sipil lainnya,” kata Andy saat dikonfirmasi, Selasa (13/12/2022).

Andy mencatat sedikitnya 10 pasal KUHP baru yang berpotensi menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan. Pertama, tindak pidana pencabulan masih ditempatkan sebagai tindak pidana kesusilaan. Tindak pidana pencabulan lebih tepat ditempatkan sebagai Tindak Pidana terhadap Tubuh karena sarat muatan kekerasan seksual. Apalagi ada pasal khusus yang menyatakan bahwa semua tindakan pencabulan dan tindakan memudahkan pencabulan merupakan tindak pidana kekerasan seksual.

Baca Juga:

Kedua, tidak tersedia pasal penghubung antara melarikan anak dan perempuan untuk tujuan penguasaan dalam perkawinan dengan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pasal 454 KUHP baru melarang membawa pergi perempuan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan tersebut, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Tindakan ini termasuk dalam tindak pemaksaan perkawinan yang diatur dalam UU TPKS.

Ketiga, berkurangnya daya pelindungan hukum pada tindak eksploitasi seksual. Andy menjelaskan eksploitasi seksual telah diatur dengan definisi yang jelas dalam UU TPKS. KUHP tidak melakukan koreksi pada penggunaan istilah eksploitasi seksual terkait tindak pornografi (pasal 172) karena tetap merujuk pada UU Pornografi.

Keempat, KUHP baru mengabaikan hak korban kekerasan seksual karena tidak ada rumusan tindak pidana pemaksaan pelacuran dan pemaksaan aborsi. Tindak pemaksaan pelacuran disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f UU TPKS sebagai tindak kekerasan seksual yang diatur dalam UU lain, tetapi perlu merujuk pada UU TPKS sebagai lex specialis dalam penanganannya. Mengingat KUHP tidak merumuskannya, maka tindak pemaksaan pelacuran tidak dapat dipidana. 

Demikian juga dengan pemaksaan aborsi yang kerap dihadapi oleh perempuan korban eksploitasi seksual. Akibatnya, korban eksploitasi seksual yang melakukan penghentian kehamilan dapat dengan gampang dikriminalisasi sementara pihak pelaku eksploitasi seksual justru bebas dari tanggung jawab hukum (impunitas) baik atas tindak eksploitasi seksual maupun pemaksaan aborsi itu.

Kelima, berkurangnya kepastian hukum dan potensi mendorong keberadaan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan akibat ketentuan keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 2, pasal 66, pasal 96, pasal 97, pasal 116, pasal 120, pasal 597). Andy mencatat hal itu terjadi karena ketentuan tersebut menyimpang dari asas legalitas.

KUHP memandatkan pidana adat akan diatur dalam Perda. Menurut Andy, ketentuan itu akan mendorong maraknya Perda diskriminatif yang memuat ketentuan pemidanaan sekaligus sanksi yang ujungnya mengkriminalkan kelompok rentan antara lain perempuan dan anak perempuan.

Keenam, berkurangnya hak privasi dalam perkawinan dan kriminalisasi berlebih terhadap perzinaan. Tindak Pidana Perzinahan pada Pasal 411 - 413 memuat 3 larangan yaitu persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya; melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan; dan persetubuhan dengan anggota keluarga batihnya.

Walau menjadi delik aduan, di mana hanya suami atau isteri dalam hal pelaku telah terikat perkawinan atau orang tua atau anak dalam hal pelaku tidak terikat perkawinan, kriminalisasi hubungan seksual di luar perkawinan dan kohabitasi melanggar hak privasi seseorang. Tindak pidana kohabitasi, atau hidup berumah tangga tanpa ikatan perkawinan, berpotensi mengkriminalkan perempuan secara tidak proporsional.

“Penerapan pasal kohabitasi dapat menyasar perempuan yang memilih tidak terikat dalam lembaga perkawinan dengan berbagai alasan dan perkawinan tidak tercatat seperti perkawinan agama (siri) dan perkawinan adat,” urai Andy.

Ketujuh, absennya perlindungan terhadap relawan kompeten yang melakukan sosialisasi alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan terhadap anak. Andy mengatakian relawan berkompeten dan aktif mendukung program pemerintah belum tentu ditunjuk pejabat berwenang, seperti BKKBN atau Dinas Kesehatan. Ketentuan sebagaimana diatur Pasal 416 ayat (3) itu akan menghambat upaya pencegahan kehamilan dan pemenuhan kesehatan reproduksi anak perempuan.

“Pasal tersebut juga menempatkan perempuan pembela HAM (PPHAM) dalam posisi rentan dipidanakan saat mereka melakukan kerja-kerja pembelaan hak perempuan termasuk hak atas kesehatan reproduksi dan seksualitas,” papar Andy.

Delapan, tidak ada pemberatan hukuman atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan atas dasar kebencian atau diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan. Pembunuhan itu dikenal juga dengan istilah femisida.

Sembilan, pengingkaran jaminan atas hak hidup dan bebas dari penyiksaan akibat ketentuan pidana mati (pasal 98-102). Sekalipun sebagai alternatif terakhir dan kemungkinan komutasi yaitu dengan berlakunya masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun untuk kemudian beralih menjadi pidana seumur hidup hukuman mati melanggar HAM paling dasar dan tidak dapat dikurangi (non-derogable right).

Sepuluh, Andy melihat ada risiko berkurangnya jaminan hak dasar karena rumusan multitafsir. Antara lain atas kemerdekaan beragama/berkeyakinan dengan pasal yang masih mengadopsi cara pandang proteksionis bagi kelompok mayoritas dan dominan pada kelompok agama tertentu, atas kemerdekaan berpendapat dan atas hak untuk pembelaan hak terkait tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara.

Menyikapi KUHP baru, Andy menyebut lembaganya mengajak semua pihak untuk melakukan langkah konstitusional guna mengkoreksi norma KUHP. Sekaligus merumuskan penafsiran KUHP untuk meminimkan pengurangan jaminan pelindungan hak-hak konstitusional. Serta menguatkan mekanisme pengawasan atas implementasi KUHP.

Tags:

Berita Terkait