10 Catatan Komnas Perempuan terhadap Materi KUHP Baru
Terbaru

10 Catatan Komnas Perempuan terhadap Materi KUHP Baru

Antara lain, tindak pidana pencabulan sebagai tindak pidana kesusilaan, pengabaian hak korban kekerasan seksual akibat tidak adanya rumusan tindak pidana pemaksaan pelacuran dan pemaksaan aborsi, hingga berkurangnya hak dasar atas kemerdekaan beragama/berkeyakinan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Demikian juga dengan pemaksaan aborsi yang kerap dihadapi oleh perempuan korban eksploitasi seksual. Akibatnya, korban eksploitasi seksual yang melakukan penghentian kehamilan dapat dengan gampang dikriminalisasi sementara pihak pelaku eksploitasi seksual justru bebas dari tanggung jawab hukum (impunitas) baik atas tindak eksploitasi seksual maupun pemaksaan aborsi itu.

Kelima, berkurangnya kepastian hukum dan potensi mendorong keberadaan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan akibat ketentuan keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 2, pasal 66, pasal 96, pasal 97, pasal 116, pasal 120, pasal 597). Andy mencatat hal itu terjadi karena ketentuan tersebut menyimpang dari asas legalitas.

KUHP memandatkan pidana adat akan diatur dalam Perda. Menurut Andy, ketentuan itu akan mendorong maraknya Perda diskriminatif yang memuat ketentuan pemidanaan sekaligus sanksi yang ujungnya mengkriminalkan kelompok rentan antara lain perempuan dan anak perempuan.

Keenam, berkurangnya hak privasi dalam perkawinan dan kriminalisasi berlebih terhadap perzinaan. Tindak Pidana Perzinahan pada Pasal 411 - 413 memuat 3 larangan yaitu persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya; melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan; dan persetubuhan dengan anggota keluarga batihnya.

Walau menjadi delik aduan, di mana hanya suami atau isteri dalam hal pelaku telah terikat perkawinan atau orang tua atau anak dalam hal pelaku tidak terikat perkawinan, kriminalisasi hubungan seksual di luar perkawinan dan kohabitasi melanggar hak privasi seseorang. Tindak pidana kohabitasi, atau hidup berumah tangga tanpa ikatan perkawinan, berpotensi mengkriminalkan perempuan secara tidak proporsional.

“Penerapan pasal kohabitasi dapat menyasar perempuan yang memilih tidak terikat dalam lembaga perkawinan dengan berbagai alasan dan perkawinan tidak tercatat seperti perkawinan agama (siri) dan perkawinan adat,” urai Andy.

Ketujuh, absennya perlindungan terhadap relawan kompeten yang melakukan sosialisasi alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan terhadap anak. Andy mengatakian relawan berkompeten dan aktif mendukung program pemerintah belum tentu ditunjuk pejabat berwenang, seperti BKKBN atau Dinas Kesehatan. Ketentuan sebagaimana diatur Pasal 416 ayat (3) itu akan menghambat upaya pencegahan kehamilan dan pemenuhan kesehatan reproduksi anak perempuan.

Tags:

Berita Terkait