Ikatan Notaris Indonesia Gelar FGD Bahas Implementasi Cyber Notary
Pojok INI

Ikatan Notaris Indonesia Gelar FGD Bahas Implementasi Cyber Notary

Diusulkan menggunakan mekanisme hibrida (hybrid) yakni 2 sistem antara praktik kenotariatan secara konvensional dan siber (cyber). Notaris Jerman ingatkan pentingnya keamanan data elektronik.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Penyelenggaraan seminar internasional PP INI, dengan mengangkat tema cyber notary pada Selasa (30/4). Foto: Fian.
Penyelenggaraan seminar internasional PP INI, dengan mengangkat tema cyber notary pada Selasa (30/4). Foto: Fian.

Perkembangan teknologi merupakan keniscayaan. Hal penting yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi untuk menghadapi perubahan tersebut. Profesi notaris pun tak luput dari dampak perkembangan teknologi digital, karena sebagian kewenangannya bisa dilakukan melalui medium elektronik.

 

Namun, sebelum mengadopsi penggunaan teknologi, lebih dulu perlu regulasi yang menjadi payung hukum bagi notaris menjalankan kewenangannya itu. Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) melakukan ikhtiar untuk mengantisipasi hal tersebut antara lain dengan menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan The German Federal Chamber of Notaries dan Universitas YARSI, Senin (29/4).

 

Selain menandatangani MoU di hari yang sama PP INI menyelenggarakan, forum group discussion (FGD) untuk menjaring masukan terbaik dari berbagai pihak. Selanjutnya, hasil FGD itu diusulkan kepada pemerintah dalam rangka penyempurnaan kebijakan terkait kenotariatan. Kepala Bagian Peraturan Perundang-Undangan PP INI, I Made Pria Dharsana, sebagai salah satu pemateri dalam FGD menjelaskan notaris memiliki beragam kewenangan sebagaimana diatur Pasal 15 UU No.2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

 

Ada kewenangan notaris untuk melakukan sertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary). Menurut Made pengaturan itu terdapat dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3), bukan batang tubuh UU 2/2014. Baiknya ketentuan itu diatur dalam pasal di batang tubuh tapi dengan beberapa catatan antara lain dibentuk lembaga pensertifikasian cyber notary yang melibatkan PP INI, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Mengingat bentuk dokumennya elektronik, penting juga disiapkan lembaga yang mengelola cloud computing dan sebagainya.

 

“Ketentuan ini (cyber notary) ada dalam penjelasan, harus dijadikan pasal dengan catatan,” kata Made dalam FGD bertema ‘Studi Komparatif Kewenangan Notaris Dalam Peraturan perundang-undangan Jerman dan Indonesia,’ yang diselenggarakan PP INI bekerja sama dengan Universitas YARSI di Auditorium Universitas YARSI, Senin (29/4).

 

Made melanjutkan, pada era society 5.0 ini penggunaan teknologi menyasar berbagai sektor. Kemajuan sistem elektronik memberi ruang dalam kaitan pelaksanaan kewenangan notaris dengan manfaat efisiensi waktu dan biaya. Perkembangan itu mengindikasikan urgensi pembuatan akta autentik elektronik dan penyimpanannya secara elektronik.

 

Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menjelaskan UU 2/2014 belum mengatur akta elektronik dan penyimpanan akta elektronik. Dia mengusulkan pembuatan akta autentik secara elektronik di Indonesia perlu dilaksanakan secara hybrid yakni daring dan luring. Sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 1, 15, dan 16 UU 2/2014.

Tags:

Berita Terkait