Pantang menyerah bagi kalangan masyarakat sipil termasuk akademisi mengawal tegaknya UUD 1945. Peran Mahkamah Konstitusi (MK) sangat penting untuk menjaga tegaknya konstitusi. Agar mampu menjalankan tugasnya, hakim konstitusi mutlak membutuhkan independensi. Sayangnya, independensi itu terancam melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat UU No.24 Tahun 2003 tentang MK yang disepakati pemerintah dan DPR untuk diboyong ke rapat paripurna.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Prof Hesti Armiwulan mengatakan ketika kekuasaan kehakiman di intervensi lembaga negara atau cabang kekuasaan lainnya maka negara hukum runtuh. Independensi lembaga yudisial merupakan syarat mutlak berdirinya negara hukum. UUD 1945 memandatkan kedudukan dan kewenangan MK sejajar dengan lembaga eksekutif maupun legislatif.
Dia menjelaskan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebut kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut konstitusi. Selaras itu supremasi konstitusi menjadi acuan. Kedudukan setara MK dengan lembaga negara lain berarti MK tidak bisa diintervensi lembaga lainnya.
Apalagi Indonesia menganut sistem trias politica yang membagi kekuasaan menjadi 3 cabang yang masing-masing saling check and balances. Ketika supremasi konstitusi ditabrak karena ada lembaga negara yang merasa punya kewenangan lebih dibanding lainnya, maka yang terjadi inkonstitualisme.
Baca juga:
- Mantan Ketua MK: RUU Perubahan Keempat UU MK Mengancam Negara Hukum
- Prof Susi Dwi Harijanti: RUU MK Runtuhkan Independensi Hakim Konstitusi
- Jadi Polemik, PSHK Desak Pembahasan Revisi Keempat UU MK Dihentikan
Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 menetapkan syarat hakim konstitusi yakni memiliki integritas, kepribadian tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Prof Hesti mengatakan hal tersebut merupakan prinsip imparsialitas, dan independensi hakim konstitusi.
Apapun latar belakang lembaga pengusulnya, hakim konstitusi ketika terpilih harus melaksanakan amat konstitusi. Analoginya sama ketika partai politik mencalonkan Presiden, ketika terpilih sebagai Presiden bukan berarti tunduk kepada partai politik, tapi sebagai kepala negara dan pemerintahan.