Intisari:
Pasien pada dasarnya berhak untuk melakukan penolakan tindakan kedokteran terhadap setiap tindakan kedokteran yang akan diberikan, setelah ia mendapat penjelasan yang cukup mengenai tindakan kedokteran tersebut. Bagi pasien yang tidak termasuk kategori pasien yang kompeten, misalnya anak-anak, penolakan dapat diberikan oleh keluarga terdekatnya (dalam hal ini ayah atau ibu kandungnya). Namun, segala akibat yang terjadi karena penolakan tindakan kedokteran ini akan menjadi tanggung jawab pasien atau menjadi tanggung jawab keluarga terdekat pasien bagi pasien yang tidak kompeten. Sehingga, penolakan tindakan kedokteran pada dasarnya bukan merupakan tindakan yang dilarang, namun tanggung jawab atas segala akibat yang terjadi akan menjadi tanggung jawab pasien, atau akan menjadi tanggung jawab keluarga terdekat pasien. Berdasarkan kasus Anda, maka tanggung jawab mengenai kesehatan anak akibat penolakan tindakan kedokteran akan menjadi tanggung jawab dari orang tuanya. Jika mengacu pada Permenkes 290/2008, maka tidak ada ketentuan sanksi pidana bagi orang tua yang menolak dilakukannya tindakan kedokteran terhadap anaknya sebagai pasien. Lalu bagaimana ketentuan di peraturan perundang-undangan lain? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tindakan Kedokteran
Pada dasarnya, sebelum mendapat perawatan medis (tindakan kedokteran), tenaga medis harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pasien. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (“Permenkes 290/2008”). Persetujuan tersebut yang sering disebut sebagai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Informed Consent, yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.[1]
Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi (“tindakan kedokteran”) adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik, atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadp pasien.[2] Dari definisi ini, perawatan medis yang Anda sebutkan merupakan tindakan kedokteran.
Persetujuan dan Penolakan Tindakan Kedokteran
Persetujuan dapat diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat.[3] Penilaian terhadap kompetensi pasien dapat dilakukan oleh dokter atau dokter gigi sebelum tindakan kedokteran dilakukan.[4] Adapun pasien yang kompeten menurut Pasal 1 angka 7 Permenkes 290/2008 adalah:
Pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
Untuk pasien yang tidak termasuk pasien yang kompeten, misalnya anak-anak, persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat. Yang termasuk dalam keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.[5]
Hal yang sama juga berlaku dalam hal penolakan tindakan kedokteran (informed refusal). Pasien dan/atau keluarga terdekatnya pada dasarnya dapat menolak setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan, setelah pasien dan/atau keluarga terdekatnya menerima penjelasan mengenai tindakan kedokteran tersebut.[6] Penolakan tindakan kedokteran harus harus dilakukan secara tertulis.[7] Namun, perlu diperhatikan juga akibat dari penolakan tindakan kedokteran ini, yaitu segala akibat yang terjadi akan menjadi tanggung jawab pasien, atau menjadi tanggung jawab keluarga pasien bagi pasien yang tidak kompeten.[8]
Jadi, penolakan tindakan kedokteran pada dasarnya bukan merupakan tindakan yang dilarang, namun tanggung jawab atas segala akibat yang terjadi akan menjadi tanggung jawab pasien atau menjadi tanggung jawab keluarga terdekat pasien apabila pasien bukan pasien yang kompeten. Berdasarkan kasus Anda, maka tanggung jawab mengenai kesehatan anak akibat penolakan tindakan kedokteran akan menjadi tanggung jawab dari orang tuanya.
Menjawab pertanyaan Anda, jika mengacu pada Permenkes 290/2008, maka tidak ada ketentuan sanksi pidana bagi orang tua yang menolak dilakukannya tindakan kedokteran terhadap anaknya sebagai pasien. Lalu bagaimana ketentuan di peraturan perundang-undangan lain?
Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua atas Kesehatan Anak
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Kewajiban orang tua untuk menjaga kesehatan dan merawat anak diatur lebih lanjut dalam Pasal 45 UU 35/2014:
Orang Tua dan Keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan Anak dan merawat Anak sejak dalam kandungan.
Dalam hal Orang Tua dan Keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk diketahui, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Upaya kesehatan yang komprehensif meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujuk.[9]
Sanksi Pidana
Meskipun penolakan tindakan kedokteran bukan merupakan tindakan yang dilarang, perlu diingat bahwa orang tua memiliki tanggung jawab akan kesehatan anaknya. Mengenai sanksi pidana, sebenarnya tidak ada ketentuan yang spesifik mengatur mengenai sanksi pidana untuk orang tua yang menolak perawatan medis untuk anaknya.
Sanksi pidana yang diatur adalah terkait kekerasan pada anak atau penelantaran anak sebagaimana disebutkan di bawah ini.
Menurut UU 35/2014
Ada ketentuan dalam UU 35/2014 tentang sanksi pidana jika melakukan kekerasan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik.
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.[10] Sementara, yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.[11]
Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Namun, pidana ditambah sepertiga dari ketentuan ini jika dilakukan oleh orang tuanya.[12]
Menurut UU PKDRT
Perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik termasuk kekerasan dalam rumah tangga.[13] Perbuatan ini tergolong kekerasan fisik yaitu yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.[14]
Sanksi pidananya adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta.[15] Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.[16]
Sanksi pidananya adalah penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta.[17]
Namun tentunya, perbuatan penolakan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai kekerasan terhadap anak berupa timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik menurut UU 35/2014 ataupun perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga atau perbuatan penelantaran menurut UU PKDRT. Hal tersebut perlu dibuktikan lagi melalui suatu proses hukum.
Contoh Kasus
Sebagai contoh, penelantaran seseorang dalam keadaan sakit dalam lingkup rumah tangga dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Nomor 113 /Pid.B/2014/PN.Sbb, dimana terdakwa menelantarkan keluarganya dan tidak memberikan nafkah kepada keluarganya. Tindakan terdakwa tersebut juga menyebabkan anak terdakwa sakit. Kemudian hakim memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Menelantarkan Orang Lain dalam Lingkup Rumah Tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 49 huruf a UU PKDRT.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
[1] Pasal 1 angka 1 Permenkes 290/2008
[2] Pasal 1 angka 3 Permenkes 290/2008
[3] Pasal 13 ayat (1) Permenkes 290/2008
[4] Pasal 13 ayat (2) Permenkes 290/2008
[5] Pasal 1 angka 2 Permenkes 290/2008
[6] Pasal 16 ayat (1) Permenkes 290/2008
[7] Pasal 16 ayat (2) Permenkes 290/2008
[8] Pasal 16 ayat (3) Permenkes 290/2008
[9] Pasal 44 ayat (1) dan (3) UU 35/2014
[10] Pasal 76C UU 35/2014
[11] Pasal 1 angka 16 UU 35/2014
[12] Pasal 80 ayat (1) dan (4) UU 35/2014
[13] Pasal 1 angka 1 UU PKDRT
[14] Pasal 6 jo. Pasal 5 huruf a UU PKDRT
[15] Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT
[16] Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT
[17] Pasal 49 huruf a UU PKDRT