Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Risiko Hukum Berhubungan Intim dengan PSK yang Berujung Kehamilan yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada Selasa, 22 April 2014.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Berdasarkan pertanyaan Anda, kami berkesimpulan bahwa pekerja seks yang Anda maksud adalah Pekerja Seks Komersial (“PSK”). Selain itu, kami berasumsi PSK tersebut juga telah mencapai usia dewasa. Lalu, secara hukum pidana kami akan menguraikan beberapa tindak pidana sebagai berikut:
- jerat hukum bagi muncikari;
- jerat hukum pengguna PSK dan PSK; dan
- risiko hukum aborsi.
Ketiga tindak pidana tersebut pada dasarnya diatur dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026. Berikut adalah masing-masing ulasannya.
Jerat Hukum bagi Muncikari
Sepanjang penelusuran kami, di dalam KUHP tidak ada pasal eksplisit yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna jasa PSK maupun menjadi PSK itu sendiri. Jerat pasal untuk pengguna jasa PSK maupun menjadi PSK antara lain tertuang dalam peraturan daerah setempat, sebagai contoh di DKI Jakarta seperti yang dijelaskan dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK.
Namun, di dalam KUHP terdapat ketentuan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari, sebagai berikut:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 296 Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.[2] Pasal 506 Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun. | Pasal 420 Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Pasal 421 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419 atau Pasal 420 dilakukan sebagai kebiasaan atau untuk menarik keuntungan sebagai mata pencaharian pidananya dapat ditambah 1/3. |
Unsur perbuatan yang harus dipenuhi pada Pasal 296 KUHP adalah:[3]
- barangsiapa;
- dengan sengaja;
- menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain; dan
- menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan.
Sedangkan unsur-unsur Pasal 506 KUHP adalah:[4]
- barangsiapa;
- menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita; dan
- menjadikannya sebagai pencarian.
Mengacu pada pasal tersebut diatas, dikaji dari sisi perbuatannya, tidak ditemukan kata “prostitusi”, yang ada adalah kalimat “perbuatan cabul”. Berkaitan dengan perbuatan cabul, R.Soesilo mengatakan bahwa perbuatan cabul diartikan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, dan semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.[5]
Penjelasan lengkap mengenai jerat hukum bagi muncikari dapat Anda simak dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK.
Jerat Hukum Pengguna Jasa PSK dan PSK
Selanjutnya, dalam hal pelanggan PSK tersebut telah memiliki pasangan resmi (atas dasar pernikahan yang sah), dan kemudian pasangannya tersebut mengadukan perbuatan pasangannya yang memakai jasa PSK, maka orang yang memakai jasa PSK dan PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal perzinaan.
Disarikan dari artikel Bisakah Dipenjara karena Berhubungan Seks dengan Pacar?, pelaku perzinaan dapat dipidana berdasarkan Pasal 284 KUHP dengan pidana penjara paling lama 9 bulan.
Sebagai informasi, berbeda dengan Pasal 284 KUHP lama yang mensyaratkan tindak pidana perzinaan dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah,[6] dalam KUHP baru, perzinaan dapat dijerat kepada pria dan wanita yang belum menikah. Menurut Pasal 411 UU 1/2023, perzinaan atau persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang bukan suami atau istrinya dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana denda maksimal Rp10 juta.[7]
Anda dapat membaca selengkapnya mengenai pidana perzinaan dalam artikel Risiko Hukum Menjadi ‘Pelakor’.
Keabsahan Kesepakatan
Selanjutnya, kami akan menjelaskan mengenai kesepakatan antara Anda dengan PSK untuk tidak bertanggungjawab atas kehamilan dan melakukan aborsi apabila ternyata di kemudian hari diketahui bahwa PSK hamil.
Namun sebelumnya, kita perlu ketahui tentang syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata , yaitu:
- kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu pokok persoalan tertentu; dan
- suatu sebab yang tidak terlarang.
Persyaratan pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian atau dikenal dengan syarat subjektif. Sedangkan persyaratan ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian atau dikenal dengan syarat objektif. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan dengan keabsahan perjanjian (nieteg atau void ab initio) dan dapat dibatalkannya suatu perjanjian (vernietigbaar).[8]
Dikutip dari artikel Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan), akibatnya perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal), akibatnya perjanjian batal demi hukum.
Lebih jauh mengenai sebab yang halal, dalam Pasal 1337 KUHPerdata dijelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Artinya, objek perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam konteks pertanyaan Anda, perjanjian untuk berhubungan badan dengan PSK dan perjanjian untuk melakukan aborsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Oleh karena itu, perjanjian tersebut batal demi hukum dan PSK tersebut tidak bisa menuntut pemenuhan janji untuk bertanggungjawab kepada Anda atas kehamilan yang timbul.
Risiko Hukum Aborsi
Risiko pidana lain yang dapat dijerat kepada Anda adalah perbuatan menyuruh melakukan aborsi. Aborsi diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, dan Pasal 194 UU Kesehatan. Kemudian, pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi,[9] namun, Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan memberikan dua alasan untuk dapat dilakukannya aborsi, yaitu:
- indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;
- kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Kemudian, berdasarkan Pasal 194 UU Kesehatan, orang yang sengaja melakukan aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain UU Kesehatan, ketentuan mengenai aborsi juga diatur dalam Pasal 346 s.d. Pasal 349 KUHP dan Pasal 463 s.d. Pasal 465 UU 1/2023.
Berdasarkan Pasal 346 KUHP, seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Sedangkan menurut Pasal 463 ayat (1) UU 1/2023, setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Ketentuan mengenai aborsi menurut hukum positif di Indonesia dapat Anda baca selengkapnya pada artikel Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Referensi:
- AM. Endah Sri Astuti dan Cindy Eka Febriana. Penegakan Hukum terhadap Prostitusi Online (Pemahaman dan Akar Permasalahan Penegakan Hukum). Jurnal Pembaharuan Hukum Pidana Undip, Vol. 2, No. 2, 2019;
- R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia, 1994;
- Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal Ilmu Pelangi Universitas Negeri Gorontalo, Vol. 5, No. 1, 2012.
[3] AM. Endah Sri Astuti dan Cindy Eka Febriana. Penegakan Hukum terhadap Prostitusi Online (Pemahaman dan Akar Permasalahan Penegakan Hukum). Jurnal Pembaharuan Hukum Pidana Undip, Vol. 2, No. 2, 2019, hal. 90.
[4] AM. Endah Sri Astuti dan Cindy Eka Febriana. Penegakan Hukum terhadap Prostitusi Online (Pemahaman dan Akar Permasalahan Penegakan Hukum). Jurnal Pembaharuan Hukum Pidana Undip, Vol. 2, No. 2, 2019, hal. 90.
[5] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia, 1994, hal. 327.
[7] Pasal 411 ayat (1) jo. Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023.
[8] Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal Ilmu Pelangi Universitas Negeri Gorontalo, Vol. 5, No. 1, 2012, hal. 4.