Bagaimana jika seorang suami PNS berselingkuh dan meninggalkan istrinya selama 2 tahun? Apa saja hak-hak istri setelah dua tahun suaminya itu menceraikan secara agama? Apabila suami menolak, apa hukumannya? Dan bisakah istri menuntut secara hukum tindakan suami dan pasangan selingkuhnya?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Kami kurang mendapat keterangan apakah menceraikan secara agama ini karena pernikahannya tidak didaftarkan secara hukum jadi hanya perlu diceraikan secara agama, atau pernikahan tersebut terdaftar secara hukum namun perceraiannya baru dilakukan secara agama.
Kami berasumsi bahwa perkawinannya terdaftar secara hukum, akan tetapi perceraiannya hanya dilakukan secara agama alias bukan berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Kami tidak menemukan peraturan yang mengatur hak-hak isteri yang dicerai secara agama. Ini karena berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 39Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Pasal 115 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang PenyebarluasanKompilasi Hukum Islam Indonesia (“KHI”). Sebagai referensi, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Apakah Pisah Ranjang Dapat Dianggap Sah Bercerai?.
Jadi jika Anda hanya bercerai secara agama, maka sebenarnya perkawinan tersebut masih tercatat secara hukum. Ini berarti Anda dapat meminta agar si suami melakukan kewajibannya yaitu memenuhi semua kebutuhan rumah tangga (Pasal 34 UU Perkawinan). Mengenai kewajiban suami untuk memberikan nafkah dapat dilihat dalam artikel yang berjudul Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Nafkah.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Mengenai salah satu hak bekas isteri dari PNS dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (1)PP 10/1983 sebagaimana telah diubah oleh PP 45/1990yang menyatakan:
”Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil priamaka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.”
Jadi kewajiban untuk menyerahkan sebagian gaji tersebut hanya timbul apabila perceraian adalah atas kehendak suami. Apabila perceraian tersebut berasal dari kehendak isteri, maka bekas isteri tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
Sedangkan mengenai pembagian gaji bekas suami tersebut, dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (2) PP 10/1983 yangmenyatakan:
“Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.”
Dengan demikian, hak isteri yang diceraikan oleh suaminya yang berstatus sebagai PNS adalah mendapatkan sepertiga dari gaji bekas suaminya.
Akan tetapi, jika si bekas isteri menikah lagi, maka haknya atas gaji si bekas suami menjadi hapus sebagaimana terdapat dalam Pasal 8 ayat (7) PP 45/1990.
Sedangkan jika bekas suami dan isteri tersebut beragama Islam maka tunduk juga padaKHI. Pasal 149 KHI menyatakan bahwa:
“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a.Memberikan mut`ah (pemberian/hadiah) yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul (belum dicampuri);
b.Memberi nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c.Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul;
d.Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun”
Jika mengacu ketentuan Pasal 149 KHI tersebut, maka hak-hak isteri setelah bercerai tersirat dalam kewajiban-kewajiban suami seperti yang diuraikan di atas.
Bila bekas suami menolak melaksanakan kewajibannya setelah bercerai, maka kita merujuk pada ketentuan dalam UU Perkawinanserta Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ("HIR"). Dalam Pasal 41 huruf c UU Perkawinan dapat kita lihat bahwa salah satu akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Jika bekas suami tidak mematuhi kewajibannya memberikan biaya penghidupan kepada bekas isterinya berdasarkan putusan Pengadilan, maka si bekas istri dapat memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada Ketua Pengadilan Negeri agar menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi putusan Pengadilan di dalam tempo yang ditentukan oleh Ketua, yang selama-lamanya delapan hari (Pasal 196 HIR).
Mengenai penuntutan atas tindakan suami dan pasangan selingkuhannya, kami kurang jelas penuntutan atas dasar tindakan apa. Kami berasumsi bahwa si isteri yang telah diceraikan secara agama ingin menuntut tindakan perselingkuhan suaminya.
Mengenai hal tersebut, jika si suami dan selingkuhannya telah melakukan zina, maka si isteri dapat menuntut berdasarkan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dengan syarat perkawinannya sah secara hukum Negara dan hanya dilakukan cerai secara agama. Ini karena pasal ini berlaku pada pasangan yang perkawinannya tunduk pada UU Perkawinan. Yang berarti jika perceraiannya tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan, perkawinan suami dan isteri tersebut masih sah, dan si isteri berdasarkan Pasal 284 KUHP berhak untuk menuntut si suami dan selingkuhannya.