Karena marak kecurigaan terhadap rekening gendut, bagaimana sebaiknya seorang PNS yang mempunyai usaha sampingan, bukti-bukti apa yang perlu ada sehingga dapat membuktikan bahwa harta tersebut legal dan bukan dari hasil tindak pidana korupsi? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Saat ini, secara hukum tidak ada lagi larangan yang tegas bagi PNS untuk berwirausaha atau memiliki usaha sampingan. Namun, dalam menjalankan usaha sampingan tersebut tidak boleh bertentangan dengan kewajiban, kode etik, maupun melanggar larangan bagi PNS. Lantas, bagaimana langkah yang harus ditempuh PNS agar tidak dicurigai melakukan korupsi karena rekening gendut?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bukti yang Harus Dimiliki PNS atas Penghasilan Sampingan yang dibuat oleh Try Indiadi, S.H., dan dipublikasikan pertama kali pada Selasa, 1 Mei 2012.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Siapa Saja yang Termasuk PNS?
Aparatur Sipil Negara (āASNā) adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.[1] Adapun, yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil (āPNSā) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.[2]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dengan demikian, yang termasuk sebagai ASN terdiri dari PNS dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja (āPPPKā).[3] PNS merupakan pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional. Adapun, pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara.[4]
Bolehkah PNS Punya Usaha Sampingan?
Pada dasarnya, tidak ada ketentuan yang melarang dengan tegas PNS untuk mempunyai usaha sampingan, baik dalam UU ASN ataupun PP 94/2021. Dahulu, PNS sempat dilarang mempunyai kegiatan wirausaha seperti dagang, menjadi direksi atau komisaris berdasarkan Pasal 3 PP 30/1980. Namun kemudian peraturan tersebut tidak berlaku lagi pasca berlakunya PP 94/2021.
Namun demikian, sebagai aparatur negara, ketika PNS yang mempunyai usaha sampingan tetap harus menjalankan kewajiban sebagaimana diatur di dalam Pasal 23 UU ASN dan Pasal 4 PP 94/2021. Selain itu, juga perlu memperhatikan Kode Etik PNS yang diatur di dalam PP 42/2004.
menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan;
menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain;
bekerja pada lembaga atau organisasi internasional tanpa izin atau tanpa ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian;
bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing kecuali ditugaskan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian;
memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
melakukan pungutan di luar ketentuan;
melakukan kegiatan yang merugikan negara;
bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan;
menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan;
meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan;
melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; dan
memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Ralryat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Ralryat Daerah dengan cara:
ikut kampanye;
menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain;
sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye;
mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau
memberikan surat dukungan disertai fotokopi KTP atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka PNS ketika menjalankan usaha sampingannya tersebut tidak boleh melupakan kewajibannya sebagai PNS atau melanggar larangan bagi PNS. Misalnya dalam menjalankan usahanya, terjadi konflik kepentingan dengan jabatan atau melakukan kegiatan yang merugikan negara.
Selain terikat oleh kaidah norma sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, PNS juga terikat oleh asas-asas umum pemerintahan yang baik (āAAUPBā). Sebagai contoh, PNS harus memastikan untuk memilih bidang usaha yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya di instansi pemerintahan tempatnya bekerja sesuai dengan hakikat dari asas kepatutan.
Legalitas Perolehan HartaĀ PNS dari Usaha Sampingan
Apabila PNS tersebut memiliki usaha sampingan sesuai dengan kaidah norma dan etika yang berlaku dan usahanya legal, lantas, prosedur apa yang harus dipenuhi oleh PNS terkait dengan harta tersebut?
Dalam PP 94/2021, dijelaskan bahwa PNS wajib melaporkan harta kekayaan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]
Laporan harta kekayaan tersebut terdiri dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (āLHKPNā) dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (āLHKASNā).
LHKASN adalah daftar seluruh harta kekayaan ASN beserta pasangan dan anak yang masih menjadi tanggungan.[7] Sementara, LHKPN adalah laporan dalam bentuk dokumen, termasuk namun tidak terbatas pada dokumen elektronik tentang uraian dan rincian informasi mengenai harta kekayaan, data pribadi, penerimaan, pengeluaran, dan data lainnya atas harta kekayaan penyelenggara negara.[8]
Adapun, perbedaan antara LKHPN dan LKHASN adalah sebagai berikut.
FAKTOR
LHKPN
LHKASN
SUBYEK PELAPOR
Diwajibkan untuk pejabat negara yang memangku jabawan strategis dan rawan KKN.[9] Misalnya menteri, pejabat eselon I dan eselon II.
Diwajibkan bagi seluruh ASN selain yang berkewajiban melaporkan LHKPN dan dimulai dari pejabat eselon III, IV serta V.[10]
TUJUAN PENYAMPAIAN
Disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (āKPKā) melalui lamanĀ E-LHKPN KPKĀ [11]
Disampaikan kepada pimpinan instansi pemerintah masing-masing.[12]
LHKASN dapat diinput dan dikirim kepada Inspektorat Jenderal secara elektronik melalui laman Si Harka.[13]
LAMPIRAN BUKTI
a. nama,
b. jabatan,
c. instansi,
d. tempat tanggal lahir, alamat,
e. identitas istri/suami, anak baik yang menjadi tanggungan maupun yang bukan,
f. jenis, nilai, asal-usul dan tahun perolehan serta pemanfaatan harta kekayaan,
g. besaran penerimaan dan pengeluaran,
h. surat kuasa mendapatkan data keuangan dengan tanda tangan sesuai dengan KTP, dan
i. surat pernyataan dari penyelenggara negara.[14]
a. harta kekayaan yang dimiliki saat pelaporan,
b. penghasilan yang diperoleh, profesi/keahlian, hibah, dan penghasilan dari istri/suami selama 1 tahun; dan
c. pengeluaran rutin dan pengeluaran lainnya selama 1 tahun.[15]
WAKTU PENYAMPAIAN
Maksimal 3 bulan sejak pengangkatan pertama/ berakhirnya jabatan/ pensiun/ pengangkatan kembali setelah berakhirnya jabatan atau pensiun sebagai penyelenggara negara. Sedangkan untuk penyelenggara negara yang masih menjabat wajib disampaikan setiap 1 tahun sekali.[16]
Disampaikan dalam kurun waktu satu bulan setelah menjabat atau berhenti dari jabatan.[17]
Berdasarkan penjelasan di atas, apabila seorang PNS memiliki usaha yang bersifat legal maka harta yang diperoleh dari usaha tersebut wajib disampaikan melalui LHKPN atau LHKASN sesuai dengan jabatan yang disandangnya.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjutĀ di sini.