Bagaimana peraturan yang berlaku untuk pernikahan beda agama (Islam-Katolik)? Apakah bisa pernikahan hanya dilakukan secara agama tanpa catatan sipil? Lantas bagaimana dengan status anak kami nantinya (untuk pembuatan akta kelahiran)? Bagaimana jika menikah di luar negeri (Hongkong, misalnya) apakah kekuatan hukumnya sama? Dan bagaimana dengan status anak?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selain itu tiap-tiap perkawinan juga dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pengaturan yang demikian menimbulkan kekosongan hukum karena tidak secara jelas memperbolehkan atau menolak perkawinan beda agama. Maka dikembalikan lagi kepada agama masing-masing apakah memperbolehkan pernikahan beda agama. Sebagai contoh, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).
Jika pernikahan hanya dilakukan secara agama dan tidak didaftarkan pada catatan sipil, maka perkawinan tersebut tidak diakui berdasarkan hukum positif. Menurut Liza Elfitri, S.H., M.H., dalam artikelPersoalan Kawin Siri dan Perzinahan, perkawinan dicatatkan guna mendapatkan akta perkawinan. Akta perkawinan adalah bukti telah terjadinya/berlangsungnya perkawinan, bukan yang menentukan sah tidaknya perkawinan. Ketiadaan bukti inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum (legalitas) di hadapan negara.
Perkawinan yang dilakukan secara agama saja dan tidak didaftarkan pada catatan sipil biasa disebut dengan perkawinan siri atau nikah siri.
Karena perkawinan ini tidak terdaftar secara negara, maka anak yang lahir dari perkawinan siri tersebut adalah anak luar kawin. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”)No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 diputuskan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Hubungan Perdata Anak Luar Kawin dengan Ayahnya Pasca-Putusan MK, penting untuk dicatat bahwa Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut soal akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan.
Lebih lanjut dalam artikel tersebut dikatakan bahwa mengenai konsekuensi hukum dengan dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap anak luar kawin ialah di dalam akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum nama ibunya. Karena pada saat pembuatan akta kelahiran, status sang anak masih sebagai anak luar kawin yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja.
Selain itu walaupun anak tersebut dapat memiliki hubungan dengan ayah biologisnya, akan tetapi tetap saja ia dilahirkan dalam perkawinan yang tidak diakui secara Negara atau lahir di luar kawin. Sehingga sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (2)Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, anak lahir di luar kawin, yang dicatat adalah mengenai nama anak, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu.
Artikel yang berjudul Akta Kelahiran untuk Anak Hasil Kawin Siripernah memaparkan bahwa berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 25/2008”), persyaratan untuk membuat akta kelahiran untuk anak luar kawin adalah sebagai berikut:
a.Surat kelahiran dari Dokter/Bidan/Penolong Kelahiran;
b.Nama dan Identitas saksi kelahiran;
c.Kartu Tanda Penduduk Ibu;
d.Kartu Keluarga Ibu;
Jika menikah di luar negeri, maka perkawinan tersebut adalah perkawinan di luar negeri sebagaimana di atur dalam Pasal 56 UU Perkawinan. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan UU Perkawinan.
Berdasarkan Pasal 70 ayat (1) Perpres 25/2008, pencatatan perkawinan bagi warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di negara setempat. Perkawinan warga negara Indonesia yang telah dicatatkan, dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat berupa fotokopi (Pasal 70 ayat (2) Perpres 25/2008):
a.bukti pencatatan perkawinan/akta perkawinan dari negara setempat;
b.Paspor Republik Indonesia; dan/atau
c.Kartu Tanda Penduduk suami dan istri bagi penduduk Indonesia.
Kemudian surat bukti perkawinan tersebut harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia (Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan).
Perkawinan di luar negeri yang dilaksanakan sesuai dengan Pasal 56 UU Perkawinan adalah perkawinan yang sah. Karena merupakan perkawinan yang sah, maka suami, istri, maupun anak yang lahir dalam perkawinan mempunyai status hukum yang sah di hadapan Negara.
Selain itu, karena merupakan perkawinan yang sah, maka anak yang lahir dari perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri adalah anak yang sah.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan status hukum antara perkawinan siri dengan perkawinan yang dilakukan di luar negeri. Perkawinan/pernikahan siri tidak diakui oleh Negara karena tidak didaftarkan sehingga tidak mendapatkan akta perkawinan juga. Sedangkan perkawinan yang dilakukan di luar negeri yang memenuhi ketentuan Pasal 56 UU Perkawinan dan telah didaftarkan di Indonesia setelah pasangan suami istri tersebut kembali ke Indonesia, diakui oleh Negara.