RUU Kearsipan Menebar Lebih Banyak Ancaman Pidana
Utama

RUU Kearsipan Menebar Lebih Banyak Ancaman Pidana

RUU memberi ‘peluang' kepada lembaga pencipta arsip untuk menghalangi akses publik terhadap arsip dengan alasan jika arsip dibuka akan menghambat proses penegakan hukum.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
RUU Kearsipan Menebar Lebih Banyak Ancaman Pidana
Hukumonline

 

Undang-undang lama, kata Taufiq, sudah saatnya disempurnakan untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan kerasipan dalam suatu sistem yang komprehensif dan terpadu di lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Pengelolaan arsip yang baik adalah bagian dari upaya mewujudkan pemerintah yang bersih yakni dengan terciptanya transparansi dan akuntabilitas.  

 

Taufiq memaparkan RUU Kearsipan mengusung beberapa perbaikan dan substansi baru. Salah satu yang paling ditonjolkan adalah ‘keterlibatan' teknologi dalam pengelolaan kerasipan. Selain disebutkan pada bagian ‘menimbang', teknologi juga ditegaskan dalam dalam beberapa pasal. Misalnya, Pasal 13 ayat (2) berbunyi Prasarana dan sarana kearsipan dimanfaatkan dan dikembangkan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

 

Pemanfaatan teknologi, jelas Taufiq, berguna untuk melindungi arsip ketika bencana terjadi. Ia mencontohkan, kejadian Tsunami yang menimpa Indonesia beberapa waktu lalu. Ketika itu, kenang Taufiq, 20 ton arsip dalam keadaan basah kuyup. Kalau dijemur hancur itu, tapi kalau dengan teknologi baru, dengan pengeringan dan pendinginan arsip itu bisa diselamatkan dengan sempurna. Hal-hal seperti ini harus diteruskan, katanya.

 

Dalam konteks yang sama, RUU Kearsipan juga coba disinkronkan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Bentuk sinkronisasi itu di antaranya terlihat pada definisi arsip itu sendiri. Arsip, menurut Pasal 1 angka 2, adalah informasi terekam dan/atau direkam atau dokumen dalam berbagai bentuk dan media, seperti kertas, audio visual, komputer atau elektronik, dan sebagainya sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, lembaga pemerintah, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan perorangan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya.

 

Pengertian atau definisi mengenai arsip mengalami perluasan untuk mengakomodasi konsep UU ITE, Taufiq menambakan. Jika dibandingkan dengan undang-undang lama, definisi kearsipan yang diusulkan RUU Kerasipan memang jauh lebih luas.

 

Pasal 1, UU No 7 Tahun 1971

Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan Arsip ialah :

a.     naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan pemerintahan dalam bentuk corak apapun baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintahan;

b.      naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Badan-badan swasta dan/atau perorangan, dalam bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan.

 

Perluasan juga tampak pada pengkategorian arsip. Di undang-undang lama, hanya dikenal dua jenis arsip, yakni dinamis dan statis. Sementara, RUU menawarkan tiga jenis tambahan yakni arsip vital, aktif dan inaktif. Di luar itu, RUU juga membuat kategori arsip nasional, arsip daerah provinsi, arsip daerah kabupaten, dan arsip universitas.

 

Paradigma baru

Selain, penyempurnaan substansi, RUU Kerasipan juga mengusung paradigma baru. Jika di undang-undang lama, urusan kearsipan hanya untuk kepentingan pemerintah semata, RUU Kearsipan justru memberikan ruang partisipasi publik yang cukup luas. Mulai dari urusan inspeksi hingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kearsipan. Pengaturan khusus mengenai partisipasi masyarakat dirumuskan dalam Pasal 68, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72 dan Pasal 73 RUU Kearsipan, ujar Taufiq.

 

Pasal 68 ayat (1) menyatakan Masyarakat dapat berperan serta dalam kearsipan meliputi peran serta perseorangan, keluarga, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan kearsipan dan pengendalian mutu kearsipan.

 

Uniknya, di satu sisi RUU memberi ruang partisipasi yang cukup luas bagi masyarakat, namun di sisi lain RUU juga menebar ancaman pidana yang lebih ‘menakutkan' ketimbang undang-undang lama. Diatur dalam enam pasal, ancaman pidana bervariasi mulai dari pidana penjara 1-20 tahun, hingga pidana denda Rp25 juta-Rp500 juta.

 

Tidak hanya itu, RUU juga memberi ‘peluang' kepada lembaga pencipta arsip untuk menghalangi akses publik terhadap arsip dengan berbagai alasan. Salah satunya, jika arsip dibuka akan menghambat proses penegakan hukum.

 

Ketua Komisi II DPR EE Mangindaan mengatakan Komisi II akan segera menyelesaikan pembahasan RUU Kearsipan. Mangindaan menargetkan RUU dapat disahkan sebelum masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 berakhir September mendatang. Ia menjelaskan, ada sekitar 30 persen dari RUU substansinya baru dan menjadi fokus pembahasan anggota dewan dan pemerintah.

 

Karena 30 persen dari RUU ini yang masih perlu kita bahas, 70 persen tidak ada masalah, pemerintah dan fraksi-fraksi relatif sama, ujarnya. Mangindaan yakin proses pembahasan dapat cepat selesai, mengingat RUU ini minim kepentingan politik.

Tahun 1971, ketika UU Kearsipan yang lama UU No 7 Tahun 1971 lahir, tren komputer pastinya belum begitu merajalela seperti sekarang di Indonesia. Pada tahun itu, di sejumlah negara maju, komputer bahkan baru mengalami perkembangan. Kini, di saat teknologi sudah sangat merasuki kehidupan manusia, sistem kearsipan pun mau tidak mau harus menyesuaikan diri.

 

Atas dasar pertimbangan itulah, pemerintah berinisiatif mengajukan RUU Kearsipan untuk menggantikan beleid yang lama. Di hadapan Komisi II DPR, Senin (24/8), Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi mengatakan arsip adalah instrumen yang penting bagi bangsa Indonesia. Arsip, lanjutnya, merupakan cerminan jati diri sekaligus simpul pemersatu bangsa.  

Tags: