Gaji Pilot Distop Lantaran Patuhi Aturan Penerbangan
Berita

Gaji Pilot Distop Lantaran Patuhi Aturan Penerbangan

Penolakan pilot Lion Air untuk terbang ke bandara yang dinyatakan downgrade, berujung pada mandeknya pembayaran gaji si pilot. Gugatan perdata pun diajukan sang pilot ke pengadilan setelah sebelumnya hakim PHI melihat adanya unsur PMH dalam kasus ini.

Oleh:
Lay
Bacaan 2 Menit
Gaji Pilot Distop Lantaran Patuhi Aturan Penerbangan
Hukumonline

 

Berkeras dengan pilihannya, Nasrun memutuskan turun dari pesawat dan pulang ke Jakarta hari itu juga.  Pengalamannya sebagai pilot selama 23 tahun mendorong Nasrun memilih tidak terbang demi keselamatan penerbangan. "No tolerance terhadap kesalahan, karena itu akibatnya besar sekali untuk keselamatan," tegasnya.

 

Tapi, masalah kemudian timbul. Mendadak gaji Nasrun macet. Demikian juga hak-haknya yang lain sebagai karyawan Lion Air. Tak hanya itu, Lion Air juga melayangkan Somasi melalui surat No. 109/DI/IX/2008 tertanggal 3 September 2008 kepada Nasrun. Pada pokoknya, surat tersebut menyatakan Nasrun harus mengembalikan Transfer Fee sebesar Rp300 juta kepada Lion Air. Transfer fee dikucurkan kepada Nasrun ketika dia menandatangani Perjanjian Kerja dengan Lion Air di awal April 2008. 

 

Tak tinggal diam, Nasrun pun mendaftarkan gugatan melawan Lion Air. Dalam gugatannya, Lion Air dituding melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena memaksakan penerbangan ke Ambon meski melanggar ketentuan NOTAM. Tindakan itu, menurut Nasrun, merupakan kejahatan penerbangan sebagaimana diatur Pasal 16 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Lion juga digugat telah menyimpang dari perjanjian kerja (wanprestasi) dengan menahan hak-hak Nasrun sebagai karyawan pasca-peristiwa tersebut. Total kerugian materiil yang digugat Nasrun mencapai Rp4,462 Miliar. Persidangannya, Rabu (24/6), sudah memasuki tahap penyerahan bukti dari tergugat.

 

Corporate Lawyer Lion Air, Harris Arthur membantah kliennya tidak pernah tidak membayar hak-hak finansial Nasrun. "Cuma keterlambatan pembayaran," pungkasnya. Alasan Lion Air menunda disebabkan Nasrun belum memenuhi standar pilot sesuai standar yang berlaku di perusahaan penerbangan komersial itu. Menurut penilaian Lion Air, pilot yang memiliki 12.000 jam terbang itu di-down grade, sehingga Nasrun harus di-training lagi. "Ini bukan masalah NOTAM, tapi masalah ketenagakerjaan, kata Harris. Dia mengaku pihaknya telah mencoba menyelesaikan masalah ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Hanya, hakim PHI melihat adanya dalil PMH dalam perkara ini. Sehingga kedua pihak dianjurkannya membawa perkara ini ke PN Jakarta Pusat agar jelas terbukti tidaknya dalil tersebut.

 

Dalam sidang pekan lalu (17/6), rekan Nasrun, kapten pilot Srihadi Bambang, dalam kesaksiannya menuturkan Nasrun telah menyampaikan kepadanya bahwa perintah perusahaan saat itu sudah melanggar NOTAM. Dia juga mengetahui, setelah Nasrun turun dari pesawat, penerbangan tetap dilanjutkan ke Ambon. Mantan pilot Lion Air itu menambahkan, seharusnya perusahaan mengganti pesawat dalam kondisi NOTAM seperti itu. Ketika Hakim Anggota Reno Listowo mencecar Srihadi mengenai apakah Nasrun menolak terbang karena gaji belum dibayar, dia langsung menjawab tidak tahu. Menurut pengakuan Srihadi, Nasrun hanya memberitahunya hal yang teknis-teknis saja.

 

Kewenangan Pilot

Sedangkan kapten pilot Dodi Junari yang juga menjadi saksi menegaskan bahwa setiap pilot harus mematuhi NOTAM. "Itu (NOTAM-red) pemberitahuan, mau terbang terserah, tidak juga terserah, tapi resiko. Bahaya," katanya. Bagi Dodi, kalau berkaitan dengan keselamatan sudah tidak boleh ditawar. Bahkan ketika Reno menanyakan pendapatnya mengenai potensi kerugian perusahaan penerbangan karena sudah terlanjur menjual tiket jauh-jauh hari, Dodi berkeras, "Itu rahasia dagang, itu (NOTAM-red) tidak bisa dilanggar." Menurutnya, dalam kondisi NOTAM seperti itu, perusahaan yang baik harus menunggu sampai bandara tujuan dinyatakan baik. Atau, perusahaan mengganti pesawat.  

 

Anggota Komando Pertahanan Udara Nasional Djoko Poerwoko yang dihadirkan sebagai Ahli dalam persidangan turut menyatakan pendapatnya mengenai NOTAM. "Isinya banyak, tapi intinya untuk keselamatan penerbangan. NOTAM dibuat untuk keselamatan," ujarnya. Begitu dibuat, NOTAM disebarkan ke seluruh dunia untuk siapa pun yang mau ke bandara yang dikenai pemberitahuan tersebut.

 

Djoko menambahkan, apabila ada penurunan grade bandara maka tidak ada toleransi bagi pesawat apa pun yang tidak memenuhi grade itu mendarat di sana. Djoko juga menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak membolehkan pilot menerbangkan pesawat yang tidak sesuai regulasi. "Dua hal yang harus diketahui pilot sebelum terbang, bagaimana cuaca dan apakah di bandara tujuan dan cadangannya ada NOTAM," papar Djoko.

 

Penolakan pilot untuk terbang atau tidak, dinilai Djoko, mutlak kewenangan pilot karena perusahan penerbangan sudah mendelegasikan kewenangan itu. "Yang tanggung jawab keselamatan penumpang tetap pilot," ujarnya.

 

Ketua Majelis Hakim perkara ini Sugeng Riyono pernah mengisyaratkan agar Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dihadirkan bila keterangan para saksi kurang jelas. Dia juga mewanti-wanti agar Dirjen PHU tidak membiarkan masalah keselamatan. "Ini adalah masalah serius," tegasnya berulang-ulang dari balik meja Majelis Hakim.

Mana yang lebih penting, mematuhi perintah atasan atau keselamatan penumpang? Pertanyaan inilah yang mungkin timbul di pikiran Mohamad Nasrun Natsir, seorang kapten pilot kawakan di maskapai penerbangan PT Lion Mentari Airlines (Lion Air). Nasrun dihadapi persoalan dilematis, di satu sisi dia harus mengikuti kehendak atasannya, di sisi lain resiko keselamatan penumpang harus ditanggungnya.

 

Mulanya, Nasrun dan kapten pilot Chandra seharusnya melanjutkan rute penerbangan Lion Air tujuan Makasar—Ambon—Makasar pada tanggal 12 Juli 2008. Namun, dalam Notice to Air Man (NOTAM) yang diterima Nasrun pada hari itu, landasan Bandara Internasional Pattimura Ambon dinyatakan down grade (penurunan status) dari Grade VII ke Grade VI. Pihak otoritas bandara menemukan kemampuan fire-fighting di landasan tidak memadai untuk kategori pesawat MD-82 yang dipiloti dua penerbang itu.

 

Sejatinya, Nasrun sudah mengetahui penurun status Bandara Ambon ketika di Jakarta. Sebelum berangkat dari Jakarta, dia berinisiatif menginformasikan perihal NOTAM tersebut kepada Lion Air. Terutama untuk meminta petunjuk apakah mereka boleh terbang ke Ambon meski ada NOTAM. Nasrun bahkan menghubungi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Dirjen PHU) dan Direktorat Sertifikasi dan Kelaikan Udara (DSKAU) Departemen Perhubungan. "Saya minta suatu waiver atau perkecualian, boleh tidak," ujarnya kepada hukumonline. Nasrun kemudian meminta direksi Lion Air agar menghubungi DSKAU. Dia juga berpesan agar jawaban dikirim melalui fax ke Makassar, tempat keberangkatan pesawatnya.  

 

Usai menunggu beberapa jam di Makasar, Dirjen PHU tak kunjung memberikan waiver terhadap NOTAM tersebut. NOTAM atas Bandara Ambon juga tidak berubah, padahal menurut Nasrun biasanya NOTAM cepat berubah. Nasrun kembali berkordinasi dengan Direktur Operasi Lion Air. Intinya direktur operasi meminta pilot untuk melanjutkan penerbangan ke Bandara Ambon sesuai rute yang sudah ditetapkan. Sang direktur pun menjamin bahwa perusahaan akan bertanggung jawab secara verbal jika terjadi sesuatu. Permintaan direktur operasi ini ternyata tidak bertentangan dengan pertimbangan Nasrun. Alasannya, sudah pasti menyangkut keselamatan penumpang. Saya tidak bisa melaksanakan sesuatu yang jelas-jelas tertulis di situ," kata Nasrun.

Tags: