KUHP Tidak Mengenal Penghinaan Terhadap Korporasi
Kasus Prita:

KUHP Tidak Mengenal Penghinaan Terhadap Korporasi

Jaksa menganggap eksepsi Prita dan pengacaranya sudah masuk pokok perkara.

Oleh:
Mys/IHW
Bacaan 2 Menit
KUHP Tidak Mengenal Penghinaan Terhadap Korporasi
Hukumonline

 

Salah satu yang disinggung tim penasihat hukum dalam eksepsi adalah persoalan siapa yang dihina dan siapa yang berhak mengadukan penghinaan. Membaca judul e-mail, seharusnya yang merasa terhina adalah RS Omni Internasional. Namun, menurut OC Kaligis, rumusan tindak pidana penghinaan dalam Bab XVI KUHP tidak mengenal bentuk-bentuk penghinaan terhadap korporasi.

 

Lantaran yang disebut dalam judul itu adalah RS Omni, maka tidak pada tempatnya kalau dokter Hengky Gozal dan dokter Grace H. Yarlen Nela yang merasa terhina. Tidak dapat dibenarkan dr Hengky dan dr Grace merasa terhina dengan tulisan judul tersebut.

 

Kalaupun pada isi tulisan, nama kedua dokter tadi disinggung, tidak ada sesuatu perbuatan konkrit yang dituduhkan kepada mereka. Jika pada e-mail ada pernyataan Prita agar hati-hati berobat kepada dokter Hengky, peringatan semacam itu menurut Kaligis bukanlah penghinaan. Itu merupakan keluhan mantan seorang pasien dari RS Omni Internasional, dan keluhan seorang konsumen atas layanan yang secara nyata ia rasakan.

 

Ditambahkan tim penasihat hukum, sekalipun dokter Hengky dan dokter Grace merasa terhina, maka yang harus mengadu ke polisi adalah mereka berdua. Merujuk pendapat mantan hakim agung M. Yahya Harahap dan pasal 72 ayat (1) KUHP, delik aduan seperti penghinaan hanya dapat diproses apabila ada pengaduan langsung dari korban. Kecuali, korban belum berumur 16 tahun, atau anak di bawah pengampuan. Faktanya, berdasarkan Laporan Polisi, yang mengadukan penghinaan itu adalah Renold P. Panjaitan. Renold tak lain adalah kuasa hukum Hengky dan Grace. Pengaduan kedua dokter seharusnya tidak dapat diterima, oleh sebab pengadu bukanlah orang yang berhak, papar tim penasihat hukum beranggotakan sembilan orang dalam eksepsi.

 

Tidak berdiri sendiri

Penasihat hukum juga keberatan dengan penggunaan pasal 45 ayat (1) dan pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal 45 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang memenuhi unsur pasal 27 ayat 1 sampai ayat (4) dipidana dengan penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar. Pasal 27 ayat (3) merumuskan: Setiap orang dengan segaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

 

Pasal-pasal UU ITE tadi, menurut Kaligis, tidak dapat berdiri sendiri karena masih memerlukan penjelasan mengenai muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. UU ITE tidak menguraikan secara jelas tentang bagaimana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik. Untuk menjamin kepastian hukum, penghinaannya harus dibuktikan terlebih dahulu, sambung Syamsu Anwar, pengacara Prita lainnya.

 

Pasal 310 ayat (1) sebenarnya sudah merumuskan ancaman pidana kepada seseorang yang menyerang kehormatan dan nama baik. Tetapi ada syarat: harus ada maksud yang jelas agar hal itu diketahui umum. Unsur ‘agar hal itu diketahui umum tidak terpenuhi.

 

Prita mengirimkan e-mail kepada beberapa orang temannya. Namun jaksa tidak menjelaskan siapa saja teman dan melalui alamat mana informasi penghinaan itu dikirimkan. Sesuai sifatnya, surat elektronik tidak mungkin dapat diakses orang lain yang tidak dituju. Prita mengirim e-mail kepada beberapa orang temannya. Kalau kemudian Omni dan kedua dokternya mendapatkan e-mail Prita, dapat dipastikan ada orang lain yang menyebarkan. Orang lain inilah sebenarnya yang melakukan perbuatan menyebarkan. Karena itu, tim penasihat hukum berpendapat seharusnya dakwaan jaksa juga menyinggung keterlibatan orang lain.

 

Jaksa Riyadi menilai keberatan tim penasihat hukum Prita sudah memasuki pokok perkara. Ia minta waktu satu minggu –seperti halnya waktu diberikan kepada Prita dan tim kuasa hukum- untuk mempersiapkan materi tanggapan atas eksepsi.  Demi asas kesamaan dan kesetaraan, ujarnya.

 

 

 

Prita Mulyasari dan tim pengacaranya, dipimpin OC Kaligis, mengajukan keberatan atas dakwaan jaksa. Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tangerang, Kamis (11/6), Prita dan tim penasihat hukum meminta majelis menyatakan dakwaan jaksa batal demi hukum, atau tidak dapat diterima. Sebab, dakwaan tersebut mengandung kelemahan.

 

Prita duduk di kursi terdakwa gara-gara mengirimkan e-mail berjudul Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang kepada sejumlah rekannya. Ibu dua anak ini dijerat dengan pasal 45 ayat (1) jo pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu, ia juga dijerat dengan pasal 310 ayat (2) dan pasal 311 ayat (1) KUHP.

 

Diwarnai aksi demo dari Komite Pembela Kemerdekaan Berpendapat, sidang kasus Prita mendapat perhatian dari ratusan pengunjung. Penjagaan ketat dilakukan polisi, sehingga tidak sembarangan orang bisa masuk ke halaman Pengadilan Negeri Tangerang.  

Halaman Selanjutnya:
Tags: