Pemilu Legislatif Kacau, Komisioner KPU Diminta Mundur
Utama

Pemilu Legislatif Kacau, Komisioner KPU Diminta Mundur

Pokja Pemantau Penyelenggara Pemilu mendesak KPU mundur akibat kacaunya penyelenggaraan pemilu 9 April lalu. Ancaman sanksi pidana juga siap menanti.

Oleh:
CR-4/IHW
Bacaan 2 Menit
Pemilu Legislatif Kacau, Komisioner KPU Diminta Mundur
Hukumonline

 

Parahnya, lanjut Yulianto, KPU membohongi masyarakat ketika pada 6 April 2009 menyatakan proses persiapan pemungutan suara di seluruh wilayah Indonesia berjalan lancar.

 

Faktanya, ketika pada ‘hari pencontrengan', pemungutan suara diwarnai berbagai permasalahan yang berdamapak pada hilangnya hak pilih warga. Selain hal tersebut masalah lainnya adalah, diperbolehkannya menggunakan surat suara yang tertukar, dan pelaksanaan pemungutan suara yang tidak dilakukan secara serentak, jelasnya.

 

Untuk itu Yulianto bersama dengan rekan-rekan LSM pemantau lainnya mendesak agar komisioner KPU mengundurkan diri dan meminta maaf secara terbuka kepada seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, Pokja juga mengajak masyarakat dan pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh upaya hukum.

 

Secara politis, Pokja mendesak Komisi II DPR mengambil sikap politik terhadap para anggota KPU yang bertanggung jawab terhadap kekacauan pemilu.

 

Parpol sebagai kontestan pemilu pastinya merasa dirugikan dengan ketidakberesan penyelenggaraan Pemilu. Beberapa tokoh pimpinan parpol akhirnya menyambangi KPU pada Selasa (14/4). Mereka adalah Megawati Soekarno Putri (PDIP), Wiranto (Hanura), KH Abdul Rahman Wahid, Rizal Ramli, Prabowo Subianto (Gerindra) dan Bursah Zarnubi (PBR). Mereka menuntut pertanggungjawaban dan meminta KPU memperbaiki masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemilu legislatif lalu.

 

KPU menanggapi kritik dan masukan dari Pokja serta Parpol dengan tenang. Hal ini terlihat dari salah satu komisioner KPU Andi Nurpati yang ditemui di Gedung KPU, Jakarta. Kita sudah buat dan siapkan solusi untuk memperbaiki masalah DPT ini, ujarnya. Untuk desakan mundur dari jabatan, lanjutnya, ia tak mau memberikan tanggapan.

 

Komisioner KPU yang lain, Syamsul Bahri berpendapat tidak ada alasan yang kuat untuk meminta para komisioner KPU mundur. Menurutnya UU Pemilu Legislatif telah mengatur mengenai pengunduran diri seorang komisioner dari KPU. Misalnya gangguan jiwa atau mengalami sakit, kata Syamsul. Jika hanya karena masalah DPT, lanjut dia, maka itu tidak cukup kuat untuk meminta para komisioner mundur.

 

Bisa dipidana

Amburadulnya masalah DPT sudah tak bisa dibantah lagi. Hampir semua pemberitaan media menunjukkan banyaknya warga yang tak bisa menyontreng. Padahal ketika Pemilu 2004 atau pada saat Pilkada, mereka bisa menggunakan hak suaranya.

 

UU Pemilu Legislatif sebenarnya sudah mewanti-wanti penyelenggara pemilu –dari tingkat KPU pusat sampai tingkat PPS di kelurahan- untuk memperhatikan masalah DPT. Bahkan ada ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya.

 

Pasal 260

Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

 

Pasal 263

Petugas PPS/PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6), Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).

 

Pasal 264

Setiap anggota KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

 

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mudzakkir menandaskan bahwa sanksi pidana yang tercantum dalam UU Pemilu Legislatif siap mengancam siapa saja yang terbukti mengacaukan DPT. Bisa KPU Pusat, bahkan sampai ‘orang kecil' yang ada di PPS, katanya lewat telepon, Senin (13/4).

 

Namun Mudzakkir mengingatkan, ‘bola' untuk menindaklanjuti kekacauan DPT ada di tangan Bawaslu dan Panwaslu di daerah-daerah. Nanti Bawaslu dan Panwaslu ini yang akan meneruskannya ke kepolisian dan kejaksaan.

 

Jadi, jika komisioner KPU terbukti bersalah sehingga mengakibatkan hilangnya hak pilih warga negara, desakan mundur dari jabatan saja tampaknya tak cukup.

Proses pemilu kali ini banyak diwarnai dengan berbagai pelanggaran baik yang bersifat administratif maupun pidana. Pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh peserta pemilu, tapi juga oleh pihak penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU juga dihujani kritik lantaran carut-marutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT).

 

Tak hanya itu, Kelompok Kerja (Pokja) Pemantau Penyelenggara Pemilu yang terdiri dari 11 LSM pemantau Pemilu menilai bahwa kinerja pihak penyelenggara tidak maksimal dan cenderung membohongi publik.

 

Demikian pandangan Ketua Divisi Politik Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) salah satu LSM pemantau yang tergabung  di dalam Pokja. Pelanggaran KPU adalah tidak memutakhirkan DPT, tidak memasang DPT dan DCT (Daftar Caleg Tetap, red) di TPS, serta tidak menyediakan TPS khusus bagi pemilih tertentu di rumah sakit, jelasnya.

Tags: