Perketat Hak DPR Agar Tidak Semata Gagah-gagahan
RUU Susduk

Perketat Hak DPR Agar Tidak Semata Gagah-gagahan

Hak interpelasi jangan dipersempit hanya menjadi milik DPR, pihak lain seperti DPD seharusnya juga berhak, meskipun itu hanya interpelasi kecil seperti di Jerman.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
Perketat Hak DPR Agar Tidak Semata <i>Gagah-gagahan</i>
Hukumonline

 

Aturan-aturan di Tata Tertib akan kita angkat ke level undang-undang, tandasnya. Hajriyanto sadar, memindahkan banyak ketentuan dari Tata Tertib tentunya akan berimpilikasi UU Susduk baru akan lebih gemuk dibanding yang lama.   

 

Pengaturan yang minim dan tidak jelas pada akhirnya juga menjadikan fungsi pengawasan DPR tumpul. Setiap ada wacana hak interpelasi atau hak angket, publik dijejali dengan perdebatan prosedural yang tidak produktif. Ketika mempertanyakan sikap pemerintah terhadap resolusi Iran, misalnya, kalangan DPR justru meributkan kehadiran presiden ketimbang substansi.

 

Perlahan isu itupun hilang dengan sendiri tanpa hasil yang jelas, tukas Hajriyanto. Ia mengungkapkan Pansus tengah meramu beragam cara agar penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat efektif. Salah satu caranya, dengan mempersingkat prosedur pengajuan hak. Pemangkasan bertujuan agar penggunaan hak tersebut tidak berlarut-larut sehingga menutup potensi permainan.

 

Namun begitu, Hajriyanto menegaskan pemangkasan prosedur tidak berlaku untuk hak menyatakan pendapat. Untuk hak yang satu ini, penggunaannya memang harus ekstra hati-hati mengingat dampaknya bisa sampai proses impeachment. Sebagaimana tertuang di Tata Tertib, DPR memang bisa memberhentikan Presiden jika hak menyatakan pendapat berlanjut ke Mahkamah Konstitusi.

 

Tata Tertib DPR

Pasal 189

(1) Keputusan DPR mengenai usul menyatakan pendapat yang berupa dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan.

 

Pasal 190

Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan membenarkan pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (1), DPR menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis

 

Agar tidak disalahgunakan, Hajriyanto menekankan hak menyatakan pendapat hanya boleh digunakan jika setidaknya salah satu dari dua hak lainnya, interpelasi dan angket, sudah ditempuh. Jadi tiga hak ini akan dibuat gradual dan instrumental, tidak bisa langsung menyatakan pendapat, jelasnya.

 

RUU Susduk juga akan membagi dua tipe hak menyatakan pendapat. Perbedaannya pada materi yang dijadikan dasar pengajuan. Tipe pertama hak menyatakan pendapat atas suatu kejadian luar biasa. Tipe kedua, hak menyatakan pendapat terkait faktor-faktor yang dapat dijadikan alasan pemberhentian Presiden sebagaimana diatur Pasal 7A UUD 1945. Untuk tipe kedua, DPR harus melibatkan Mahkamah Konstitusi. Sistem gradual tadi akan lebih difokuskan pada hak menyatakan pendapat terkait Pasal 7A, tegasnya.  

 

Jika dicermati, sistem gradual dan pembagian hak menyatakan pendapat sebenarnya sudah diatur dalam Tata Tertib. Pasal 184 ayat (1) menyebutkan dua dari tiga dasar pengajuan hak menyatakan pendapat adalah tindak lanjut dari hak interpelasi atau angket dan adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan presiden. Artimya, Pasal 184 ayat (1) termasuk substansi Tata Tertib yang dinaikkan kastanya menjadi substansi undang-undang.

 

Perluas makna interpelasi

Mewakili Koalisi LSM untuk Penyempurnaan Paket UU Politik, Reny Rawasita Pasaribu mendukung rencana Pansus mempertegas penggunaan hak-hak DPR. Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia ini juga setuju jika pengaturan level tata tertib terkait ketiga hak tersebut dihilangkan. Kedudukan Tata Tertib, menurutnya, tidak terlalu kuat. Kalau memang ada pendelegasian, UU Susduk lebih baik menunjuk ke level peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

 

Secara khusus, Reny menyoroti penggunaan hak DPR yang selama ini cenderung tidak efektif. Bukan semata karena perdebatannya selalu berkutat pada hal prosedural, penggunaan hak DPR tidak efektif juga karena minimnya akuntabilitas publik. Wacana interpelasi seringkali hilang begitu saja tanpa tindaklanjut yang jelas. Sikap DPR pasca pengajuan hak interpelasi atau angket pun tidak pernah disampaikan ke publik. DPR harusnya berkewajiban memaparkan ke publik apa hasil dari hak yang mereka digunakan dan bagaimana kelanjutannya, ujar Reny.

 

Selain itu, ia juga mengusulkan agar khusus hak interpelasi tidak dipersempit maknanya hanya menjadi hak DPR. Mencontoh praktek di Jerman yang mengenal interpelasi besar dan kecil, di Indonesia juga harus membuka kesempatan pihak lain di luar DPR menggunakan hak interpelasi. Setidaknya, melalui korespondensi surat-menyurat seperti hak interpelasi kecil di Negeri Panser itu.

 

Usulan ini sekaligus membuka kemungkinan tetangga DPR, yakni DPD juga bisa melakukan interpelasi. Soal DPD, Hajriyanto seperti halnya anggota DPR kebanyakan mengajukan syarat klasik, amandemen UUD 1945. Tanpa amandemen, tidak bisa menambahkan kewenangan DPD seenaknya, dalihnya.

Dari enam presiden yang pernah memimpin negeri ini, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mungkin mengalami nasib yang paling tragis. Terlepas dari konstelasi politik saat itu, pencopotan Gus Dur yang kemudian diganti wakilnya Megawati Soekarnoputri, jelas buah dari permainan DPR. Dengan dalih Gus Dur melakukan pelanggaran hukum, DPR berhasil mendesak digelarnya Sidang Istimewa MPR.

 

Dalam arti positif, tindakan DPR terhadap Gus Dur merupakan perwujudan dari fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Fungsi ini tentunya akan sangat bermanfaat jika dijalankan sesuai aturan dan dibarengi itikad baik. Sebaliknya, fungsi pengawasan tidak ubahnya kudeta politik semata terhadap presiden. Untuk mengantisipasi kemungkinan yang kedua, DPR pun berencana memperjelas sekaligus memperketat ketentuan tentang hak-hak DPR dalam pelaksanaan fungsi pengawasan.

 

Pintu masuknya, UU Susunan Kedudukan Anggota DPR, DPD, MPR dan DPRD (Susduk) yang tengah direvisi oleh DPR. Berdasarkan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, DPR dibekali tiga hak terkait fungsi pengawasan, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Ketiga hak ini dilengkapi oleh ayat (3) yang memberikan hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, dan hak imunitas.    

 

Selama ini, DPR terkesan hanya gagah-gagahan menggunakan hak-hak itu, ujar Anggota DPR Hajriyanto Y. Thohari. Politisi Partai Golkar yang juga anggota Pansus RUU Susduk ini memandang aksi gagah-gagahan ini harus segera direm. Pangkal masalahnya, menurut Hajriyanto, terletak di pengaturan yang tidak jelas dan tegas. UU Susduk yang lama, UU No. 22 Tahun 2003, bahkan banyak melempar pengaturan ketiga hak ini ke Tata Tertib DPR. Padahal, Tata Tertib berada di luar peraturan perundang-undangan Indonesia.

Tags: