Putusan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta Dinilai Cacat Hukum
Utama

Putusan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta Dinilai Cacat Hukum

Dewan Kehormatan Peradi Jakarta mencantumkan irah-irah layaknya putusan pengadilan. Meski diwarnai dissenting opinion, Todung tetap dinyatakan bersalah. Sanksi pemberhentian sementara selama 1 bulan 15 hari dijatuhkan.

Oleh:
IHW/Ali
Bacaan 2 Menit
Putusan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta Dinilai Cacat Hukum
Hukumonline

 

Pendapat majelis yang menyatakan putusan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta batal demi hukum bukannya tanpa alasan. Salah satunya adalah Dewan Kehormatan Peradi Jakarta dinilai sengaja dan tanpa hak menggunakan irah-irah atau kepala putusan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Bagi majelis, penggunaan irah-irah adalah hal yang ‘tabu'. Kalimat itu hanya bisa digunakan oleh badan peradilan yang berada di bawah kekuasaan kehakiman, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu ada pengecualian bagi arbitrase, sertifikat hak tanggungan, jaminan fidusia dan peradilan pajak untuk bisa menggunakan irah-irah.

 

Saking sakralnya, majelis menunjukkan beberapa putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibatalkan Mahkamah Agung lantaran memakai irah-irah dalam putusannya.

 

Majelis tak mau mengulangi kesalahan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta. Di dalam putusannya, majelis tetap memakai kepala putusan tapi dengan bunyi berbeda, yaitu Demi Keadilan untuk Menjaga Martabat dan Kehormatan Profesi Advokat Indonesia.

 

Harus Diatur Undang-undang

Dihubungi terpisah, Jack R. Sidabutar, Ketua Dewan Kehormatan Peradi Jakarta memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, majelis kehormatan bisa saja mencantumkan irah-irah. Ia mengibaratkan peradilan kode etik tak jauh berbeda dengan peradilan di lingkungan pengadilan. Majelis kode etik juga disumpah, sama seperti hakim.

 

Penggunaan irah-irah dalam putusan Dewan Kehormatan, sambung Jack, memiliki dasar hukum. Ada di UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, kata dia. Meski begitu, ia enggan merinci ada di pasal mana ketentuan irah-irah itu.

 

Kamal Firdaus membantah pendapat Jack. Ia menyatakan tak ada satu pun ketentuan dalam UU Advokat, kode etik, AD/ART KAI maupun Peradi yang membolehkan irah-irah dalam putusan.

 

Djoko Sarwoko, Juru Bicara Mahkamah Agung berpendapat irah-irah digunakan dalam putusan hakim. Itu ada dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, kata Djoko lewat telepon. Meski begitu, ia mengakui irah-irah bukan monopoli hakim semata. Sertifikat hipotik atau hak tanggungan juga boleh memakai irah-irah. Sepanjang undang-undang membenarkannya.

 

Tetap Bersalah

Mengenai pokok perkara, majelis tetap menyatakan Todung bersalah karena terbukti konflik kepentingan. Pada saat mewakili kepentingan Menteri Keuangan, Pembanding (Todung, red) menyimpulkan bahwa Salim Group melanggar MSAA dan karenanya menimbulkan kerugian negara. Namun saat mewakili Salim Group dalam menghadapi gugatan dari Sugar Group berpendapat sebaliknya, kata majelis.

 

Bagi majelis, sikap Todung terhadap Salim group adalah sikap yang tidak konsisten. Ini bertentangan dengan Pasal 2 Kode Etik KAI bahwa advokat harus bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia.

 

Lebih jauh, majelis juga mempertimbangkan fakta bahwa Todung pernah dijatuhi sanksi ‘peringatan keras' oleh IKADIN. Sehingga pembanding patut dijatuhi hukuman pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.

 

Putusan majelis dalam perkara ini diwarnai dissenting opinion. Empat anggota –termasuk salah satunya ketua majelis- tidak sependapat dalam menilai kesalahan Todung. Menurut mereka, Todung tidak terbukti konflik kepentingan ketika mewakili Salim Group.

 

Todung sendiri mengaku kecewa atas putusan ini. Putusan yang berat atas pelanggaran yang tak pernah saya lakukan, jelas Todung kepada wartawan di kantornya. Namun, akhirnya ia menerima putusan. Karena saya yang mengajukan banding, maka saya terima putusan ini.

 

Marx Andryan, -advokat yang mengadukan Todung ke Dewan Kehormatan Peradi Jakarta- tak bisa berkomentar banyak. Biarkan masyarakat yang menilai. Apakah dapat dibenarkan seorang warga negara Indonesia yang dihukum oleh Mahkamah Agung di Indonesia, kemudian mengajukan Peninjauan Kembali di MA-nya Amerika Serikat?  

Mengambil tempat di sebuah hotel di Jakarta Selatan, Majelis Kehormatan Kongres Advokat Indonesia (KAI) menggelar sidang pada Rabu (3/12). Dari yang seharusnya berjumlah sembilan orang, hanya ada tujuh orang majelis kehormatan yang memimpin persidangan.

 

Beranjak siang hari, majelis yang diketuai Kamal Firdaus mengetuk palu pertanda membuka sidang. Sidang putusan perkara dengan Nomor 01//MK-DK KAI/XII/2008 atas nama Todung Mulya Lubis dengan ini dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,  kata Kamal.

 

Seperti diketahui, pada Mei 2008 lalu, Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap Todung. Pemecatan itu adalah ujung dari aduan Hotman Paris Hutapea dan Marx Andryan atas dugaan pelanggaran kode etik oleh Todung.

 

Todung tidak berdiam diri atas pemecatan itu. Ia mengajukan banding. Tapi bukan ke Dewan Kehormatan Pusat Peradi, melainkan ke Dewan Kehormatan KAI. Setelah hampir sebulan bermusyawarah, majelis Dewan Kehormatan KAI akhirnya menjatuhkan putusan.

 

Dalam putusannya, majelis menyatakan putusan Dewan Kehormatan Peradi Jakarta batal demi hukum. Namun begitu, majelis tetap menyatakan Todung bersalah melanggar kode etik KAI. Ia pun dijatuhi hukuman pemberhentian untuk sementara waktu selama satu setengah bulan.

Tags: