Kisah si Penulis Surat Pembaca Berlanjut ke Pidana
Berita

Kisah si Penulis Surat Pembaca Berlanjut ke Pidana

Langkah Aseng dan Winny mengirim surat pembaca ke media massa ternyata dianggap sebagai kejahatan menista atau menista dengan tulisan oleh jaksa.

Oleh:
Fat/Rzk
Bacaan 2 Menit
Kisah si Penulis Surat Pembaca Berlanjut ke Pidana
Hukumonline

 

Surat dakwaan jaksa penuntut umum baik terhadap Aseng maupun Winny, eksplisit sepaham dengan versi Duta Pertiwi. Sejak awal, menurut dakwaan, status sertifikatnya adalah HGB di atas HPL yang pemegang haknya adalah Pemerintah Daerah DKI Jakarta dengan masa berlaku sampai 17 Juli 2008. Hanya saja, pada saat proses jual-beli, Badan Pertahanan Nasional belum seragam menerbitkan sertifikat dengan tulisan HGB di atas HPL. Kewajiban penyeragaman baru muncul kemudian dengan terbitnya PP No. 40 Tahun 1996.

 

Langkah Aseng dan Winny mengirim surat pembaca ke media massa ternyata dianggap sebagai kejahatan menista atau menista dengan tulisan. Aseng dan Winny pun didakwa dengan Pasal 311 ayat (1) KUHP. Sebagai pelapis, jaksa penuntut umum juga mendakwakan Pasal 310 ayat (2) KUHP. Surat pembaca mereka dianggap, dengan sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh melakukan suatu perbuatan yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, tang dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan.

 

Kedua pasal dakwaan sebenarnya sempat diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi. Sayang, permohonan ini kandas karena majelis hakim konstitusi berpendapat martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945.

 

Seusai persidangan, Winny menilai isi dakwaan jaksa adalah fitnah terhadap dirinya. Winny menegaskan bahwa surat pembaca yang ia kirim hanya untuk mengingatkan agar hati-hati berinvestasi. Ia justru merasa ditipu karena sejak awal tidak ada informasi tentang biaya perpanjangan HPL.

 

Pihak pertama (Duta Pertiwi) menjamin bahwa obyek jual beli tersebut di atas tidak tersangkut dalam suatu sengketa bebas dari satuan, tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam sertifikat dan bebas dari beban-beban lainnya yang berupa apapun, ujar Winny mengutip Pasal 2 akta jual beli antara dirinya dengan Duta Pertiwi.

Untuk kesekian kalinya, Khoe Seng Seng harus berurusan dengan pengadilan. Sebelumnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, pria yang akrab disapa Aseng itu berjuang lewat jalur hukum perdata terkait sengketa status sertifikat kios miliknya di ITC Mangga Dua. Ketika itu, Aseng tidak sendiri, teman-temannya sesama penghuni kios atau rumah susun juga turut berjuang.

 

Kini, kiprah Aseng beralih ke Jakarta Timur. Statusnya pun berbeda, bukan lagi penggugat atau tergugat, tetapi terdakwa. Meski disidang secara terpisah, Aseng bersama dengan Kwee Meng Luan alias Winny didakwa telah melakukan pencemaran nama baik terhadap PT Duta Pertiwi tbk sekaligus Direktur Utama Mukhtar Wijaya dan Direktur Glen Hendra Gunadirdja.  

 

Pencemaran itu dilakukan Aseng dan Winny melalui surat pembaca yang mereka kirimkan ke media. Aseng pertama kali mengirim surat pembaca dengan judul PT Duta Pertiwi Bohong ke Harian Kompas pada 26 September 2006. Surat pembaca kedua berjudul Jeritan Pemilik Kios ITC Mangga Dua, dikirim Aseng ke Harian Suara Pembaruan pada 21 November 2006. Winny melakukan hal yang sama pada 3 Oktober 2006. Surat pembaca berjudul Hati-hati Pembeli Properti PT Duta Pertiwi dikirim Winny ke Harian Suara Pembaruan.

 

Selain surat pembaca, Aseng dan Winny secara bersamaan pada 15 November 2006 juga melaporkan Mukhtar Wijaya ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan penipuan. Namun, laporan tersebut kandas berdasarkan surat ketetapan penghentian penyidikan tanggal 2 Mei 2007 dengan alasan unsur-unsur pasal yang disangkakan tidak terpenuhi.

 

Surat pembaca dan laporan ke polisi, dilakukan Aseng dan Winny karena merasa ditipu terkait status sertifikat. Sepengetahun mereka, sertifikatnya adalah hak guna bangunan (HGB), bukannya HGB di atas hak pengelolaan (HPL) seperti yang didalilkan Duta Pertiwi selaku penjual.

Tags: