Hakim Kurang Menggali Unsur Kepentingan Umum dalam Penghinaan
Berita

Hakim Kurang Menggali Unsur Kepentingan Umum dalam Penghinaan

Meskipun pasal 310 KUHP dihilangkan bukan berarti menghapus hak orang untuk menggugat secara perdata tuduhan pencemaran nama.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Hakim Kurang Menggali Unsur Kepentingan Umum dalam Penghinaan
Hukumonline

 

Ifdhal juga menengarai bahwa pasal 310 sering dijadikan alat untuk menggertak lawan berperkara. Akibat terlalu mudah digunakan ditambah kurangnya upaya hakim menggali anasir kepentingan umum dan pembelaan kepentingan, acapkali seseorang ‘diteror' lawan berperkara dengan melaporkan tuduhan pencemaran nama baik. Lebih ironis kalau pasal pencemaran nama baik dalam KUH Pidana dipakai sekaligus dengan tuduhan serupa dalam ranah hukum perdata. Kalau dua-duanya dipakai orang sekaligus, lalu aparat hukum juga membiarkan itu terjadi, Ifdhal menyebutnya sebagai ‘kekeliruan sistemik'.

 

Arsil mengingatkan bahwa hakim harus benar-benar melihat adanya niat seseorang untuk menghina orang lain. Peneliti LeIP ini sudah berusaha menganalisis putusan-putusan Mahkamah Agung terkait pidana penghinaan. Anasir niat menghina itu merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi. Harus ada intensi untuk menghina, ujarnya.

 

Menurut Arsil, kalaupun pasal 310 dihapuskan –seperti diinginkan sebagian pekerja pers—bukan berarti tuduhan pencemaran hilang begitu saja. KUHP masih memuat pasal-pasal lain berupa penghinaan. Selain itu, jalur perdata pun masih bisa dipakai untuk menggugat pihak lain. Orang yang martabat dan harkatnya dihina orang lain punya hak hukum untuk menggugat. Apalagi, tandas Arsil, hak atas martabat bagi seseorang dilindungi oleh UUD 1945. Penghapusan pasal 310 tidak akan menghilangkan hak orang untuk menggugat secara perdata, ujarnya.  

 

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim berpendapat bahwa dari kasus-kasus penghinaan yang masuk ke pengadilan muncul kesan bahwa hakim kurang menggali amanat pasal 310 ayat (3) KUH Pidana. Ayat (3) ini merupakan klausul yang bisa meloloskan seseorang dari tuduhan pencemaran nama baik yang dirumuskan pada ayat (1) dan ayat (2).

 

Berdasarkan pasal 310 ayat (1) dan (2), seseorang yang merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh orang tersebut melakukan sesuatu terancam pidana maksimal sembilan bulan penjara. Jika perbuatan itu dilakukan melalui tulisan atau gambar untuk disiarkan di muka umum, ancamannya bertambah berat menjadi satu tahun empat bulan penjara.

 

Rumusan kedua pidana tadi sebenarnya dikecualikan pada ayat (3). Seseorang bisa lolos dari tuduhan pencemaran nama baik apabila perbuatan itu dilakukan untuk dua hal: demi kepentingan umum, dan terpaksa untuk membela kepentingan sendiri. Nah, menurut Ifdhal, kedua anasir inilah yang jarang digali dengan baik oleh hakim-hakim yang menyidangkan perkara pencemaran nama baik. Hakim kurang menggali unsur kepentingan umum dan pembelaan kepentingan, ujarnya dalam diskusi terbatas ‘Kejahatan Terhadap Kehormatan dalam Perspektif Demokrasi, HAM dan Hukum Pidana' di Jakarta, Rabu (17/9).

 

Akibatnya, banyak orang yang terjerat tuduhan pencemaran. Sebagian besar adalah mereka yang menjalankan profesi jurnalis. Rekapitulasi yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Pers misalnya, tercatat 59 orang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik sepanjang periode Januari 2003 – Agustus 2008. Itu baru yang terdata.

 

Dalam disertasi ilmu hukum yang dipertahankan pada Juli lalu, advokat Amir Syamsudin juga menegaskan bahwa pasal 310 ayat (3) sebagai alasan penghapus pidana (Strafuitsluitingsgrond). Ia juga tidak sependapat dengan anggapan bahwa pasal 310 adalah delik pers. Ayat (3) dari pasal itu seharusnya bisa meloloskan kalangan pers dari tuduhan pencemaran nama baik asalkan dilakukan demi kepentingan umum.

Tags: