Petisi �5� Dituding Hanya Menambah Persoalan Baru
Berita

Petisi �5� Dituding Hanya Menambah Persoalan Baru

Penggagas Petisi 5 justru menyodorkan ide rekonsiliasi, selesaikan sendiri atau dengan mediator Mahkamah Agung.

Oleh:
M-1
Bacaan 2 Menit
Petisi �5� Dituding Hanya Menambah Persoalan Baru
Hukumonline

 

Dihubungi via telepon (5/9), salah seorang penggagas Petisi 5 SF. Marbun justru mempertanyakan kembali kapan sahnya sebuah organisasi masyarakat, parpol, atau badan hukum itu berdiri. Apa ukurannya, sekarang itu yang harus dipertajam, untuk menentukan berdirinya sebuah organisasi sahnya dalam arti yuridis itu apakah sejak dideklarasikan atau sejak didaftar di notaris atau sejak saat dia didaftar di kementerian hukum dan ham, paparnya.

 

Soal kontribusi, Marbun justru balik bertanya apakah Peradi telah secara cermat membaca isi Petisi 5. Soal memberi atau tidak memberi kontribusi itu subjektif, kalau mereka mengatakan mereka sudah sah ya jelas tidak ada kontribusinya, sekarang kapan sahnya itu, itu yang harus dilacak, ujarnya.

 

Uniknya, Ningrum Sirait justru menyambut baik munculnya tanggapan tertulis dari Peradi. Tanggapan ini, menurut Ningrum, merupakan tanda bahwa Peradi masih mendengarkan aspirasi yang berkembang. Kami berterima kasih telah dikomentari Peradi, dan saya secara pribadi senang artinya pernyataan kami ditanggapi berarti masih ada kehidupan, berarti masih ada perhatian untuk memikirkan langkah berikutnya, tukasnya.

 

Apa langkah berikutnya? Ningrum menyodorkan gagasan agar para pihak berseteru melakukan rekonsiliasi. Yang paling ideal dimata saya mereka bertemu sendiri, menyelesaikan sendiri secara independen, tapi kalau perlu dijembatani saya mengusulkan MA, usul Guru Besar Universitas Sumatera Utara ini.

 

Rekonsiliasi, ide usang yang tak pernah disambut.

Menanggapi petisi 5 yang disusun oleh lima akademisi dan pakar hukum seperti mantan Hakim Agung Adi Andojo, mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki, Muhammad Abduh, Ningrum Sirait dan SF. Marbun tanggal 25 Agustus 2008 lalu, Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) menyampaikan tanggapan tertulisnya (4/9).

 

Dalam tanggapannya itu, Peradi menyebutkan bahwa Petisi 5 yang menyatakan Peradi tidak sah sangat tidak berdasar hukum dan menyesatkan, karena menurut mereka, Peradi dibentuk sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan oleh UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Advokat tanggal 21 Desember 2004 yaitu dua tahun sejak UU tersebut diundangkan, paling lambat 5 April 2005.

 

Petisi 5 menyatakan pembentukan Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Peradi cacat yuridis karena keduanya dibentuk melewati batas waktu yang ditentukan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat yang berbunyi Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk.

Selain itu, Peradi juga memaparkan putusan Mahkamah Konstitusi RI No.014/PUU-IV/2006 tertanggal 30 November 2006 yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya Peradi sebagai Organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.

 

Dalam hal ini, Peradi menyayangkan kelalaian anggota petisi 5 dalam membaca dokumen-dokumen mengenai waktu deklarasi Peradi termasuk putusan MK tertanggal 30 November 2006 ini. Selain itu dalam tanggapannya Peradi juga menyatakan bahwa Petisi �5� ini tidak memberikan kontribusi apapun dalam menyelesaikan kemelut di kalangan advokat kecuali menambah persoalan baru.

Tags: