Permohonan Pengujian UU Tata Cara Pidana Mati Resmi Didaftarkan
Berita

Permohonan Pengujian UU Tata Cara Pidana Mati Resmi Didaftarkan

Terpidana mati kasus Bom Bali I mengajukan permohonan pengujian UU yang mengatur tata cara eksekusi tembak mati. Memohon pengujian secara formil dan materil sekaligus.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Permohonan Pengujian UU Tata Cara Pidana Mati Resmi Didaftarkan
Hukumonline

 

Wirawan mengatakan metode tembak mati dalam UU itu sangat memungkinkan untuk terjadi penyiksaan bagi terpidana mati. Dalam UU itu, terpidana mati memang akan dieksekusi oleh regu tembak yang membidik jantung terpidana. Namun, bila terpidana belum mati juga maka komandan regu akan mengambil tindakan terakhir dengan menembak kepala terpidana.

 

Sebelum tembakan pengakhir tersebut, berarti undang-undang ini mengakui bahwa Terpidana masih hidup, padahal dia sudah dalam keadaan tertembak dan tentunya dalam keadaan berlumuran darah, sehingga dalam keadaan tersiksa yang amat sangat, sebelum akhirnya mati oleh tembakan pengakhir, tulis Wirawan dalam permohonan memberi sebuah ilustrasi.

 

Wirawan mengatakan masih banyak cara eksekusi hukuman mati yang lebih manusiawi. Seperti dengan cara disuntik mati, ujarnya. Ia menegaskan secara prinsip permohonan ini tidak mempersoalkan perdebatan seputar hukuman mati, melainkan hanya menggugat cara eksekusi melalui ditembak yang dinilai sangat menyiksa terpidana.

 

Berharap Eksekusi Ditunda

‘Permintaan' terakhir Amrozi untuk tidak dieksekusi mati dengan cara ditembak ini tampaknya akan terbentur dengan langkah sang eksekutor. Beberapa waktu lalu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga mengatak eksekusi akan dilangsungkan sebelum bulan Ramadhan. Jaksa agung hanya bilang sebelum bulan puasan saja, dia nggak bilang tanggalnya, ujar Ritonga.

 

Wirawan berharap rencana eksekusi Amrozi Cs dilakukan setelah proses pengujian UU yang mengatur tata cara eksekusi mati ini selesai diputus oleh MK. Ia mengatakan secara teknis Kejaksaan memang bisa mengeksekusi Amrozi Cs kapan saja, tapi tidak secara legitimate. Kejaksaan harus menunggu, ujarnya. Namun, permintaan agar eksekusi ditunda sepertinya hanya sekedar harapan, Wirawan mengaku tak memasukan permintaan itu ke petitum permohonannya.

 

Wirawan tampaknya perlu mendengar pernyataan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta. Jauh-jauh hari, Andi sudah mengatakan langkah judicial review ke MK ini tidak akan menunda eksekusi yang sudah dijadwalkan. Eksekusi tak boleh menunggu, ujarnya, Kamis (31/7).

 

Sementara itu, Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan sikap hati-hati perlu diambil karena menyangkut nyawa orang. Namun mengingat posisinya sebagai hakim, Jimly enggan mengomentari perkara yang sudah terdaftar tersebut. Terkait apakah eksekusi bisa ditunda selama perkara ini disidangkan, Jimly memilih untuk berdiam diri. Tapi, lazimnya persidangan di MK, sebuah persoalan yang bisa diberhentikan sementara selama ada persidangan di MK hanya perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) saja, bukan perkara pengujian undang-undang.

 

Janji terpidana kasus Bomb Bali – Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudera – untuk mengajukan permohonan pengujian UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah berusia 1,5 tahun telah terpenuhi. Melalui kuasa hukum mereka, tim pengacara muslim (TPM), permohonan Amrozi Cs didaftarkan siang ini, Rabu (6/8), sesuai rencana sebelumnya. Permohonan tersebut diterima oleh Kepala Biro Administrasi Perkara dan Persidangan MK Kasianur Sidauruk.

 

Anggota TPM Wirawan Adnan menjelaskan kliennya mengajukan dua jenis pengujian sekaligus, yaitu pengujian formil dan pengujian materi UU No. 2/PNPS/1964. Wirawan menilai pembentukan UU No.2/PNPS/1964 cacat hukum. UU tersebut disahkan oleh Presiden dengan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR). Kedudukan DPR GR dipersoalkan karena dianggap bukan sebagai lembaga perwakilan rakyat sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.

 

DPR GR dibentuk atas dasar penetapan Presiden dan anggotanya juga diangkat oleh Presiden, sedang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 19 UUD 1945, anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, jelas Wirawan. Pasal 1dimaksud memang menyatakan ‘Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum'. Selain itu, Wirawan juga mengatakan pembentukan UU tersebut bertentangan dengan Pasal 20 UUD'45 yang mengatur proses pembentukan sebuah UU. Berdasarkan ketentuan ini, kekuasaan membentuk UU ada di tangan DPR. Setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Jika tidak tercapai persetujuan bersama, RUU tak boleh lagi diajukan pada persidangan DPR masa itu. Lalu, kalau sudah disetujui bersama, maka Presiden mengesahkan RUU menjadi Undang-Undang.

 

Amrozi Cs tak hanya mempersoalkan proses pembentukan UU No.2/PNPS/1964 yang dinilai inkonstitusional, tapi juga mempersoalkan UU itu yang dinilai secara materil bertentangan dengan UUD'45. Wirawan mengatakan proses tembak mati sebagai cara pengeksekusian bagi terpidana dalam UU itu telah melanggar hak asasi yang ada dalam Pasal 28I UUD'45. Hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, ujarnya memenggal isi Pasal 28I.

Tags: