Agar UU Tipikor Tak Berlaku Saat Keadaan Darurat
Utama

Agar UU Tipikor Tak Berlaku Saat Keadaan Darurat

Salim Alkatiri memperbaiki permohonannya. Ia tak lagi meminta pasal 3 UU Tipikor tak mempunyai kekuatan hukum mengikat di seluruh wilayah Indonesia. Sekarang, ia hanya meminta agar pasal tersebut tak punya kekuatan hukum mengikat saat keadaan darurat.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Agar UU Tipikor Tak Berlaku Saat Keadaan Darurat
Hukumonline

 

Isi pasal 3 UU Tipikor adalah ‘Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)'.

 

Petitum semacam ini memang lebih mengena terkait dengan kasus yang dialami oleh Salim. Saat ini, Salim harus mendekam di Lapas Cipinang karena tindakannya mengadakan obat-obatan dianggap korupsi sesuai dengan pasal 3 UU Tipikor. Padahal saat itu, keadaan di Pulau Buru sedang mencekam. Ia pun berdalih bahwa penggunaan pasal itu tak tepat, sebab hukum yang berlaku saat itu adalah hukum darurat.

 

Tak mampu sewa pengacara

Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi mengatakan bunyi petitum seperti ini sudah sesuai dengan apa yang disarankan oleh panel hakim konstitusi. Namun, Arsyad menilai masih ada kejanggalan dalam permohonan pemohon ini. Ia pun menanyakan kembali saran hakim konstitusi terkait kemungkinan pemohon didampingi oleh pengacara.

 

Salim pun menjelaskan alasan dirinya belum didampingi oleh pengacara. Bukan saya tak mau didampingi pengacara, namun saya tak mampu, ungkapnya dengan wajah memelas. Ia mengaku sudah melakukan berbagai cara untuk merekrut pengacara. Namun mahalnya harga pengacara membuat dirinya frustasi. Pasalnya, ia pernah menghubungi seorang pengacara, namun pengacara tersebut malah mematok tarif tinggi, yakni Rp150 juta.

 

Salim tak habis akal. Ia menghubungi biro hukum tempatnya bekerja dahulu, yakni Depatemen Kesehatan. Tapi Kepala Biro Hukum Kadis Kesehatan katanya mau cuti, ujarnya. 

 

Ia menganggap jalan untuk memperoleh pengacara sudah buntu. Makanya Salim meminta bantuan kepada MK agar menghadirkan pengacara untuknya. Apa MK bisa kasih saya pengacara? Saya sudah berusaha. Ini demi keadilan, pintanya. Permintaan Salim ini langsung ditanggapi oleh Arsyad. Dalam sistem hukum kita, pengacara yang secara cuma-cuma hanya untuk orang yang tak mampu saja, ujarnya.

 

Sontak Salim ‘menunjuk tangan' sebagai orang yang tak mampu. Saya hanya pensiunan dokter, gaji saya sebulan hanya Rp1,1 juta, ungkapnya lagi-lagi dengan muka memelas.

 

Arysad mengatakan pada dasarnya untuk didampingi pengacara dan menghadirkan saksi atau ahli merupakan urusan Pemohon. Pasalnya, beracara di MK tak dipungut biaya alias gratis. Namun, Arysad berjanji akan membawa permintaan Salim ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Akan kami bahas di RPH, janjinya.

Salim Alkatiri kembali hadir di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, pensiunan dokter ini memohonkan pengujian pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengagendakan pemeriksaan pendahuluan. Kini, sidang memasuki pemeriksaan perbaikan permohonan yang diajukan Salim. Salim adalah terpidana kasus korupsi pengadaan obat-obatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Maluku.

 

Sesuai dengan judul sidangnya, Salim tentu saja mengemukakan beberapa perbaikan permohonannya yang telah dikritisi oleh panel hakim konstitusi pada persidangan yang lalu. Meski harus didampingi oleh petugas Lembaga Pemasyakatan (Lapas) Cipinang lantaran statusnya masih terpidana, Salim mengaku tetap keukeuh menggugat ketentuan pasal 3 tersebut.

 

Namun, perbaikan permohonan yang dilakukan Salim tak seradikal yang diajukan sebelumnya. Dalam permohonan awal, Salim memang meminta agar norma pasal 3 UU Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala implikasinya. Hakim konstitusi mengingatkan, bila pasal ini dibatalkan oleh MK, maka banyak koruptor yang bisa melenggang dengan bebas tanpa adanya jeratan hukum. 

 

Salim menyadari kekeliruannya. Meminta MK menyatakan pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat di daerah Maluku sejak 1999 sampai 2003 sesuai dengan UU Darurat Sipil, jelasnya membaca petitum dalam permohonan yang telah diperbaiki, di ruang sidang MK, Kamis (31/7).

Halaman Selanjutnya:
Tags: