Terpidana Korupsi ‘Gugat' Pasal 3 UU Tipikor ke MK
Berita

Terpidana Korupsi ‘Gugat' Pasal 3 UU Tipikor ke MK

Hakim Konstitusi Mahfud MD menilai permohonan ini sebenarnya mempersoalkan implementasi norma, yang bukan merupakan kewenangan MK. Pemohon tidak didampingi oleh kuasa hukum.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Terpidana Korupsi ‘Gugat' Pasal 3 UU Tipikor ke MK
Hukumonline

 

Pasal 3 UU Tipikor

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

 

Usut punya usut ternyata bukan noma dalam Pasal 3 yang ingin dimintakan pembatalannya oleh Salim. Tetapi, penerapan pasal itu yang mengakibatkan Salim harus rela bermukim di lembaga pemasyarakatan.  

 

Salim menceritakan kronologis kasus yang sedang dihadapinya. Ia divonis telah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan obat-obatan oleh MA pada tingkat kasasi. Dasar hukum yang digunakan oleh hakim dari tingkat Pengadilan Negeri sampai Kasasi, adalah Pasal 3 UU Tipikor. Ia protes. Karena perbuatan yang dilakukannya saat itu berlangsung sekitar tahun 1999 sampai 2003, dimana ada UU Darurat Sipil Nomor 23 Prp/159 Lembaran Negara 1959 Nomor 139 tentang Keadaan Bahaya di Provinsi Maluku dan Kabupaten Buru.

 

Salim berdalih yang berlaku saat itu hanya UU Darurat Sipil. UU lain, termasuk UU Tipikor tak bisa berlaku saat itu, ujarnya. Di Ambon memang sedang terjadi kerusuhan hebat yang memakan korban ribuan nyawa. Dalam permohonannya, Salim tak lupa mencantumkan sejumlah pendapat para pakar di bidang hukum seputar keadaan darurat itu. Ia mengutip pendapat sejumlah profesor. Mulai dari Herman Sihombing, Kranenburg, sampai Oemar Senoadji. Pendapat Ketua MK Jimly Asshiddiqie juga tak luput dikutip.

 

Dalam keadaan demikian (keadaan darurat), yang haram menjadi halal, yang bukan hukum menjadi hukum, yaitu onrecht word recht. Sebaliknya yang semula haram menjadi halal, yang semula sah secara hukum menjadi tidak sah karena dalam keadaan yang luar biasa timbul hukum yang juga bersifat luar biasa atau abnormal recht in abnormal tijd, jelasnya mengutip buku Hukum Tata Negara Darurat karya Jimly.

 

Sebagai catatan, perbuatan Salim sebelumnya memang dianggap telah menimbulkan kerugian negara sekitar Rp600 juta. Kala itu, ia ditugaskan oleh Pemda Buru untuk mengadakan obat-obatan untuk korban kerusuhan dengan anggaran sekitar Rp1,4 Milyar. Ia pun membelanjakan uang tersebut di Jakarta sebesar Rp800 juta. Ia berdalih selisih Rp600 juta telah habis untuk membayar pajak dan biaya transportasi pengiriman obat-obatan itu dari Jakarta ke Ambon.  

 

Mendengar penjelasan pemohon ini, Majelis Panel Hakim Konstitusi mengaku sudah bisa memahami maksud pemohon. Meski, Menurut Hakim Konstitusi Mahfud MD permohonan ini sebenarnya sarat dengan mempersoalkan implementasi norma, yang bukan merupakan kewenangan MK.

 

Harjono memberi kesimpulan awal. Jadi yang saudara permasalahkan, kenapa Pasal 3 itu diterapkan saat berlakunya UU Darurat Sipil. Bukan mempersoalkan norma yang ada di Pasal 3 itu, tegasnya. Salim pun mengamini kesimpulan Harjono itu.

 

Tanpa advokat

Harjono menilai ada ketidaksesuaian antara yang diucapkan pemohon secara lisan dengan yang tertuang dalam permohonan. Karena, petitum permohonan meminta agar Pasal 3 UU Tipikor dinyatakan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. Beracara di MK itu ada aturannya. Tentu kalau ada advokat bisa lebih memperjelas maksud permohonan, ujarnya.

 

Salim sudah terlanjur kecewa dengan jasa advokat. Pengacara sudah rusak. Saya sudah diperas habis-habisan, ujarnya. Ia mengaku uangnya telah habis selama menjalani proses peradilan dari Pengadilan Negeri sampai tingkat kasasi. Bahkan, untuk Peninjuan Kembali yang baru diajukan sekitar dua bulan lalu, advokat tersebut meminta fee sebesar Rp 300 juta.     

 

Bila Salim keukeuh tak mau memakai jasa advokat, bisa jadi pemeriksaan permohonan ini akan terhambat. Pasalnya, Salim mengakui bahwa ia memang awam mengenai hukum. Ia justru meminta bantuan kepada hakim konstitusi. Mohon saya dibimbing, atas dasar kemanusian, pintanya.

 

Cantelan UUD Tak Tepat

Soal petitum yang tak sinkron dengan maksud pemohon sebenarnya memang menjadi sebuah persoalan. Namun, ada persoalan lain yang juga disinggung oleh para hakim konstitusi. Harjono mempersoalkan digunakannya Pasal 12, Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 22 ayat (1) yang dijadikan pemohon sebagai alat penguji Pasal 3 itu.

 

UUD 1945

Pasal 12

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

 

Pasal 18

(2)   Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(5)   Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat

(6)   Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

 

Pasal 22

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

 

Harjono menjelaskan pasal-pasal itu merupakan pengaturan terhadap Presiden dan pemerintahan daerah (pemda). Itu bukan hak anda, tetapi hak Presiden dan hak Pemda, tuturnya. Ia meminta agar pemohon mencari pasal lain yang menjamin hak konstitusionalnya. Ada baiknya anda konsultasi dengan pengacara, pintanya lagi.


Harjono menjelaskan pasal-pasal itu merupakan pengaturan terhadap Presiden dan pemerintahan daerah (pemda). Itu bukan hak anda, tetapi hak presiden dan hak Pemda, tuturnya. Ia meminta agar pemohon mencari pasal lain yang menjamin hak konstitusionalnya. Ada baiknya anda konsultasi dengan pengacara, pintanya lagi. 

Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) memang dahsyat. Sudah tak terhitung lagi koruptor yang harus masuk bui karena pasal tersebut. Meski begitu, ternyata ada juga orang yang mempersoalkan pasal ini. Dr Salim Alkatiri adalah orangnya. Terpidana kasus korupsi pengadaan obat-obatan Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, Ambon, ini menggugat pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).  

 

Salim meminta agar MK mengabulkan permohonannya, dan Menyatakan bahwa Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, ujar Mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buru ini membaca petitum permohonannya di ruang sidang MK, Senin (14/7).

 

Majelis Panel Hakim Konstitusi sedikit tersentak. Hakim Konstitusi Harjono pun mengingatkan pentingnya pasal ini bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kalau ini (Pasal 3) dihilangkan, maka pelaku korupsi di Indonesia tak bisa dihukum, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: