Wacana Pembubaran Ahmadiyah dan FPI: Dampaknya Terhadap Organisasi Masyarakat Sipil
Oleh: Anggara*)

Wacana Pembubaran Ahmadiyah dan FPI: Dampaknya Terhadap Organisasi Masyarakat Sipil

Tindakan pembubaran suatu organisasi masyarakat oleh Pemerintah akan membawa dampak terhadap keberadaan organisasi sipil lainnya.

Oleh:
Anggara
Bacaan 2 Menit
Wacana Pembubaran Ahmadiyah dan FPI: Dampaknya Terhadap Organisasi Masyarakat Sipil
Hukumonline

 

Organisasi masyarakat juga dapat dibekukan apabila organisasi masyarakat tidak berasaskan Pancasila, tidak menetapkan tujuan masing-masing sesuai dengan sifat kekhususannya, tidak mencantumkan Pancasila dalam pasal Anggaran Dasarnya, tidak mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, tidak menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,  dan tidak memelihara persatuan dan kesatuan bangsa

 

Sementara pembubaran ormas diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 jo Pasal 16 UU No. 8 Tahun 1985 dimana Pasal 14 mengatur apabila dalam pembekuan organisasi tersebut organisasi yang bersangkutan tetap menjalankan aktifitasnya sementara Pasal 15 mengatur bahwa Pemerintah dapat membubarkan suatu organisasi masyarakat apabila organisasi masyarakat itu tidak berasaskan Pancasila, tidak menetapkan tujuan masing-masing sesuai dengan sifat kekhususannya, tidak mencantumkan Pancasila dalam pasal Anggaran Dasarnya, tidak mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, tidak menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tidak memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya.

 

Peraturan pelaksanaan itu pembekuan dan pembubaran organisasi masyarakat diatur secara detail dalam PP No. 18 Tahun 1986 dalam BAB VII tentang Tata Cara Pembekuan dan Pembubaran dimana ada syarat-syarat pembekuan dan/atau pembubaran suatu organisasi masyarakat diantaranya melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau menerima bantuan pihak asing tanpa persetujuan Pemerintahan Pusat dan/atau memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara, dan menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme Leninisme serta ideologi, paham atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya, sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan.

 

Problem Pembekuan dan/atau Pembubaran Organisasi Masyarakat

Kegiatan-kegiatan yang dilarang dalam UU No. 8/1985 dan PP No. 18/1986 membawa justru dapat ditafsirkan secara meluas oleh pemerintah. Meski untuk pembekuan dan/atau pembubaran suatu organisasi tingkat nasional Pemerintah meminta pertimbangan dan saran dalam segi hukum dari Mahkamah Agung, namun Pemerintah Daerah kewajiban meminta pertimbangan dan saran malah meluas tidak hanya pertimbangan dan saran dari Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri tetapi juga pertimbangan dan saran dari instansi pemerintahan yang lain.

 

Keputusan pemerintah akan pembekuan dan/atau pembubaran suatu organisasi berdasarkan UU No. 8/1985 dan PP No. 18 Tahun 1986 jelas hanya berdasarkan keputusan politik pemerintah dan tentunya keputusan politik pemerintah akan sangat bergantung pada pertimbangan-pertimbangan politik semata-mata.

 

Selain itu keputusan pembekuan dan pembubaran suatu organisasi masyarakat melalui keputusan politik pemerintah justru menciderai semangat awal dari pembentukan suatu organisasi masyarakat yang dalam UU No. 8/1985 disebutkan sebagai sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia, mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam mewujudkan masyarakat Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

 

Selain itu ketentuan pembekuan dan pembubaran suatu organisasi masyarakat dalam UU No. 8/1985 dan PP No. 18/1986 tidak dapat ditemukan tujuan yang jelas dan sah untuk menjadi dasar yang sah bagi pemerintah untuk melakukan melindungi kepentingan yang dilindungi oleh hukum. UU No. 8/1985 dan PP No. 18 Tahun 1986 malah memberikan legitimasi secara hukum kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan hukum yang dapat dikategorikan suatu tindakan sewenang-wenang dan luar biasa yang diberikan legitimasi dalam peraturan perundang-undangan. UU No. 8/1985 dan PP No. 18/1986 juga telah melanggar ketentuan tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin dalam Perubahaan II UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

 

Selain itu penerapan UU No. 18/1985 dan PP No. 18/1986 dapat memberikan implikasi negatif terhadap iklim kemerdekaan berserikat dan berkumpul di Indonesia. Organisasi-organisasi advokasi HAM yang berbentuk perkumpulan/perhimpunan jelas akan terkena dampak dari pemberlakukan kedua ketentuan-ketentuan tersebut, karena itu pembekuan dan/atau pembubaran melalui keputusan politik pemerintah jelas harus ditentang oleh berbagai kalangan.

 

Perlunya Reformasi UU Organisasi Masyarakat

Meski UU No. 8/1985 dan PP No. 18/1986 memberikan kewenangan besar kepada pemerintah, namun masyarakat sipil perlu memikirkan ulang tentang keberadaan organisasi-organisasi masyarakat yang dalam aktifitasnya mengedepankan pendekatan kekerasan dapat dikenakan tindakan hukum yang proporsional dan pada saat yang sama organisasi-organisasi masyarakat yang melakukan aktifitas kemasyarakatan secara damai dapat dijamin keberlangsungan hidupnya.

 

Harus menjadi kesepakatan di antara kelompok-kelompok masyarakat sipil bagaimana tindakan porporsional dapat dijatuhkan kepada suatu organisasi tanpa mencederai semangat perlindungan kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Namun pendekatan pengambilan keputusan politik melalui tangan pemerintah dan DPR jelas harus ditolak.

 

Beberapa langkah perlu dipikirkan misalnya seperti apakah satu atau beberapa orang pengurus yang melakukan tindak pidana juga harus mempunyai akibat terhadap keberlangsungan organisasi? Atau, apakah pembekuan dan/atau pembubaran suatu organisasi masyarakat dapat diletakkan dalam tangan pengadilan?

 

Nah mari kita susun lagi UU Organisasi Masyarakat yang lebih mengedepankan aspek kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi Indonesia

 

-----

*) Tulisan ini adalah pandangan dan pendapat pribadi penulis dan bukan pandangan dan pendapat organisasi dimana penulis pernah dan/atau sedang bekerja. Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Advokat pada Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers). Saat ini tercatat sebagai anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), International Bar Association (IBA), dan International Media Lawyers Association (IMLA). Pengelola Blog beralamat di http://anggara.org

Organisasi masyarakat pada dasarnya adalah organisasi yang berbasiskan anggota dengan berdasarkan pada semangat kesukarelawanan untuk mencapai tujuan bersama. Karena itu pembentukan dan pembubaran dari suatu organisasi tentunya harus berdasarkan keinginan dari anggota dari organisasi tersebut. Maka tak heran, apabila banyak pegiat kemasyarakatan yang memilih bentuk perhimpunan dan/atau perkumpulan sebagai wadah atau badan hukum organisasinya.

 

Berkembangnya wacana pembubaran organisasi seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang disuarakan oleh beberapa kelompok masyarakat di Indonesia tentu harus disikapi secara kritis. Meski alasan-alasan pembubaran dari masing-masing organisasi berbeda, namun tindakan pembubaran suatu organisasi masyarakat oleh pemerintah akan membawa dampak negatif terhadap keberadaan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya di Indonesia

 

Secara umum organisasi masyarakat di Indonesia diatur melalui UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan PP No. 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No. 8 tahun 1985 yang mengatur secara detail keberadaan Organisasi Masyarakat di Indonesia. Selain itu Penpres No. 1 Tahun 1965 juga mengatur tentang pembekuan dan pembubaran suatu organisasi yang diduga melakukan penghinaan terhadap agama

 

Pembekuan suatu organisasi diatur dalam Pasal 13 jo Pasal 14 UU No. 8/1985 yang diantaranya suatu Organisasi dilarang untuk melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah, memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara

Tags: