Dilarang Mempertentangkan Kaidah Otonom dengan Heteronom
Berita

Dilarang Mempertentangkan Kaidah Otonom dengan Heteronom

Selain tidak boleh bertentangan, kaidah otonom juga tidak boleh menambah norma baru selain yang sudah diatur dalam kaidah heteronom.

Oleh:
IHW/M-3
Bacaan 2 Menit
Dilarang Mempertentangkan Kaidah Otonom dengan Heteronom
Hukumonline

 

Kaidah otonom dalam konteks hukum perburuhan biasa dikenal dengan Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Sementara kaidah heteronom diartikan sebagai  intervensi pemerintah dengan produk peraturan perundang-undangannya. Kedudukan para pihak (buruh-majikan, red) dalam hukum perburuhan tidak seimbang. Oleh karena itu, pemerintah harus menyeimbangkannya, Widodo berujar.

 

Kewajiban agar kaidah otonom tidak bertentangan dengan kaidah heteronom, kata Widodo, tertuang tegas dan tersebar di beberapa Pasal di dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

UU Ketenagakerjaan

Pasal 54 Ayat (2) :

Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pasal 111 Ayat (2) :

Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pasal 124 Ayat (2) :

Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pasal 124 Ayat (3) :

Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

 

 

Lebih jauh Widodo berpendapat, setiap perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau PKB wajib dilaporkan ke instansi ketenagakerjaan setempat. Nantinya, Depnakertrans atau Disnakertrans yang meneliti apakah kaidah otonom itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau tidak.

 

Tidak Boleh Ditambah

Terhadap penjelasan Widodo, Tyas W. Nugrohoyekti, kuasa hukum Bank Mandiri di persidangan bertanya seputar boleh tidaknya penambahan ketentuan di dalam kaidah otonom meski sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Tyas mencontohkan mengenai penambahan syarat atau kriteria kesalahan berat yang bisa dipakai untuk memecat buruh secara seketika tanpa keharusan memberi peringatan terlebih dulu. Misalkan kesalahan berat dimana pekerja merokok, padahal lingkungan kerjanya sangat rentan dan berbahaya jika ada api. Contohnya pegawai di SPBU lah, ia mencontohkan.

 

Kesalahan berat, jelas Widodo, pada prinsipnya sudah diatur dalam Pasal 158 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Paling tidak, ada 10 jenis kesalahan berat yang disebut dalam pasal itu. Ketika Mahkamah Konsitusi membatalkan pasal itu, sambung Widodo, pandangan akademisi dan praktisi hukum menjadi terbelah dalam memandang kesalahan berat. Ada yang menyatakan pasal itu tidak berlaku lagi, ada juga yang masih menggunakannya sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Saya sendiri sependapat dengan pandangan yang kedua.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, pandangan PHI Jakarta memang belum seragam atas perkara PHK karena kesalahan berat. Ada yang manut dengan putusan MK, ada juga yang sebaliknya.

 

Dalam konteks PKB maupun peraturan perusahaan, masih menurut Widodo, perusahaan dibolehkan mengadopsi ketentuan eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan itu. Meski begitu, Widodo berpendapat bahwa penambahan jenis atau kriteria kesalahan berat selain yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tidak dibolehkan.

 

Widodo punya argumentasi sendiri untuk menolak penambahan norma di dalam kaidah otonom. Menurutnya, jika penambahan norma dimungkinkan, kedudukan buruh-majikan akan semakin jomplang. Nanti pengusaha seenaknya sendiri memasukan semua kesalahan menjadi kesalahan berat, sehingga pengusaha bisa langsung melakukan PHK, demikian Widodo.

Demikian diungkapkan Widodo Suryandono, pengajar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia di hadapan majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Kamis (12/6). Widodo didaulat sebagai ahli untuk memberikan keterangan dalam perkara perselisihan PHK antara Bank Mandiri melawan Mirisnu Viddiana.

 

Mirisnu Viddiana yang akrab dipanggil Viddi adalah Ketua Umum Serikat Pegawai Bank Mandiri (SPBM) yang tersandung masalah hukum dengan Bank Mandiri. Bank plat merah itu mengajukan gugatan untuk mem-PHK Viddi lantaran dianggap bertanggungjawab atas aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 1600 pegawai pada 4 Agustus 2006 lalu.

 

Bank Mandiri menganggap tindakan Viddi memimpin dan mengorganisir unjuk rasa menjatuhkan citra perusahaan dan tidak menghormati perusahaan adalah kesalahan berat. Bank Mandiri berpedoman pada Peraturan Disiplin Kepegawaian. Peraturan ini mengatur mulai dari disiplin pegawai, hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pegawai, hingga pemberian sanksi bagi pegawai yang melanggar.

 

Di sisi lain kuasa hukum Viddi berpandangan sebaliknya. Unjuk rasa bukan kesalahan berat dan unjuk rasa itu juga tidak terbukti telah membuat nama buruk perusahaan. Buktinya, tidak ada rush dan kerugian yang dialami Bank Mandiri, cetus Saepul Tavip, kuasa hukum Viddi. Boleh jadi, Tavip merujuk pada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tidak mengkualifisir aksi unjuk rasa sebagai kesalahan berat.

 

Perbedaan cara pandang antara Bank Mandiri dan Viddi ini semakin mencuat di persidangan. Untuk menguatkan argumentasinya, kubu Viddi kemudian menggandeng Widodo untuk menjadi ahli di persidangan.

 

Tidak Boleh Bertentangan

Di persidangan, Widodo mengungkapkan kewajiban agar kaidah otonom harus tunduk kepada kaidah heteronom. Bahkan, kaidah otonom juga tidak boleh mengatur suatu hal yang sudah dijelaskan secara rinci dalam kaidah heteronom.

Halaman Selanjutnya:
Tags: