Inkonstitusional atau Salah Penerapan?
Pengujian Hatzaai Artikelen

Inkonstitusional atau Salah Penerapan?

Di banyak negara, sanksi pidana untuk pelaku pencemaran nama baik masih tetap eksis. Pemohon berdalih masih ada jalur lain, perdata.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Inkonstitusional atau Salah Penerapan?
Hukumonline

 

Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan ikut angkat bicara. Menurutnya, baik sanksi pidana atau sanksi denda maupun jalur gugatan perdata hanya merupakan pilihan kebijakan bagi pembentuk undang-undang. Selama konstitusi tak melarang itu (sanksi pidana,-red) berarti kan tak masalah, tuturnya.

 

Inkonstitusional atau Salah Menerapkan

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyoroti dari sisi berbeda. Ia mempertanyakan yang dipersoalkan pemohon, inkonstitusionaliltas norma atau hanya salah penerapan norma dalam praktek saja. Kedua hal ini sangat berbeda. Kalau mempersoalkan inkonstitusionalitas norma berarti yang jadi 'terdakwa'-nya adalah UU, ujarnya. Sedangkan, kesalahan penerapan norma dalam praktek, yang menjadi terdakwa adalah pelaksana UU. Persoalannya, apakah norma yang salah atau hakim dan jaksa yang menerapkan norma yang salah, tambah Natabaya.

 

Implikasi dari pertanyaan kedua hakim ini memang bisa sangat berbeda. Kalau, memang normanya bermasalah, maka jalur uji materi ke MK merupakan langkah yang tepat. Tapi, kalau hanya ada kesalahan menerapkan norma, seharusnya pemohon tak membawanya ke MK.

 

Sebagai catatan, salah satu pemohon, mantan Pemimpin Umum dan Wartawan Harian Radar Yogya harus menerima hukuman enam bulan karena terbukti melakukan tindak pidana menista dengan tulisan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Putusan ini terkait pemberitaan kasus pelecehan seksual oleh Direktur Utama Harian Kedaulatan Rakyat Soemadi M Wonohito terhadap karyawannya.

 

Meski para hakim konstitusi seperti sudah mengemukakan pendapatnya masing-masing mengenai perkara ini, tapi belum bisa mencerminkan putusan yang dikeluarkan MK. Proses persidangan masih panjang. Yang diungkapkan oleh para hakim konstitusi juga hanya berupa saran. Palguna mengatakan bahwa hakim hanya mengingnkan agar permohonan ini menjadi jelas. Agar perkara ini tak sia-sia. Kalau permohonan tak jelas, nanti bisa di NO (tidak dapat diterima), ujarnya memberi alasan mengapa hakim konstitusi mengkritisi isi permohonan pemohon.

Sidang perdana pengujian sisa pasal hatzaai artikelen dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh jurnalis Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis baru saja dimulai. Agendanya pun masih sidang pemeriksaan pendahuluan. Tapi arah perdebatan sudah mulai terlihat. Tampak kuasa hukum pemohon dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers gelagapan menjawab pertanyaan majelis pleno yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi HAS Natabaya.

 

Yang menjadi sasaran Natabaya adalah pasal yang mengatur delik pencemaran nama baik dalam KUHP. Yaitu, Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), serta Pasal 316. Pemohon memang mengajukan uji materi terhadap ketiga pasal ini. Satu lagi adalah Pasal 207. Pasal yang direquest oleh Bersihar Lubis ini luput dari cecaran Natabaya. Mungkin karena pasal-pasal sejenis sudah dinyatakan tak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Natabaya mengkritik pemohon yang ingin menghilangkan sanksi pidana terkait delik pencemaran nama baik tersebut. Masak nanti sanksinya hanya denda, ujarnya di MK, Kamis (22/5). Di banyak negara, lanjut Natabaya, delik pencemaran nama baik masih tetap eksis. Sanksinya pun pidana penjara. Sebelumnya, LBH Pers memang mengaku kliennya sengaja membidik sanksi pidana dalam pasal pencemaran nama baik itu dan meninggalkan sanksi denda. Alasannya, karena sanksi denda dalam KUHP masih bisa dijangkau.

 

Rujukan pemohon yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat serta menyampaikan informasi yang dijamin Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F juga tak luput dari kritikan Natabaya. Ia mengkritik konstruksi berpikir pemohon yang menganggap hak konstitusionalnya menyampaikan pendapat dan informasi hilang dengan adanya sanksi pidana dalam ketiga pasal pencemaran nama baik itu. Setiap orang boleh mengeluarkan pendapat, tapi kalau menyinggung orang lain bisa dikenakan sanksi. Baik pidana maupun perdata, ujarnya.

 

Sedangkan, Koordinator Pembela LBH Pers Anggara tak sependapat dengan Natabaya. Menurutnya sanksi tetap diperlukan, tetapi bukan sanksi pidana. Selain, sanksi denda dalam KUHP, masih ada satu jalur lagi yang bisa ditempuh bagi orang yang merasa dicemarkan. masih ada mekanisme (gugatan) perdata, ujarnya. 

Tags: