Susahnya 'Mengadili' Mahkamah Agung
Biaya Perkara:

Susahnya 'Mengadili' Mahkamah Agung

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara belum tentu membuahkan hasil positif. Mengundang KPK untuk turun tangan juga terkesan sia-sia.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Susahnya 'Mengadili' Mahkamah Agung
Hukumonline

 

Dari segi keberlakuan, PP ini juga dinilai tidak cukup andal. Kalau PP ini tidak bisa berlaku surut malah akan memutihkan dugaan penyelewengan biaya perkara pada tahun-tahun sebelumnya, Febri berkomentar. Ini luar biasa berbahaya, sambungnya.

 

Dalam situasi seperti ini, lampu hijau untuk SKLN menyala terang lagi. Sebenarnya posisi BPK cukup kuat untuk membawa masalah ini ke MK melalui SKLN. Soal apakah akan dikabulkan atau tidak, itu bukan persoalan hukum murni, kata Refly Harun, pengamat tata negara.

 

Menurut Rafly,  Pasal 3 ayat (1) Peraturan MK No. 8/PMK/2006 bisa dijadikan senjata oleh BPK. Di situ dinyatakan, pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain. Di sini, MA telah menghalangi dan mengabaikan kewenangan BPK untuk mengaudit biaya perkara, jelasnya.

 

Namun, Peraturan MK itu bisa tidak berarti apa-apa jika MA berlindung di balik Pasal 65 UU MK. Dalam kondisi demikian, Febri mendesak agar MK membatalkan sendiri Pasal 65 itu. Presedennya sudah ada, terangnya. Yaitu ketika pada 12 April 2005 MK membatalkan sendiri Pasal 50 UU MK karena mereduksi kewenangan MK yang diberikan konstitusi.

 

Jika ternyata MK tidak melakukan langkah itu, bisa-bisa MA menjadi lebih imun. Sungguhpun BPK bisa memanfaatkan Peraturan MK No. 8/PMK/2006 untuk berseteru di SKLN, MA bisa mendisfungsikan peraturan itu. Secara hierarkis, jelas, Peraturan MK berada di bawah UU MK. Tidak tertutup kemungkinan, MA akan berdalih terdapat conflict of law antara Pasal 2 ayat 3 PMK dengan Pasal 65 UU MK.

 

Untuk membuktikan ada tidaknya pertentangan hukum itu bisa saja kelak ada orang yang mengajukan judicial review ke MA. Atap seluruh peradilan ini memang diberi kewenangan menguji materiilkan peraturan di bawah UU terhadap UU. Hampir bisa dipastikan MA akan bilang bahwa  Pasal 2 ayat 3 PMK bertentangan dengan Pasal 65 UU MK. Jika ini terjadi, tamatlah dasar hukum untuk membawa MA ke ajang SKLN di MK.

 

Anggota BPK Baharuddin Aritonang mengakui, persoalan ini tidak sesederhana yang disangka orang. Mengenai SKLN, kami pikir-pikir dulu, ujarnya. Menurut mantan anggota MPR yang turut menggodok amandemen UUD 1945 ini, jalan terbaik adalah melalui pendekatan persuasif agar kedua pihak memahami tugas masing-masing.

 

Febri justru lebih sreg membawa masalah ini ke jalur 'represif'. Menurutnya, KPK bisa turun tangan tanpa menunggu laporan dari masyarakat. Mengacu kepada Pasal 11 (a) dan (b) UU No. 30 tahun 2002, KPK dapat mengusut korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggaraan negara dan meresahkan masyarakat. Tentu yang diusut adalah person, bukan lembaganya, Febri menjelaskan.

 

Berdasarkan hitungan ICW, selama empat tahun terakhir saja biaya perkara yang berdiam di MA sebesar Rp31,1 miliar. Nah, empat unsur korupsi bisa didapatkan dari temuan itu, meskipun ICW tidak menunjuk hidung orang yang paling bertanggung jawab.

 

Unsur melawan hukum dapat terpenuhi karena orang ini mengelola biaya perkara tidak berdasarkan asas pengelolaan keuangan negara. Selain itu, ia tidak memenuhi kewajiban mengembalikan sisa biaya perkara kepada pihak yang berhak. Ia juga melanggar beberapa Undang-Undang, seperti UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

 

Unsur menyalahgunakan kewenangan atau jabatan, juga ada. Di antaranya mengatur pengelolaan biaya perkara secara tidak transparan dan menghambat BPK menjalankan tugasnya. Unsur ketiga, memperkaya diri sendiri atau orang lain, bisa terpenuhi berdasarkan temuan awal BPK. Yaitu rekening atas nama Bagir Manan senilai Rp7,45 miliar, ujar Febri.

 

Unsur korupsi yang terakhir, merugikan keuangan negara, bisa dipenuhi dengan menghitung besarnya potensi PNBP yang hilang dan potensi penerimaan lain yang berkurang. Belum ada reaksi dari MA perihal wacana ini. Dihubungi lewat telepon Rabu, juru bicara MA Djoko Sarwoko belum bersedia berkomentar. Saya sedang rapat, tuturnya.

 

Yang jelas, kalau benar KPK turun tangan, hasil penyidikannya akan dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Seperti kasus-kasus korupsi lainnya, putusan Pengadilan Tipikor akhirnya digotong juga ke MA melalui upaya hukum kasasi atau Peninjauan Kembali. Pada akhirnya para hakim agung di MA yang membuat putusan finalnya. Seperti jeruk makan jeruk, cetus Refly.

 

Memangnya gampang 'mengadili' Mahkamah Agung?

 

Keagungan Mahkamah Agung (MA) terus digugat. Ini karena lembaga yang disopiri Bagir Manan ini selalu berkelit dari kejaran badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berinisiatif mengaudit biaya perkara. Sikap demikian dinilai sebagai bukti bahwa MA lebih gandrung dengan budaya ketertutupan. Reformasi birokrasi di MA sangat lambat, teriak peneliti Indonesian Corruption Watch Febri Diansyah, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (7/5).

 

Sebenarnya banyak kiat yang bisa dijajal untuk 'menginsafkan' MA. Satu yang sudah terdengung sejak September tahun lalu adalah mengoper persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). BPK mesti bergelut melawan MA di ajang Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN).

 

Usulan agar BPK dan MA menyelesaikan perselisihan mereka ke MK sudah lama didengungkan, terutama menyangkut audit biaya perkara. Tetapi hingga sekarang langkah ke arah itu belum pasti. Biarpun menurut Pasal 65 UU No 24 Tahun 2003 MA tidak bisa menjadi pihak dalam SKLN, tapi ada celah yang bisa ditembus, yaitu Peraturan MK No. 8/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Pasal 2 ayat 3 PMK itu menyatakan, MA tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon maupun termohon, dalam sengketa teknis peradilan. Artinya, kalau tidak berkaitan dengan teknis yustisial, MA bisa saja menjadi pihak dalam SKLN, kata Febri.

 

Tapi lampu hijau yang dinyalakan itu sempat meredup tatkala Anwar Nasution dan Bagir Manan diislahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, persis di bulan Ramadan yang penuh ampunan, dicapai kesepakatan: persoalan ini akan dibereskan dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP).

 

Belakangan publik memirsa, deal antara Anwar dan Bagir itu cuma berlangsung sekejap. Keduanya langsung duel lagi. PP, yang akan menentukan apakah biaya perkara di MA termasuk PNBP atau tidak, nyatanya tidak jelas jejaknya. Kalaupun dalam waktu dekat ini benar-benar diterbitkan, Anwar kadung menyumpahi PP itu tak bakal berguna. Dengan begitu, BPK hanya akan menganggapnya sebagai macan kertas saja.

Halaman Selanjutnya:
Tags: