KPK Temukan Sejumlah Aturan di BI yang Koruptif
Skandal Dana BI:

KPK Temukan Sejumlah Aturan di BI yang Koruptif

KPK menyisir sejumlah peraturan internal BI yang bernuansa koruptif. Komisi ini minta peraturan-peraturan koruptif itu diubah. Bank sentral bisa saja berdalih, peraturan internal muncul sebagai dampak independensi BI yang dilegalkan UU.

Oleh:
Sut/Mon
Bacaan 2 Menit
KPK Temukan Sejumlah Aturan di BI yang Koruptif
Hukumonline

Kisah aliran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR dan mantan pimpinan BI terus bergulir. Kini, cerita itu menyerempet peraturan internal Dewan Gubernur BI. Ternyata, dari hasil pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap beberapa pejabat dan mantan pejabat otoritas moneter itu, ditemukan sejumlah peraturan internal yang bernuansa koruptif.

 

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Mochammad Jasin mengungkapkan, setidaknya ada tiga peraturan yang sedang disasar. Ketiga peraturan itu adalah Peraturan Dewan Gubernur (PDG) No. 4/13/PDG/2002 tentang Perlindungan Hukum Dalam Rangka Kedinasan Bank Indonesia. Lalu PDG No. 8/18/PDG/2006 tentang Perjalanan Dinas Anggota Dewan Gubernur BI, dan PDG No. 4/14/PDG/2002 tentang Manajemen Logistik BI.

 

Syahdan, laskar anti korupsi itu sudah mencium aroma korupsi pada peraturan internal BI sejak dua tahun silam. Waktu itu, kata Jasin, KPK meminta BI untuk mengkaji ketiga aturan tadi. Pasalnya, aturan internal itu diduga rawan korupsi. Agar tidak berlarut-larut, maka dibuatlah nota kesepahaman antar dua institusi tersebut pada 2006 silam. Dalam kesepahaman itu, BI bersedia merevisi sejumlah pasal dalam PDG yang bernuansa koruptif. Ternyata, hingga kini bank sentral belum merealisasikan isi nota kesepahaman.

 

KPK kecewa. Bertepatan dengan pemeriksaan kasus aliran dana BI, KPK kembali mengungkap hasil temuan tersebut. Pekan lalu, Jasin menyambangi markas BI di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Jasin yang diterima oleh Deputi Senior Gubernur Miranda S. Goeltom, serta Deputi Gubernur Ardhayadi dan Muliaman D. Hadad mengungkit kembali beleid yang bernuansa koruptif. 

 

Pertemuan itu akhirnya menyepakati pembentukan tim gabungan (KPK dan BI) yang akan memperbaiki sejumlah aturan multitafsir di BI. Tim itu sekarang sudah terbentuk, kata Direktur Hukum BI Ahmad Fuad kepada hukumonline. Selain menyisir pasal dalam PDG yang menyimpang, Tim ini akan membahas data nasabah terpadu. Sekedar informasi, data nasabah diperlukan KPK guna mengetahui account orang-orang yang terindikasi korupsi.

 

BI sendiri, sambung Ahmad, dalam pertemuan itu telah menjelaskan maksud dibentuknya ketiga PGD tersebut. Ahmad mengaku kecewa atas pernyataan Jasin di sejumlah media yang terkesan menyudutkan BI. Seolah-olah pernyataan KPK yang beredar di media masa menunjukan bahwa kami belum menjelaskannya. Padahal kami sudah terangkan dengan jelas kepada mereka (KPK, red), tuturnya.

 

Peluangnya Besar

Jika dicermati, ketiga PDG itu memang terkesan membuka peluang terjadinya korupsi. PDG No. 4/13/PDG/2002, misalnya. Dalam peraturan itu, BI seakan memberi perlindungan bagi pegawainya yang tersangkut masalah hukum. BI mengupayakan agar pegawainya tak ditahan dengan mengucurkan dana, ujar Jasin. Padahal, kata dia, praktek itu berpeluang untuk dikenai pasal gratifikasi dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi –UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Aturan internal lainnya yang menyimpang mengenai perjalanan dinas pejabat BI. Menurut Jasin, peraturan seperti itu rawan terhadap penyalahgunaan keuangan negara. Soalnya, kata dia, dalam PDG No. 8/18/PDG/2006 itu, disebutkan Dewan Gubernur bisa mengikutsertakan suami atau istri sesuai kebutuhan protokoler saat perjalanan dinas. Jadi, banyak pasal yang kita identifikasi dari perjalanan dinas, frekuensinya, siapa yang melakukan perjalanan dinas, boleh ngajak keluarga atau tidak, itu kan harus di-breakdown secara jelas, tuturnya.

 

Sebelumnya, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pernah menyampaikan hasil temuannya ke KPK tentang inefisiensi anggaran di BI. Berdasarkan data Central for Local Government Reform (Celgor), sepanjang tahun 2006-2007, total inefisiensi anggaran di BI lebih dari Rp44 miliar.

 

Kejanggalan juga ditemui KPK saat membelejeti satu per satu pasal dalam PDG No. 4/14/PDG/2002 tentang Manajemen Logistik BI. Yasin mencontohkan, ada pasal yang membolehkan BI menerima diskon atau harga khusus dari rekanan. Beleid itu, lanjutnya, membuat pengadaan barang dan jasa di bank sentral menjadi tidak wajar. Ini kan tidak boleh!, tegasnya. Jangan mengharapkan diskon, bisa jadi diskon itu mengalirnya ke individu, personil atau pegawai BI, jelasnya.

 

Ia menilai, peluang korupsi terjadi apabila pelaksana proyek menggelembungkan dana sebelum memberikan diskon. Padahal pengadaan barang dan jasa punya prinsip mencari harga termurah dengan mutu tetap tinggi. Pokoknya hal-hal yang menimbulkan peluang korupsi akan kita perbaiki, termasuk indikasi pemberian DPR, bisa saja kami stop, tandas Jasin.

 

Independensi Bank Sentral

Lalu, kenapa juga BI bisa semena-mena membuat aturan? Usut punya usut, pembuatan peraturan internal BI yang 'kebablasan' itu bisa jadi akibat pengaruh independensi dari bank sentral itu sendiri. Sebagai lembaga yang independen, BI merasa cuek-cuek saja membuat peraturan internal, asalkan menguntungkan bagi lembaganya.

 

Sekedar mengingatkan, independensi BI diatur oleh UU No 3/2004 tentang Perubahan Atas UU No 23/1999 tentang BI. Pasal 4 ayat (2) menyebutkan, BI adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini.

 

Sebagai lembaga yang independen, BI tentu mempunyai otonomi penuh dalam pelaksanaan tugasnya. Alasannya, secara struktural BI berada diluar pemerintah. Akibatnya, otoritas moneter itu bisa mengeliminir adanya intervensi terhadap pelaksanaan tugas BI, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain.

 

Salah satu bagian yang menonjol soal independensi BI ini bisa dilihat dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 9 UU No 23/1999. Kedua beleid itu jelas memberikan keleluasaan bagi BI untuk mengatur masalah eksternal dan internal. Pasal 1 angka 8 menjelaskan soal Peraturan BI (PBI) sedangkan Pasal 1 angka 9 mengemukakan tentang PDG. 

 

UU No 23/1999 Pasal 1

Angka 8

Peraturan Bank Indonesia adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;

 

Angka 9

Peraturan Dewan Gubernur adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur yang memuat aturan-aturan intern antara lain mengenai tata tertib pelaksanaan tugas dan wewenang Dewan Gubernur, kepegawaian, dan organisasi Bank Indonesia;

 

 

Penetapan PBI dan PDG itu merupakan bentuk independensi dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas BI. Dengan begitu, intervensi dari pemerintah atau pihak lain melalui perundang-undangan bisa dinafikan

 

Sanking independennya, UU No 23/1999 membolehkan BI untuk memberi sanksi yang sangat keras bagi para pelanggarnya. Misalnya, pelanggaran terhadap larangan untuk melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI diancam dengan pidana penjara minimal dua tahun dan maksimal lima tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp2 miliar dan paling banyak Rp5 miliar (Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 68) .

 

Sedangkan bagi anggota Dewan Gubernur dan/atau pejabat BI yang tidak menolak adanya campur tangan pihak lain diancam dengan pidana penjara dua tahun dan paling lama lima tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp2 miliar dan paling banyak Rp5 miliar (Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 69).

 

Pengamat ekonomi Barno Sudarwanto dalam tulisannya menjelaskan, sebagai lembaga negara yang independen, BI mempunyai kedudukan yang khusus dalam struktur ketatanegaraan RI. Kedudukan BI tidak sejajar dengan MPR, DPR, MA, BPK atau presiden yang merupakan lembaga tinggi negara, papar alumnus Magister Manajemen Universitas Gajah Mada ini. Di samping itu, kata dia, kedudukan BI juga tidak sama dengan departemen, karena BI berada diluar pemerintah.

 

Celakanya, independesi BI itu bisa saja disalahgunakan. Seorang pejabat BI yang tak mau disebutkan namanya, mengakui kuatnya independensi di BI. Namun, katanya, perancangan berbagai peraturan eksternal maupun internal di BI, ditujukan untuk kestabilan moneter nasional. Nanti, kalau terjadi krisis kita lagi yang disalahkan, celetuknya. 

 

Pendapat pejabat BI itu tentu saja tidak sepenuhnya benar. Barno mengatakan, meski bekerja secara independen, namun BI dituntut untuk lebih transparan dan bertanggung jawab.
 
Transparansi dan akuntabilitas ini untuk pertanggungjawaban kepada publik, imbuhnya. Tinggal bagaimana sekarang niat pemerintah dan Dewan Gubernur BI menerapkan ketentuan tersebut di lapangan, tandasnya.
Tags: