Mengatur Hacking hingga HKI
UU ITE:

Mengatur Hacking hingga HKI

Dilarang mendistribusikan informasi elektronik yang melanggar kesusilaan, mengandung muatan perjudian, penghinaan dan pengancaman.

Oleh:
Her/Ycb
Bacaan 2 Menit
Mengatur <i>Hacking</i> hingga HKI
Hukumonline

 

UU ITE pada dasarnya mengatur penggunaan informasi dan transaksi elektronik yang dilakukan dengan menggunakan komputer atau media elektronik lainnya lainnya. Yang tergolong informasi dalam UU ini tak terbatas pada tulisan, gambar atau suara, tapi juga e-mail, telegram dan lainnya.

 

Jangkauan UU ini sangat luas. Sebagaimana tercantum di Pasal 2, UU ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar negeri, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia. Bahkan, tindakan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia yang merugikan kepentingan Indonesia juga menjadi lingkup UU ini.

 

Karena transaksi ini sifatnya lintas negara, keberlakuan UU ini memang harus begitu, kata Edmon Makarim, Direktur Lembaga Kajian Hukum dan Telematika. Karena itu, ia mencontohkan, masyarakat Indonesia bisa saja menggugat pemilik Yahoo jika isi e-mail yahoo-nya 'dibocorkan' ke mana-mana.

 

Jika terjadi hal seperti itu, tentu saja dibutuhkan alat bukti elektronik yang diakui UU. Dan, UU ini memang mengaklamasikan keabsahan penggunaan alat bukti elektronik. Pasal 5 ayat 2 UU ini mengatakan, informasi elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara di Indonesia.

 

Tapi ketentuan itu tidak berlaku untuk surat yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk tertulis. Selain itu juga tidak berlaku untuk surat beserta dokumennya yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

 

Meski ada perkecualian seperti itu, infomasi atau dokumen elektronik tetap dimungkinkan pemakaiannya. Syaratnya, 'duplikasi' dokumen itu memuat informasi yang bisa diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

 

Ancaman Berat

Selain dibenci, hacker juga perlu disayangi. Kurang lebih seperti itulah pandangan pakar telematika Onno W Purbo. Dalam sebuah artikel yang mengulas RUU ITE tujuh tahun silam, ia mengatakan, kegiatan hacking adalah sesuatu yang sangat positif dan akan mengembangkan TI kepada tahapan yang lebih maju.

 

Pembuat RUU Teknologi Informasi gagal menyelami kehidupan dunia maya yang pada dasarnya lebih banyak mengikatkan diri pada unwritten law antar player & pelakunya, tandas Onno, waktu itu. Sayang, hingga berita ini diturunkan, HP-nya susah dihubungi.

 

Onno memang tak sekedar omong. UU ITE benar-benar memberi ancaman berat kepada para hacker. UU ini merinci berbagai jenis ulah hacker yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.

 

Sebagai contoh, bila seseorang melakukan penyadapan, kemudian menghilangkan suatu informasi elektronik, ia bisa dipidana maksimal 10 tahun dan/atau denda Rp800 juta. Hal ini ditegaskan di Pasal 31 dan Pasal 47.

 

Tapi, kegiatan hacking bisa dibenarkan. Pasal 31 ayat 3 UU ini mengatakan, intersepsi atau penyadapan dibolehkan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau penegak hukum lainnya.

 

Selain hacker, yang patut was-was dengan kehadiran UU ini adalah pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik. Pasal 9 UU ini menegaskan, pelaku usaha harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar. Informasi itu di antaranya syarat kontrak, profil produsen dan produk yang ditawarkan. Dengan demikian, pengusaha toko online tak bisa semau gue menjajakan dagangannya di dunia maya.

 

Yang agak aneh, UU ini sebenarnya hendak menyelenggarakan suatu sertifikasi bagi pelaku usaha online. Namun, pemerintah sekedar menganjurkan, bukan mewajibkan. Pasal 10 ayat 1 menyatakan, setiap pelaku usaha dapat disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan.

 

Dulu perdebatannya cukup panjang. Akhirnya disepakati seperti itu, kata Soeparlan. Politikus PDIP ini menegaskan, sertifikasi memang tidak wajib, tetapi memanipulasi informasi diancam hukuman berat. Berdasarkan Pasal 51, pelakunya bisa dijatuhi hukuman maksimal 12 tahun penjara atau denda Rp12 Miliar.

 

HKI

Yang tak kalah penting, UU ini juga memperluas pengertian hak karya intelektual (HKI). Pasal 25 UU ini menyebutkan, situs internet dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai HKI.

 

UU ini juga hendak memerangi penyalahgunaan identitas orang lain. Misalnya, Pasal 26 menyatakan, penggunaan data pribadi seseorang mesti dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.

 

Bagaimana dengan pendistribusian informasi-informasi yang mengandung gambar anonoh? Jelas, UU ini tidak mau kompromi. Demikian juga terhadap pendistribusian informasi yang mengandung muatan perjudian, penghinaan dan pemerasan atau pengancaman. Larangan ini tertuang di Pasal 27. Adapun sanksinya, sebagaimana tertulis di Pasal 45, adalah pidana penjara maksimal enam bulan atau denda Rp1 Miliar.

 

Tapi tulisan lewat e-mail itu tidak termasuk. Yang dimaksudkan di sini penyebaran kepada orang banyak, jelas Soeparlan.

 

Penyidik Khusus

Karena tindak pidana yang diatur UU ini adalah tindak pidana khusus, maka diperlukan penyidik yang khusus pula. Pasal 43 UU ini menyatakan, selain polisi, wewenang penyidikan berada di pundak Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Meski tak terang-terangan menyebut Depkominfo, UU ini menjabarkan bahwa PPNS itu berasal dari lingkungan pemerintah yang bertugas di bidang TI dan Transaksi Elektronik.

 

Sekarang pemerintah harus mempersiapkan infrastrukturnya, termasuk SDM, cetus Soeparlan. Tapi ia menambahkan, kerja PPNS ini sekedar membantu kepolisian.

 

Dalam melakukan penggeledahan atau penyitaan, PPNS ini mesti mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Demikian juga dalam melakukan penangkapan dan penyidikan. Selain berkoordinasi dengan kepolisian, PPNS ini dapat bekerja sama dengan penyidik dari negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.

 

Yang menarik, salah satu wewenang PPNS, demikian isi Pasal 43 ayat 5 huruf (f), adalah meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan. Ahli yang dimaksud di sini tentu saja adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang TI. Namun tak cuma itu. Penjelasan pasal tersebut menyatakan, pengetahuan seorang ahli itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademis maupun praktis.

 

Penyelesaian Sengketa

Dari ketentuan Pasal 2 sudah tampak, UU ini didesain untuk dapat menjadi payung hukum bagi perselisihan hukum yang lintas negara. Karena itu, dalam hal terjadi sengketa, UU ini menekankan diberlakukannya asas hukum perdata internasional.

 

Soal kontrak elektronik lintas negara diatur dalam Pasal 18. Ditegaskan di sana, para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi yang dibuatnya. Jika para pihak tidak secara spesifik melakukan pilihan hukum, maka yang diberlakukan adalah hukum yang berazaskan hukum perdata internasional.

 

Jika timbul sengketa, para pihak juga memiliki kewenangan menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembga penyelesaian sengketa lainnya. Dan, jika para pihak tak menetapkan pilihannya, lagi-lagi yang berperan adalah pengadilan, lembaga arbitrase atau lembaga lainnya yang menerapkan azas hukum perdata internasional.

 

Bagaimana jika ada segolongan masyarakat yang merasa dirugikan oleh penyelenggara sistem TI? UU ini memiliki bab khusus soal penyelesaian sengketa. Bab VIII itu mengatur mekanisme pengajuan gugatan, baik secara individual maupun perwakilan.

 

Gugatan kelompok atau biasa dikenal dengan class action, dinaungi oleh Pasal 38 ayat 2. Di situ dinyatakan, masyarakat dapat mengajukan gugatan perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik yang berakibat merugikan masyarakat.

 

Sepuluh PP

Dalam dua tahun ke depan, demikian amanat Pasal 54 UU ini, pemerintah dibebani untuk menggarap sepuluh Peraturan Pemerintah (PP). UU ini sifatnya masih umum. Sepuluh PP itu harus disiapkan pemerintah untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci, jelas Soeparlan.

 

Yang perlu diatur di PP adalah ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan. Berikutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai tanda tangan elektronik. Hal lain yang perlu diatur dengan PP ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggara Sertifikat Elektronik.

 

Selain itu, yang perlu diatur di PP adalah ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Berikutnya adalah penyelenggaraan transaksi elektronik. Juga penyelenggara agen elektronik tertentu. Tidak hanya itu, ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain juga perlu diatur di PP.

 

Hal lain yang perlu diatur di PP ialah ketentuan lebih lanjut mengenai intersepsi atau penyadapan data elektronik yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Di samping itu, peran pemerintah dalam pemanfaatan TI juga perlu diatur di PP.

 

Menurut Soeparlan, UU ini masih memiliki beberapa celah. Meski demikian, ia berharap UU ini dapat implementatif. Aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim harus membaca UU ini, selorohnya.

Harap-harap cemas praktisi dan pakar Teknologi Informasi (TI) berakhir pukul 11.57 WIB, Selasa (25/3). Pada saat itulah palu Ketua DPR Agung Laksono, akhirnya terayun dan jatuh ke meja pimpinan DPR. Dengan ini disahkan menjadi Undang-Undang, kata Agung, saat memimpin rapat paripurna. Beleid yang belum bernomor ini dinamai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

Kehadiran UU ini sudah lama dinanti. Konsep-konsep dasarnya telah dirancang sejak 1999 silam. Berhubung DPR periode 1999-2003 tak kuasa merampungkan pembahasan, maka DPR periode sekarang punya beban berat untuk membereskan RUU yang diusulkan pemerintah ini. Sempat muncul pro dan kontra sebelum akhirnya disahkan DPR, kata Ketua Pansus RUU ITE Soeparlan.

 

Dalam rapat paripurna, tak satu pun fraksi menolak. Bagaimanapun, UU ini dinilai perlu guna menanggulangi cyber crime di tanah air yang belakangan merajalela. Pengaturan informasi dan transaksi elektronik ini supaya mendorong penegakan hukum demi kesejahteraan umum, ujar Hilman Rosyad Syihab, juru bicara Fraksi PKS.

 

Menteri Komunikasi dan Informatika M. Nuh menyambut gembira disahkannya RUU ITE. Momennya tepat karena tahun ini kita memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, ungkapnya. Ia berharap UU ini dapat memberikan kepastian hukum, mendorong pertumbuhan ekonomi dan mencegah dampak negatif cyber crime.

Halaman Selanjutnya:
Tags: