Obligor BLBI Bisa Dipailitkan
Utama

Obligor BLBI Bisa Dipailitkan

Negara jelas dirugikan dalam kasus BLBI. Lalu, masih adakah celah bagi pemerintah untuk merebut kembali uang negara dari para obligor tersebut? Salah satu upaya hukum yang belum pernah disentuh oleh pemerintah adalah permohonan pailit.

Oleh:
Sut/Ycb/Mon
Bacaan 2 Menit
Obligor BLBI Bisa Dipailitkan
Hukumonline

 

Sebenarnya, di masa pemerintah Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, penyelesaian utang BLBI pernah dilakukan melalui prinsip out of court settlement. Penyelesaian di luar pengadilan itu dalam bentuk Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Kebijakan PKPS ini terdiri dari MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Notes Issuance Agreement) dan APU (akta pengakuan utang).

 

Rinciannya, perjanjian MSAA ditandatangani oleh lima obligor yaitu Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M Hasan, Sudwikatmono dan Ibrahim Risyad. Total program MSAA mencapai Rp85,9 triliun. Sementara perjanjian MRNIA ditandatangni oleh empat obligor yaitu Usman Admadjaja (Rp12,5 triliun), Kaharudin Ongko (Rp8,3 triliun), Samadikun Hartono (Rp2,7 triliun) dan Ho Kiarto dan Ho Kianto (297,6 miliar). Totalnya mencapai Rp23,8 triliun.

 

Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, dilakukan rekapitalisasi kepada beberapa obligor diantaranya Bank Niaga dan Bank Danamon. Jumlahnya mencapai Rp55,05 triliun. Pada masa itu juga dibentuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Keppres 177/1999 yang memberikan pedoman kebijakan bagi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Perjanjian PKPS pada periode ini dilakukan dengan penandatanganan APU oleh 30 obligor dengan nilai jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) setelah reformulasi sebesar Rp15,2 triliun.

 

Gugat pailit para obligor

Lagi-lagi pemerintah gagal menyelesaikan persoalan BLBI melalui out of court settlement tadi.  Lantas, upaya apa lagi harus dilakukan pemerintah? Gugat pailit para obligor itu ke pengadilan niaga, tegas pakar hukum kepailitan Ricardo Simanjuntak. Ia meyakini setidaknya gugatan itu bisa menyelamatkan sisa uang negara yang belum kembali.

 

Gugatan pailit, katanya, bisa dilayangkan kepada obligor yang belum mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Seperti diketahui, pemerintah melalui BPPN baru menerbitkan SKL kepada lima obligor MSAA, yaitu Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M Hasan, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad.

 

Ricardo mengaku heran, soalnya selama ini pemerintah belum mengaktifkan pengadilan niaga untuk menindak obligor yang mengemplang utang. Mestinya, gugatan kepailitan jauh lebih baik ketimbang pemerintah harus mengejar aset-aset obligor setiap hari. Kelihatannya pemerintah frustasi, tidak yakin dengan pengadilan niaga, ujarnya.

 

Sebenarnya harta-harta yang diserahkan (obligor, red) itu kan masih bernilai. Menurut teori hukum, utang uang harus dibayar dengan uang. Kalau mau, selesaikan kasus BLBI pakai pengadilan niaga. Jelek atau ngga jelek, tapi asetnya dapat dieksekusi semua, tutur Ricardo.

 

Pernyataan Ricardo mungkin benarnya. Apalagi pemerintah sudah menjamin bahwa Kejaksaan bisa memohonkan pailit kepada debitor untuk kepentingan umum. Hal ini ditegaskan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17/2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum. Di dalam PP itu disebutkan, Kejaksaan berwenang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk dan atas nama kepentingan umum.

 

Permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan Kejaksaan apabila debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, lalu tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan pernyataan pailit.

 

Penjelasan PP 17/2000

Pasal 1

Apabila Kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka dengan sendirinya Kejaksaan bertindak demi dan untuk mewakili kepentingan umum. Contohnya, kepentingan umum dapat timbul dalam keadaan antara lain :

    a. debitor melarikan diri;

    b. debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;

    c. debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha

        lain yang menghimpun dana dari masyarakat;

    d. debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;

    e. debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam penyelesaian masalah

        utang piutang yang telah jatuh waktu; dan atau

    f. dalam hal lainnya yang menurut Kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Pasal 2

alam permohonan pernyataan pailit tersebut, Kejaksaan dapat melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat, lembaga, instansi Pemerintah, dan badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan.

 

Sayang, pemerintah tak pernah memanfaatkan PP yang diundangkan 20 Maret 2000 itu. Padahal dalam penjelasan PP sudah sangat jelas alasan-alasan Kejaksaan untuk mempailitkan para obligor yang tak kunjung membayar utangnya.

 

Sekedar informasi, saat ini masih ada delapan obligor yang sedang disasar pemerintah. Kedelapan obligor itu antara lain Adisaputra Januardi/Janes Januardi, Atang Latief, Ulung Bursa, Omar Putihrai, Lidia Muchtar, Marimutu Sinivasan dan Agus Anwar. Delapan obligor itu sebelumnya telah menandatangani APU, namun belum menyelesaikan kewajibannya. 

 

Menurut Menteri Koordinator bidang Perekonomian Boediono, sejauh ini pemerintah telah melakukan pemanggilan, pemblokiran aset yang menjadi piutang, pencegahan ke luar negeri dan eksekusi aset. Demikian pula terhadap para obligor lain, baik yang kooperatif namun belum memenuhi sisa kewajibannya maupun yang tidak kooperatif. Mereka adalah Trijono Gondokusumo dengan kewajiban Rp2,9 triliun, Hengky Widjaja (Rp450 miliar), I Made Sudiarti (Rp650 miliar), Santoso Sumali (Rp286 miliar) serta Baringin P dan Joseph Januardy (Rp152 miliar). 

 

Jaksa Agung Hendarman Supandji juga sudah berjanji akan memberikan opini hukum (legal opinion) kepada Menteri Keuangan atas penyelidikan kasus BLBI I dan II. Demi kepastian hukum saya akan sampaikan legal opinion bagaimana melakukan pengembalian keuangan negara itu, dari aspek perdata, tegas Hendarman saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (5/3).

 

Asetnya bisa langsung dieksekusi

Sementara, untuk obligor yang menandatangani APU, menurut Ricardo sebetulnya kalau pemerintah mau tegas, aset para obligor itu bisa langsung dieksekusi. Pasalnya, kata dia, APU dalam konteks hukum Indonesia adalah terminologi yang hanya dibolehkan dalam Pasal 224 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement).

 

Pasal 224 HIR

Suatu grosse daripada akta hipotek dan surat hutang yang diperbuat di hadapan Notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai perkataan Atas Nama Seri Baginda Raja berkekuatan sama dengan putusan Hakim. Jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilakukan dengan perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang dalam pegangannya orang yang berhutang itu diam atau tingggal atau memilih kedudukannya yaitu secara yang dinyatakan pada pasal-pasal di atas dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian bahwa paksa badan itu hanya boleh dilakukan jika sudah diizinkan dengan putusan Hakim. Jika hal melakukan putusan Hakim itu harus dijalankan sama sekali atau sebagiannya di luar daerah hukum Pengadilan Negeri, yang Ketuanya menyuruh melakukan itu maka diturutlah peraturan pada Pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya (Tresna, 1984)

 

Pasal itu jelas menyebutkan bahwa adanya suatu grosse APU mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan putusan pengadilan yang final. Artinya, jika si obligor wanprestasi terhadap perjanjian APU, maka pemerintah tidak perlu repot-repot menggugat di pengadilan, melainkan langsung bisa mengeksekusi aset yang diagunkan dalam APU.

 

Lalu, pakar hukum perdata dan acara perdata Sudikno Mertokusumo mengatakan, grosse akta tersebut juga tidak perlu dibuktikan, sehingga harus dianggap benar apa yang tercantum di dalamnya, kecuali jika ada bukti lawan. Hal itu dimungkinkan, karena di dalam grosse APU itu oleh notaris dibuat dengan kepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya kata-kata tersebut maka grosse akta mempunyai titel eksekutorial yang dipersamakan dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

 

Persoalannya mengapa tidak bisa dieskekusi? Mungkin dia (akta perjanjian, red) tidak dibuat sesuai dengan syarat-syarat dalam pembentukan APU, kata Ricardo. Jika ternyata hartanya tidak ada, lanjutnya, maka patut dipertanyakan pihak-pihak yang membuat kesepatakan dengan obligor.

 

Apakah ketika itu BPPN menerima laporan harta yang dia (BPPN) sendiri tidak cek? Padahal ketika dicek kemudian hari ternyata hartanya kosong. Berarti bukan hanya konglomerat yang harus dikejar, tapi orang (BPPN) juga harus diminta pertanggungjawaban. Bagaimana dia menerima sesuatu yang dinyatakan berharga, tapi faktanya tidak berharga, sambung Ricardo.

 

Sementara mengenai lima obligor yang sudah mempunyai SKL, Ricardo mengatakan hal itu sudah tidak bisa diutak-atik lagi oleh pemerintah. Menurutnya, meski Kejakgung telah menyerahkan dua kasus BLBI (BCA dan BDNI) ke Departemen Keuangan (Depkeu) – dengan alasan tidak ada perbuatan melawan hukum dan keduanya telah mendapatkan SKL – namun Depkeu sudah tidak bisa menuntut kembali selisih utang yang dipinjam dengan yang dikembalikan kedua obligor tersebut. Depkeu juga tidak bisa ngambil aset sepanjang SKL-nya nggak dibatalin. Kecuali ada perbuatan melawan hukum dalam penerbitan SKL, tegasnya

 

Sebagai informasi, Anthony Salim (mantan pemilik BCA) telah membayar ke negara Rp19,4 triliun  (atau 37 persen) dari total utangnya sebesar Rp52,7 triliun Rp19,4 triliun. Sementara Sjamsul Nursalim telah membayar Rp4,9 triliun (17,3 persen) dari kewajiban awal, yakni Rp28,4 triliun.

 

Pemerintahan masa Presiden Megawati menganggap keduanya dan tiga obligor lain telah bertindak kooperatif. Melalui Inpres No. 8/2002, pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum kepada lima obligor tadi dengan menerbitkan SKL.

 

Namun, tidak selamanya SKL bisa menjadi payung hukum bagi para obligor yang sudah terbebas dari utang. Anggota Komisi III dari FPDIP Gayus Lumbuun mengatakan, Kejakgung dalam mengasut kasus BLBI tidak memperjelas status kedudukan payung hukum terhadap proses terbitnya SKL. Di sini saya lihat, SKL yang menurut laporan tidak ada kejahatan, harus dimaknai, bahwa SKL ini merupakan bentuk kewajiban yang telah diselesaikan dengan full and clear. Kalau lunas sebagian berarti tidak clear, tuturnya.

 

Gayus menambahkan, tanggung jawab yang masuk dalam MSAA, adalah tanggung jawab hukum. Artinya, tidak ada pembebasan orang seadanya, tanpa menelusuri seberapa kooperatif orang tersebut. Bisa saja semangat Inpres itu (Inpres 8/2002) mengampuni orang itu (para obligor, red), tandasnya.

 

Yang jelas, penyelesaian kasus BLBI tidak bisa dilakukan setengah hati. Celah-celah hukum untuk menggugat para obligor di pengadilan juga masih terbuka lebar. Jadi, kita tunggu saja trobosan elit-elit negeri ini menunjukan tajinya dalam mengembalikan uang negara yang sudah tidak jelas lagi kemana larinya.

 

Lima kepemimpinan nasional ternyata tak juga mampu menyelesaikan persoalan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Setiap pemerintah yang berkuasa seakan dibuat putus asa oleh kasus yang menjadikan negara harus menanggung beban sebesar Rp57,8 triliun itu. Kini giliran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dipusingkan oleh persoalan yang kembali mencuat menjelang pemilihan umum 2009. Bisa jadi, jika SBY – panggilan akrab Susilo Bambang Yudhoyono – gagal dalam menangani kasus ini, posisinya menjadi tak lagi populer dalam pemilihan presiden mendatang.

 

Seakan berlari dengan waktu, SBY menugaskan Kejaksaan segera mengusut tuntas kasus yang melibatkan sejumlah taipan di negeri ini. Tak lama berselang, Kejaksaan menjawab mandat SBY tersebut. Namun ternyata, publik justru dikejutkan oleh sikap Kejaksaan Agung (Kejagung).

 

Melalui Jaksa Agung  Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Kejagung mengumumkan menutup penyelidikan atas dua kasus BLBI, yakni BLBI I (Bank Central Asia atau BCA) dan BLBI II (Bank Dagang Nasional Indonesia atau BDNI). Alasannya, 35 jaksa pilihan yang tergabung dalam tim jaksa kasus BLBI tidak menemukan adanya penyimpangan hukum dalam kasus tersebut. Jaksa menganggap kerugian yang dialami negara sebagai persoalan ekonomi yang merupakan ranah Menteri Keuangan.

 

Publik makin berang terhadap korps Kejaksaan, tatkala dua hari pasca diumumkannya penutupan kasus BLBI I dan II, Ketua Tim Jaksa BLBI II Urip Tri Gunawan tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima uang AS$660 (sekitar Rp6,1 miliar) yang diduga pemberian Artalita Suryani, pebisnis yang juga disebut-sebut sebagai tangan kanan Sjamsul Nursalim – mantan pemilik BDNI dan tambak udang Dipasena.

 

Terlepas dari masalah itu, mengapa persoalan BLBI tak kunjung selesai? Mengapa pula Pemerintah tidak pernah bisa menarik kembali utang para pengemplang sesuai dana yang dipinjam? Berbagai cara  pernah dilakukan, tetapi hasilnya tetap saja tidak memuaskan.

Tags: