Aktivis Lingkungan akan Gugat PP No. 2/2008
Berita

Aktivis Lingkungan akan Gugat PP No. 2/2008

Dianggap lebih mengedepankan perolehan uang ketimbang menjaga kelestarian lingkungan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Aktivis Lingkungan akan Gugat PP No. 2/2008
Hukumonline

 

Menurut Rully, para aktivis akan mengadakan pertemuan Kamis (14/2) ini untuk membicarakan langkah yang bakal ditempuh. Pilihannya bisa berupa judicial review ke Mahkamah Agung atau meminta Pemerintah meninjau ulang PP tersebut. Rully belum memastikan ‘gugatan' seperti apa yang bakal ditempuh.

 

PP No. 2/2008 sebenarnya menggunakan formula khusus dalam menghitung PNBP. Suatu perusahaan pertambangan, misalnya, dapat menggunakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Kalau usaha tambang tersebut bersifat terbuka horizontal pada kawasan hutan lindung, pengusaha cukup membayar PNBP sebesar 3 juta per hektare per tahun. Kalau tambangnya bergerak secara vertikal di hutan lindung, tarifnya lebih murah yaitu Rp2,25 juta per hektare per tahun.

 

Kalau kegiatan tambang berlangsung di hutan produksi, biayanya pun lebih murah. Tambang terbuka horizontal berbiaya Rp2,4 juta, sedangkan tambang bergerak vertikal cukup Rp1,8 juta per hektare per tahun. Selain itu, tarif PNBP sebesar Rp1,2 juta dikenakan untuk pengusahaan migas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi. Malahan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non-kehutanan yang bersifat non-komersial, tarif PNBP-nya malah nol rupiah.

 

Terhadap penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non-kehutanan yang telah menyelesaikan kewajiban kompensasi lahan pengganti sebelum PP 2/2008 berlaku, tidak dikenakan tarif PNBP pengganti nilai kompensasi. Tapi kalau belum, mereka harus membayar PNBP. Seluruh pengguna kawasan untuk kegiatan non-kehutanan yang belum dapat menyelesaikan kewajiban lahan pengganti sebagai kompensasi atas pinjam pakai kawasan hutan, harus membayar PNBP sesuai jenis dan tarif yang ditentukan, papar Masyhud.

 

Sebelum PP ini keluar, para pengusaha memang diwajibkan mencari lahan kompensasi. Itu sebabnya, Rully merasa PP 2/2008 semakin mempermudah pengusahaan hutan untuk kepentingan non-kehutanan. Pengusaha tak perlu pusing-pusing lagi mencari lahan kompensasi pengganti. Cukup membayar PNBP, selesai urusan!   

 

Rully melihat kehadiran PP ini tak lepas dari kebijakan-kebijakan Pemerintah sebelumnya di bidang kehutanan. Perppu No. 1 Tahun 2004 yang kemudian menjadi UU No. 19/2004 telah membuka ruang yang lebih luas untuk mengusahakan hutan lindung demi kepentingan komersial (pertambangan).

 

Belum lama berselang Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan internasional tentang perubahan iklim. Para pejabat dan tokoh Indonesia berlomba-lomba mengkampanyekan perlunya menjaga kelestarian hutan, antara lain dilakukan dengan gerakan menanam pohon. Kampanye pemberantasan illegal logging getol dilakukan. Pejabat berlomba-lomba bicara tentang perubahan iklim dan urgensi menjaga kelestarian hutan Indonesia yang kian hancur.

 

Belum lama berselang setelah pertemuan UNFCCC di Bali itu, Pemerintah Indonesia menerbitkan dua Peraturan Pemerintah (PP) terkait kehutanan. Yang terbaru, PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Sebelumnya, terbit pula PP No. 2/2008 yang mengatur tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan. Itu pun hanya berlaku di kawasan yang luas hutannya di atas 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau.

 

Pertimbangan ditetapkannya PP ini adalah dalam rangka memperoleh nilai kompensasi atas penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, papar Masyhud, Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Departemen Kehutanan, dalam rilis yang diterima hukumonline. PP 2/2008 mulai berlaku pada 4 Februari lalu.

 

Namun di mata para aktivis lingkungan, PP No. 2/2008 sama saja membuka peluang yang lebih besar untuk mengusahakan kawasan hutan untuk kepentingan komersial. Sama saja membiarkan hutan lindung dan hutan produksi dibabat untuk kepentingan non-kehutanan dengan kompensasi sejumlah uang. Ini berbahaya, Pemerintah lebih mempertimbangkan uang, ujar Rully Syumanda.

 

Manajer Program Kehutanan Wahana Lingkungan Hidup itu tidak terlalu mempersoalkan kalau kawasan hutan dibuka untuk kemaslahatan masyarakat seperti jaringan listrik dan telekomunikasi. Yang ia khawatirkan adalah bila PP ini dijadikan landasan memberikan izin pengusahaan hutan lindung dan hutan produksi untuk kepentingan komersial seluas-luasnya tanpa ada kewajiban mencari lahan pengganti. Apalagi nilai kompensasi –seperti disinggung Masyhud --yang akan diterima Pemerintah tidak sebanding dengan potensi kerusakan hutan. Kami akan gugat, tandas Rully.

Halaman Selanjutnya:
Tags: