MK: Putusan Pilkada Sulsel Bukan Ranah SKLN
Berita

MK: Putusan Pilkada Sulsel Bukan Ranah SKLN

Banyak pihak menilai MA melebihi kewenangan dalam putusan sengketa Pilkada Sulsel. KPUD pun tak berniat mengulang Pilkada. Bahkan, persoalan ini juga sulit digiring masuk ranah SKLN.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
MK: Putusan Pilkada Sulsel Bukan Ranah SKLN
Hukumonline

 

Sementara itu, menanggapi rencana pembangkangan KPUD Sulsel untuk menggelar kembali Pilkada, Jumat ( 21/12), Kuasa Hukum pasangan calon gubernur Sulsel, Amin Syam-Mansyur, Elsa Syarief, berencana mengirim surat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat. Ia memerintahkan KPUD Sulsel menggelar Pilkada ulang untuk mematuhi putusan MA.

 

Elsa, seperti dilansir kantor berita Antara, menganggap putusan MA itu tidak melebihi kewenangan seperti dinilai berbagai pihak. Menurutnya,  putusan MA sudah sesuai dengan norma yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Tak Ada SKLN Buat MA

Menanggapi ramainya peristiwa rentetan dari putusan MA ini, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie turut angkat bicara. Menurutnya, jika persoalan sengketa Pilkada ini tidak cukup terselesaikan dengan jalur hukum, bakal berujung pada konflik berkepanjangan dan menjadi preseden buruk untuk perjalanan demokrasi. Selesaikanlah upaya hukum, dengan proses hukum dulu di MA, ujarnya di Gedung MK, Rabu (26/12).

 

Meski demikian, lanjut Jimly, jika upaya hukum PK nantinya menemui jalan buntu dan KPUD Sulsel bersikukuh ogah melaksanakan perintah putusan MA, tidak ada upaya hukum lain lagi. Jika hal ini terjadi, antara KPU dengan MA tidak bisa diperkarakan Sengketa Antar Lembaga Negara (SKLN) di MK, sebab, ujarnya, MA oleh Undang-undang sudah dikecualikan sebagai pihak yang bisa bersengketa di MK.

 

MA, tutur Jimly, merupakan lembaga yang spesial di mata UU MK. Lembaga pemegang kekuasaan kehakiman itu, tidak bisa digeret dalam perkara SKLN. Namun MK dalam hal ini sudah berketetapan, perkara yang tidak bisa dibawa ke MK sebatas persoalan yang berhubungan dengan putusan MA, lain dari itu, seperti persoalan administrasi kelembagaan (konflik biaya perkara MA-BPK), menurut Jimly masih bisa diperkarakan. Karena persoalan ini bermula dari putusan MA, ia tidak bisa dibawa ke MK, pungkasnya.

Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di empat kabupaten di Sulawesi Selatan agar digelar ulang, telah menimbulkan polemik berkepanjangan. KPUD dari keempat Kabupaten di Sulsel, yang diperintahkan MA supaya menggelar Pilkada ulang, bersepakat menolak perintah MA dan hendak mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan itu.

 

Sekedar informasi, pasangan calon gubernur Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang dimenangkan KPUD Sulsel dengan  perolehan suara sebesar 39,52 persen, terpaut tipis dari pesaingnya, Amin Syam-Mansyur Ramly dengan perolehan 38,76 persen suara. Merasa dicurangi, Amin-Mansyur lalu mengajukan permohonan sengketa Pilkada ke MA.

 

Majelis Hakim Agung MA, pada Rabu pekan lalu (19/12), menyatakan adanya fakta-fakta yang menunjukkan masalah dalam penghitungan suara di empat kabupaten, antara lain di Gowa, Bone, Tana Toraja dan Bantaeng. Walhasil, dalam putusannya MA memerintahkan KPU agar menggelar Pilkada ulang dalam 3-6 bulan sejak putusan itu dibacakan.

 

Sengketa Pilkada yang masih menempuh upaya hukum ini masih pula dibumbui dengan pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pernyataan Wapres ditafsirkan sebagai intervensi politik atas putusan MA sehingga makin memicu tensi konflik. Pernyataannya di depan media massa yang menyatakan PDIP tidak berhak mengajukan PK, sempat menyulut perdebatan antara partai Golkar dan PDIP, dua partai kawakan yang bersaing dalam Pilkada itu. Maklum, selain Wapres, Kalla juga tak bisa lepas dari jabatannya di partai Golkar sebagai ketua umum.

Tags: