Pergantian Hakim Konstitusi Jangan Sampai Mengubah Kultur MK
Berita

Pergantian Hakim Konstitusi Jangan Sampai Mengubah Kultur MK

Pergantian hakim konstitusi, bukan hanya mengkhawatirkan adanya perubahan kultur akademis yang selama ini terbangun di MK. Malah ada kekhawatiran, apa yang terjadi di KPK akan terulang di MK.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Pergantian Hakim Konstitusi Jangan Sampai Mengubah Kultur MK
Hukumonline

 

Sementara itu, Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand) Saldi Isra tidak merisaukan kultur akademis atau tidak. Namun, ia juga merisaukan apa yang terjadi di KPK akan terulang di MK. Mereka (DPR,-red) memilih orang yang tidak jelas di KPK, malahan ada yang track record-nya tidak membantu agenda pemberantasan korupsi, jelasnya.

 

Menurut Saldi kecenderungan itu sangat besar. Mereka akan memperhitungkan tahun 2009, akan ada sengketa Pemilu atau (pemilihan, red) Presiden. Kalau kalkulasinya seperti itu, bisa rusak semua, ujarnya. Karenanya, menurut Saldi justru yang harus diawasi adalah pencalonan hakim dari DPR dan Presiden. Kalau mekanisme di MA kan lain, tambahnya. Saldi juga menyarankan bila dalam pencalonan DPR berlaku 'aneh', maka presiden harus memperbaikinya dengan menempatkan orang yang memiliki integritas. Sebagai catatan, ketentuan dalam Undang Undang Dasar 1945 menyatakan sembilan hakim konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, MK, dan Presiden.

 

Seusai acara, Jimly seakan merevisi komentarnya di dalam forum. Saya tidak khawatir. Mudah-mudahan tidak begitu, ujarnya. Mengacu pada pemilihan di KPK dan KPU, Jimly yakin semua pihak akan belajar dari dua pengalaman itu. Orang parpol di DPR maupun pemerintah akan berhati-hati. Sehingga semua kepentingan atau warna akan tertampung dalam pola rekrutmen hakim konstitusi, harapnya. Saya percaya itu, ujarnya dengan yakin. 

 

Selain itu, Jimly menjelaskan bila orang partai politik ingin dicalonkan, ia harus melepas jabatannya atau jabatan negara. Tidak boleh merangkap jabatan, ujarnya. Persoalannya, lanjut Jimly, kalau secara formal berhenti apakah aspirasi kepartaiannya masih berpengaruh. Itu Walallahualam. Kan susah mengukurnya, tuturnya.

 

Meski begitu, Jimly menilai pekerjaan sebagai hakim konstitusi belum tentu menarik bagi aktivis politik. Kerjanya hanya membaca. Kalau dikritik orang, tidak bisa menanggapi. Kalau di DPR kan bebas ngomong, jelasnya. Ketika diingatkan salah satu pekerjaan hakim konstitusi 'membatalkan' undang undang yang dibuat DPR, Jimly hanya tersenyum.

 

Latar belakang sembilan hakim konstitusi

Sekedar mengingatkan, sembilan hakim konsitusi yang ada sekarang juga melewati proses yang akan dilakukan pada tahun 2008 yang akan datang. Berdasarkan penelusuran hukumonline, sebagian besar hakim konstitusi saat ini memiliki latar belakang politik. Peneliti Jerman Petra Stockmann dalam bukunya yang berjudul The New Indonesian Constitutional Court: A study into its beginnings and first years of work sempat mengungkapkan hal itu.

 

Petra mengungkapkan bahwa Laica Marzuki, Soedarsono dan Maruarar Siahaan adalah hakim usulan MA. Laica merupakan hakim agung, Soedarsono adalah Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Surabaya, sedangkan Maruarar merupakan Ketua PT TUN Bengkulu.

 

DPR juga memilih tiga orang. Ketiga orang itu adalah Jimly, Achmad Roestandi, dan I Dewa Gede Palaguna. Jimly dinominasikan oleh fraksi Golkar dan fraksi Reformasi. Roestandi yang dinominasikan oleh PPP merupakan representasi fraksi TNI-Polri di parlemen. Sedangkan Palaguna merupakan wakil sekretaris fraksi PDI Perjuangan.

 

Usulan pemerintah, saat itu Presiden Megawati, mencalonkan HAS Natabaya, Mukhtie Fadjar, dan Harjono. Natabaya adalah dosen senior di Universitas Sriwijaya. Mukhtie Fadjar merupakan dosen senior di Universitas Brawijaya. Sedangkan Harjono adalah anggota utusan daerah dari Jawa Timur di MPR. Bahkan, Harjono tadinya sempat dinominasikan oleh PDI Perjuangan.

Masa jabatan sembilan hakim konstitusi akan memang baru akan berakhir pada 2008. Namun, ada kekhawatiran perubahan kultur yang telah dibangung oleh Mahkamah Konsitusi (MK). Selama ini, menurut Ketua MK Prof. Jimly Asshidiqie, kultur yang ada di MK adalah kultur akademis. Sebagaimana layaknya dunia akademis pada umumnya, Jimly mengatakan tugas hakim MK sebenarnya ada tiga. Membaca sebanyak-banyaknya, berdebat sekeras-kerasnya, dan menulis sesering mungkin, ungkapnya.

 

Mengenai urusan tulis-menulis buku, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini memang jagonya. Ia dikenal sebagai penulis yang cukup produktif. Sudah banyak karyanya berupa buku yang telah diterbitkan. Jimly mengungkapkan awalnya ada beberapa hakim konstitusi yang jarang menulis. Tetapi akhirnya, mereka jadi lebih sering menulis karena mengikuti hakim konstitusi yang lain.   

 

Wacana pergantian memang tinggal menghitung bulan, tapi ada sedikit kekhawatiran kultur yang ada akan berubah. Periode setelah kami, bisa saja kulturnya berubah menjadi kultur politik, ujarnya dalam Pertemuan Koordinasi Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Kajian Konstitusi se-Indonesia di Jakarta, Rabu (12/12). Apalagi, lanjutnya, setelah MK memutus diperbolehkannya calon independen. Banyak parpol yang tidak senang, katanya. Menurutnya, berbagai kalangan sudah mengerti dan peranan MK sebagai lembaga yang sangat penting. Lembaga yang bergengsi, tambahnya.

 

Jimly mencontohkan dengan apa yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK dan KPU sudah dipreteli, ujarnya. Karenanya, bila memang ada usaha mengubah kultur di MK, Jimly meminta para akademisi untuk ikut mengawal. Perguruan tinggi bisa mengawal secara moral atau intelektual, agar MK tetap bernuansa akademis, ujarnya di depan para dosen hukum tata negara.

Tags: