‘Syarat Belum Pernah Dipidana Tak Bisa Digeneralisasi'
Berita

‘Syarat Belum Pernah Dipidana Tak Bisa Digeneralisasi'

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hukuman pidana bukanlah kejahatan jika mengandung unsur pidana politik dan unsur kealpaan.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
‘Syarat Belum Pernah Dipidana Tak Bisa Digeneralisasi'
Hukumonline

 

Meski setali tiga uang dengan pemerintah dan DPR, MK berpandangan syarat itu bisa dibubuhkan dalam Undang-Undang sepanjang tidak menggeneralisasi semua tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih. Pemerintah dan DPR mesti bisa membedakan, mana perbuatan pidana yang masuk sebagai alasan obyektif penentuan syarat, dan mana yang tidak.

 

Ada tiga catatan penting ditekankan MK. Pertama, tindak pidana belum tentu bersifat jahat jika perbuatan itu lahir akibat kealpaan (culpa). Kedua, syarat itu tidak boleh mencakup pidana politik, sebab hal itu merupakan perlakuan yang diskriminatif. Maklum, pidana politik semacam perbuatan subversi, sedikit demi sedikit sudah digerus oleh putusan MK sebelumnya. Ketiga, tidak semua jabatan publik dapat ditentukan persyaratannya dengan menggunakan rumusan norma yang bersifat umum. Namun, harus berdasarkan karakter jabatan publik yang berbeda satu sama lain.

 

Contohnya seperti yang menimpa Pemohon II Henry Yosodiningrat. Ia menabrak seseorang akibat unsur kekuranghati-hatian atau kealpaan ringan (culpa levis). Meski tidak memenuhi unsur kejahatan, perbuatan Henry harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Perbuatan Henry seperti itu, menurut MK bertentangan dengan tujuan syarat itu dibentuk. Sebaliknya, bakal merugikan hak konstitusional orang-orang seperti Henry.

 

Begitu pula dalam kasus yang menimpa Budiman Sudjatmiko, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ia pernah dipidana penjara lantaran perbedaan pandangan politik dengan penguasa. Nah, terkait pidana politik ini, MK berpendapat bahwa tidak bisa dianggap sebagai tuntutan obyektif pembikin Undang-Undang untuk  dijadikan syarat pancalonan sebagai pejabat publik. Alasannya, hal itu sama saja membedakan perlakuan pada orang-orang yang memiliki perbedaan pandangan politik. Padahal penjatuhan pidana politik akan berbeda-beda tergantung pandangan politik pemegang kekuasaan pada saat tertentu.

 

Dalam hal demikian, sesungguhnya tidak terkandung unsur niat jahat (mens rea). Jika ketentuan syarat ini dijadikan syarat moral maka tidak sejalan dengan tujuan dibuatnya syarat, ucap Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan putusan.

 

MK juga mengingatkan pembikin Undang-Undang agar memperhatikan keharmonisan suatu Undang-Undang. Mengingat karakter dalam jabatan-jabatan publik tertentu, tidak semua jabatan publik dapat ditentukan persyaratannya dengan menggunakan rumusan norma yang bersifat umum, ujar Palguna. Keadaan demikian, dapat melahirkan ketiadaan perlindungan hukum dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan hak konstitusional golongan atau kelompok masyarakat tertentu, tambahnya.

 

Namun, tiga syarat di atas tidak bisa dijadikan dalil bagi MK untuk menyatakan syarat belum pernah dipidana ancaman 5 tahun atau lebih sebagai hal yang inkonstitusional. Sebab, seperti diuraikan Palguna, MK terpancang pada Pasal 56 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Pasal itu menentukan, hanya ada tiga kemungkinan amar putusan: menerima, menolak, dan dikabulkan. Karena pertimbangan syarat konstitusional itu tidak bisa dimasukkan dalam amar, Satu-satunya jalan adalah dengan menyatakan pertimbangan hukum dalam putusan ini sebagai konstitusional bersyarat, kata Palguna.

 

Dalam putusan itu, satu Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Fajar mengatakan, Pertimbangan demi tujuan moral dan kredibilitas menurut saya masih bersifat hipotesis. Justru (ketentuan syarat itu, red) menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang disebabkan oleh inkonsistensi pembentuk Undang-undang dalam merumuskan klausula persyaratan dengan standar ganda.

 

Inkonsistensi rumusan syarat dalam UU:

 

Rumusan

Keterangan

1

Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam penjara 5 (lima tahun) atau lebih

 

Pasal 6 huruf t UU No. 23 Tahun 2003 mengenai syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal 23 Ayat (2) huruf a UU MK.

2

Tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yagn telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima tahun) atau lebih

Pasal 60 huruf i UU No. 12 Tahun 2003 mengenai syarat anggota DPR, DPD, dan DPRD

3

Tidak dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan

Pasal 85 Ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Haka Asasi Manusia

4

Yang dapat menajdi gubernur dan wakil gubernur adalah Warga Negara Indonesia dengan syarat-syarat a. …; b. …; c. …; d. …; e. …; f. … g. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik

Pasal 12 huruf g UU Noomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

5

Sama sekali tidak ada rumusan persyaratan pernah dipidana

Syarat jadi Pimpinan KPK dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK

Syarat jadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia

Syarat jadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia dalam UU No. 30 Tahun 2003 tentang Penyiaran

Sumber : Disarikan dari putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007

 

Inkonsistensi dengan penggunaan standar moral ganda itu, menurut Fadjar, jelas memunculkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam penerapan syarat terhadap pencalonan pejabat publik. Ia mencontohkan, dalam kasus Pemohon I Muhlis Mutu. Ia sudah pernah lolos pencalonan menjadi anggota DPRD Kabupaten Takalar. Namun, dalam pencalonan pemilihan kepala daerah, ia terganjal adanya syarat tersebut. Apakah standar moral untuk anggota DPR, DPD, DPRD lebih rendah daripada standar moral untuk calon kepala daerah? tanya Fadjar dalam putusan.

 

Selain standar ganda, pada hakikatnya seseorang yang telah menjalani hukuman atas tindak pidana sama saja sudah mengalami proses penyucian atau pensucian kembali, sehingga kata Fadjar, sudah selayaknya apabila tidak diberlakukan seumur hidup bersalah atau berdosa.

 

Oleh karena itu, Fadjar dalam pendapat berbedanya menyatakan syarat itu bertentangan dengan UUD 1945. Selama klausula rumusan masih beragam, seyogyanya ada semacam moratorium untuk tidak memberlakukannya (syarat tersebut, red), tegas Fadjar.

 

Ditanyai seusai sidang pembacaan putusan, Budiman Sudjatmiko mengatakan, meski permohonannya ditolak, MK secara substantif sudah mengabulkan permohonan kami. Saya rasa MK dalam hal ini berada pada posisi sulit, sehingga hanya bisa menolak. Menyatakan konstitusional tapi dengan syarat.

Ada yang terasa beda dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada Selasa (11/12). Meski menolak permohonan dan menyatakan pasal teruji konstitusional, MK mengajukan syarat agar ketentuan itu bisa lolos ‘sensor' Konstitusi. Putusan ini dijuluki MK dengan sebutan conditionally constitutional.

 

Dalam putusan pengujian terhadap lima Undang-Undang berkaitan dengan syarat belum pernah dihukum ancaman pidana 5 tahun atau lebih dalam pencalonan pejabat publik, MK menolak permohonan dan menganggap syarat semacam itu memang diperlukan. Alasannya, syarat menjadi pejabat publik ditujukan untuk melindungi warga negara dari kualitas moral pejabat publik yang tidak baik. Belum pernah dipidana, seperti yang dikemukakan pula oleh pemerintah dalam sidang sebelumnya, merupakan salah satu indikator kualitas moral seseorang.

 

Sebelumnya, DPR juga berpandangan, syarat belum pernah dipidana dalam menduduki jabatan publik diperlukan untuk mendapatkan calon-calon terbaik tanpa cela. Jangankan yang akan menjadi pejabat publik, yang sudah jadi pejabat saja bisa di recall atau dimakzulkan jika yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara 5 tahun atau lebih, ujar Akil Mochtar, anggota Komisi III yang mewakili DPR dalam sidang sebelumnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: