Setelah meminta penangguhan penahanan, tersangka kasus dugaan korupsi dana asuransi kesejahteraan ‘prajurit', mantan Direktur Utama PT Asuransi ABRI (Asabri) Mayjen TNI (Pur) Subarda Midjaja, tak hilang upaya.
Kali ini yang ‘maju perang' bukan atas nama Subarda, melainkan istrinya, A Nuraini. Nuraini mengujimaterikan Undang-undang Nomor 16 Tahun tentang Kejaksaan RI ke Mahkamah Konstitusi. Ia mempersoalkan Pasal 30 Ayat (1) huruf d yang menyangkut dasar hukum Kejaksaan melakukan penyidikan ulang terhadap suaminya. Pasal itu menentukan bahwa Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Subarda kembali disidik oleh Kejaksaan Agung setelah sebelumnya pada 2004, penyidikan atas dirinya dalam kasus yang sama dihentikan oleh Mabes Polri. Sejak 13 November 2007 hingga kini, Subarda telah ditahan Kejaksaan untuk keperluan penyidikan. Selain kurang bukti, alasan Kepolisian mengeluarkan SKPP (Surat Keputusan Penghentian Penyidikan) terhadap Subarda juga disebabkan adanya permintaan dari Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan.
Diwakili oleh kuasa hukumnya yang menamakan diri Tim Advokasi Hak-hak Publik (TAHAP), mereka mempersoalkan rangkap kewenangan yang dimiliki Kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus Asabri. Akibat dari kewenangan rangkap itu, Telah membingungkan, meresahkan dan menciptakan ketidakstabilan yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Ini juga potensial terjadi kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan, ujar salah satu kuasa hukum dari TAHAP, Ahmad Bay Lubis usai sidang pemeriksaan pendahuluan di gedung MK, Senin (3/12).
Menurut Bay Lubis, tumpang tindih kewenangan penyidikan antara Kejaksaan dan Kepolisian yang bersumber dari Pasal 30 UU Kejaksaan ini sudah mengakibatkan jaminan kepastian hukum menjadi berantakan. Keluarga Subarda, terutama Nuraini mengaku merasa dipermalukan atas penyidikan ulang yang dilakukan Kejaksaan. Padahal pengehentian penyidikan oleh Kepolisian sudah membuat suasana di keluaga tenang dan sudah tidak merasa terancam akan diseret ke pengadilan lagi, jelas Bay.
Bay juga melirik kejanggalan yang bersumber dari ketentuan Pasal itu. Ia mendalilkan, rangkap kewenangan yang dimiliki Kejaksaan itu telah menghilangkan sistem checks and balances antara lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam sistem acara pemidanaan. Masak dari penyidikan hingga penuntutan semua dilaksanakan oleh institusi yang sama. Ini kan sama saja meniadakan pengawasan baik secara vertikal maupun horizontal, cetus Bay.
Dalam permohonannya TAHAP juga mengurai kerugian immateriil keluarga Subarda, antara lain merasa terhina, dipermalukan, dan tercemar nama baiknya di hadapan keluarga besar, rekan dan relasi. Selain mendapat tekanan psikologis, kerugian materiil juga timbul akibat usaha keluarga yang dirintis Subarda bersama istri menjadi terbengkalai dan berantakan gara-gara pikiran terperas perhatiannya pada kasus tersebut.
Bak koinsiden butterfly effect, saat sidang berlangsung, puluhan mahasiswa yang menamakan diri ALMARHUM (Aliansi Mahasiswa untuk Reformasi Hukum) menggelar aksi menuntut MK melakukan uji materi terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Selain itu mereka juga menuntut agar oknum Kejaksaan yagn melakukan pemerasan dalam proses peradilan segera dipecat dan diadili. Mereka juga meminta agar para petinggi TNI yang terlibat kasus korupsi PT Asabri diseret ke pengadilan.