Undang-Undang Olahraga Dinilai Diskriminatif
Berita

Undang-Undang Olahraga Dinilai Diskriminatif

Larangan pejabat publik memimpin KONI dalam UU Sistem Keolahragaan Nasional dinilai Diskriminatif. Namun, hakim konstitusi meminta penjelasan bentuk diskriminasinya.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Undang-Undang Olahraga Dinilai Diskriminatif
Hukumonline

 

Selain itu, Saleh juga membandingkan dengan pejabat publik yang tidak dilarang menjadi pengurus partai politik (parpol). Padahal, menurutnya pejabat publik yang menjadi pengurus parpol, punya kecenderungan yang lebih besar menyalahgunakan kekuasaan dibandingkan pejabat publik yang menjadi pengurus KONI.

 

Tiga hakim konstitusi yang memeriksa permohonan meminta Saleh untuk menjelaskan pengertian diskriminasi yang dimaksudnya. Maklum saja, sidang kali ini hanya sidang pemeriksaan pendahuluan. Tetapi Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukhtie Fadjar sudah mengeluarkan pendapatnya.

 

Menurutnya, sangat tidak tepat bila pemohon menyamakan pejabat publik yang merangkap sebagai pengurus parpol dengan kondisi yang dialaminya. Jangan mencampuradukan dengan pejabat publik yang merangkap pengurus parpol, ujarnya. Karena memang mereka berangkat dari parpol. Jadi jangan disamakan, pintanya.

 

Sedangkan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempertanyakan dimana terjadinya diskriminasi. Harus dijelaskan yang terdiskriminasi itu orang-orangnya atau jabatan-jabatannya, ujarnya. Menurut hakim yang gemar memberikan dissenting opinion dalam putusan MK ini, definisi diskriminasi sangat dibutuhkan pemohon sebagai persiapan berdebat dengan DPR pada sidang selanjutnya. Sedangkan Ketua Panel Hakim Achmad Roestandi meminta pemohon tidak mengelaborasi terlalu jauh  dalam mendefinsikan kata diskriminasi. Jangan terlalu melebar, tuturnya.

 

Berdasarkan catatan Hukumonline, MK sudah sempat mendefinsikan pengertian diskriminasi dalam salah satu putusannya. Pada putusan pengujian UU Perkawinan tentang poligami, MK berpendapat pengaturan berbeda itu bukan diskriminasi. Melainkan mengatur sesuai dengan apa yang dibutuhkan dari dua hal yang berlainan. Pengertian diskriminasi menurut MK ialah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dua hal yang sama.

 

Pembinaan Olahraga Terhambat

Saleh juga menjelaskan implikasi hukum bila Pasal 40 ini tetap berlaku sangat besar. Ia mengungkapkan hampir seluruh pengurus KONI di Indonesia adalah pejabat publik. Dengan begitu, seluruh pengurus KONI di Indonesia bisa dikatakan illegal. Imbasnya, bisa terkait dengan tersendatnya dana yang diperoleh KONI dari APBD. Implikasi hukumnya, akan panjang bila dikatakan illegal, tegasnya.

 

Dengan terhentinya dana, lanjut Saleh, maka pembinaan olahraga otomatis akan terhambat. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan juga menambah pelik masalah. Pasal 56 PP tersebut juga mengatur hal yang lebih detail larangan pejabat publik memimpin KONI.

 

Bahkan dalam Pasal 123 PP itu, lanjut Saleh, bila terjadi pelanggaran Pasal 56 menteri dapat memfasilitasi terselenggaranya pemilihan pengurus baru sesuai dengan ketentuan yang ada. Bila, pemilihan tetap tak terselenggara, menteri dapat merekomendasikan kepada pihak terkait dengan pendanaan untuk menunda penyaluran dana. Kalau permohonan uji materi dikabulkan, maka kita minta pasal dalam PP ini otomatis batal, nilainya.

 

Tanpa Penjelasan

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini, hakim konstitusi tidak hanya menyoroti substansi permohonan. Terkait hal teknis pun jadi perhatian para hakim juga. Prof. Mukhtie mengkritik pemohon yang melampirkan fotokopi undang-undang tanpa adanya penjelasan. Padahal, ia ingin mencari tahu apakah penjelasan mengatur secara rinci ratio mengapa pejabat publik tak boleh memimpin KONI, di dalam penjelasan umum maupun penjelasan pasal per pasal.

 

Prof. Mukhtie mengingatkan pemohon terkait Peraturan Mahkamah Konstitusi No 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Pasal 19 ayat (2) menyatakan, "Alat bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang berupa kutipan, salinan, atau fotokopi peraturan perundang-undangan, keputusan tata usaha negara, dan/atau putusan pengadilan, naskah aslinya harus diperoleh dari lembaga resmi yang menerbitkannya". 

 

Oleh sebab itu, Prof. Mukhtie meminta pemohon melampirkan undang-undang yang utuh dengan penjelasan. Kalau beli di pasar nanti tidak lengkap, sindirnya. Namun, berdasarkan penelusuran Hukumonline, dalam penjelasan umum baik per pasal tak ada penjelasan pembentuk UU dalam melarang pejabat publik memimpin KONI. Yang ada hanya pengertian mandiri, jabatan struktural, maupun jabatan publik yang terdapat dalam penjelasan Pasal 40.

 

Penjelasan Pasal 40 UU Sistem Keolahragaan Nasional

 

Yang dimaksud dengan mandiri dalam ketentuan ini adalah bebas dari pengaruh dan intervensi pihak manapun untuk menjaga netralitas dan menjamin keprofesionalan pengelolaan keolahragaan.

 

Yang dimaksud dengan jabatan struktural dalam ketentuan ini adalah suatu jabatan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai negeri sipil dan militer dalam rangka memimpin satuan organisasi negara atau pemerintahan, antara lain, jabatan eselon di departemen atau lembaga pemerintahan nondepartemen.

 

Yang dimaksud dengan jabatan publik dalam ketentuan ini adalah suatu jabatan yang diperoleh melalui suatu proses pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui pemilihan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, antara lain Presiden/Wakil Presiden dan para anggota kabinet, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, anggota DPR-RI, anggota DPD-RI, anggota DPRD, hakim agung, anggota komisi yudisial, Kapolri, dan Panglima TNI

  

Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur (Jatim) Saleh Ismail Mukadar meradang. Posisinya sebagai Ketua Umum KONI Surabaya terancam dengan adanya UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN).

 

Pasal 40 UU tersebut menyatakan, "Pengurus komite olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik". Bila Pasal tersebut tetap berlaku, maka Saleh harus bersedia melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum KONI Surabaya.

 

Merasa terancam, Saleh akhirnya mengajukan permohonan uji materi terhadap UU SKN khususnya Pasal 40. Kepada Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyidangkan perkara ini, Saleh menilai Pasal tersebut sangat diskriminatif. Pengurus cabang olahraga tidak dilarang dijabat oleh pejabat publik, ujarnya memberi alasan. Ia mencontohkan jabatan Ketua PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) Sutiyoso yang saat itu masih menjadi Gubernur DKI. Atau Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) Jatim yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jatim Soewarko.

 

Padahal, lanjut Saleh, KONI merupakan induk dari cabang olahraga. Masak cabang olahraga tak dilarang, sedangkan induknya dilarang, kritiknya di ruang sidang MK, Senin (26/11). Saleh mendalilkan hak konstitusionalnya yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) telah dilanggar. Bunyi Pasal 28I ayat (2) adalah, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu".

Halaman Selanjutnya:
Tags: