Kriminalisasi Kini Menimpa Kolumnis
Berita

Kriminalisasi Kini Menimpa Kolumnis

Sebelumnya, penulis surat pembaca digugat secara perdata.

Oleh:
Ali/Kml
Bacaan 2 Menit
Kriminalisasi Kini Menimpa Kolumnis
Hukumonline

 

Petikan dua paragraf dari kolom yang dianggap mencemari nama baik:

 

Saat tampil berbicara pada "Hari Sastra Indonesia" di Paris pada Oktober 2004 lalu, Joesoef pun bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram. Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapa pun bahwa Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika Joesoef diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram. Sikap sok tahu yang menyedihkan itu pun terungkap.

 

Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator tersenyum. "Buku-buku Pram luar biasa. Apakah Bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah Bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?" kata si interogator. "Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan," kata si interogator. "Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kedunguannya," kata Joesoef.

 

Bersihar juga tak yakin bila pegawai tersebut memiliki surat kuasa, padahal dia didakwa mencemarkan nama Kejaksaan Agung. Walaupun dilaporkan oleh staf intel Depok, Jaksa Agung Muda Intelegen Kejaksaan Agung mengaku tidak tahu. Ia juga belum menerima laporan tentang kasus tersebut. Saat coba dihubungi, sambungan telpon dengan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Thomson Siagian terputus. Sms yang dikirimkan juga tak berbalas.  

 

Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, menyatakan ada dua hal dalam pers, yakni fakta dan opini. Fakta menurutnya suci dan tidak dapat diubah-ubah. Sedangkan opini itu bebas sesuai Pasal 28 UUD 1945. Ini masuk kolom opini. Tapi dia dilindungi juga oleh konstitusi. Jadi tidak bisa pendapat itu diadili ujarnya.

 

Bila ada yang dirugikan, lanjutnya, sesuai Undang-Undang Pers pihak tersebut dipersilahkan membuat opini baru dan mengajukan pendapatnya. Kedua, pihak yang merasa dirugikan punya hak jawab. Ketiga, persoalannya dia hanya mengutip apa yang dikatakan orang lain mengenai cerita tersebut.

 

Selain itu, menurut Wina dalam media juga diatur soal pertanggungjawaban atas pemuatan kolom. Penanggung jawab di media yang harus bertanggung jawab. Walau secara moral kolumnis bertanggung jawab, tuturnya. Ia menyarankan Bersihar untuk melaporkan perkaranya ke Dewan Pers.

 

Kutipan pernyataan Joesoef Ishak oleh Bersihar Lubis di suatu kolom, berujung pada masalah hukum. Ia diseret ke pengadilan. Kasus ini menunjukkan bahwa sekarang bukan penulis surat pembaca saja yang harus berhati-hati dengan ancaman dilaporkan ke polisi, tetapi juga penulis kolom. Bersihar didakwa mencemarkan nama baik instansi Kejaksaan Agung.

 

Wartawan senior itu dilaporkan Pudin Saprudin, staf seksi intel Kejaksaan Negeri Kota Depok. Anggota korps ahdyaksa itu merasa terganggu kolom Bersihar berjudul Kisah Interogator yang Dungu yang dimuat Koran Tempo Maret silam. Perkara itu akhirnya masuk ke jalur hukum. Bersihar sudah menjalani persidangan di PN Depok. Ia dijerat melakukan kejahatan terhadap penguasa umum yang diatur dalam pasal 207 dan 316 j.o 310 Ayat (1) KUHP. Rabu (21/11) Bersihar menyampaikan pembelaannya.

 

Dalam tulisannya, mantan wartawan tersebut mengutip cerita yang diungkapkan Joesoef Ishak, penerbit Hasta Mitra, saat dirinya mendapat penghargaan atas keberaniannya menerbitkan karya pengarang Pramoedya Ananta Toer yang saat itu dilarang. Dia dipenjara lebih dari sepuluh tahun atas perbuatannya. Joesoef saat itu mengaku disiksa kedunguan interogator kejaksaan yang atasannya lebih tinggi kedunguannya. Itulah yang dikutip kembali Bersihar.

 

Setelah mengisahkan pengalaman Joesoef, kemudian Bersihar menyatakan ketidaksetujuannya atas pelarangan buku pelajaran oleh kejaksaan karena tidak menyebut kata Partai Komunis Indonesia (PKI) dibelakang ungkapan G-30-S (Gerakan 30 September 1965), sebuah isu yang sedang hangat saat itu.

 

Dia dengan tegas menyatakan itu bukan darinya, melainkan kata-kata Joesoef, yang sempat hadir disidang Bersihar sebagai saksi. Itu hanya merupakan kritik karena pelarangan buku Pram waktu itu, ujarnya. Soal kritik menurutnya tidak dipermasalahkan. Sederhana saja, sejarah juga memiliki kontroversi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: